BLOGKATAHATIKU - Harga
salak Karangasem, belakangan ini jeblok lagi. Di pasar tradisional harga salak
Karangasem terjual Rp 2 ribu-Rp 6 ribu per kilogram, tergantung kualitas dan
ukurannya.
Sementara,
di tingkat petani seperti di Desa Macang, Desa Sibetan dan desa penghasil salak
lainnya, ada petani yang laku menjual hanya Rp 1.000. “Salak saat ini murah, di
desa kami pada petani dapat beli salak Rp 1.000 bahkan bisa kurang,” ujar Ni
Wayan Rira, seorang pedagang salak dari Macang, saat ditemui di Pasar
Karangsokong Subagan.
Rira
mengatakan, ia menjual salak satu kampil beras, hanya laku Rp 15 ribu. Sebelumnya,
dari pantauan di Karangasem, saat musim panen salak, Januari hingga April,
harga salak lokal kerap jeblok. Penyebabnya, selain produksi naik, salak segar
itu juga kerap cepat busuk kalau tidak ditangani dengan baik. Salak Karangasem,
selain dipasarkan ke pasar-pasar tradisional, juga ada yang dikirim pengepul
atau saudagar ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kenyataan
soal masih jebloknya harga salak petani saat musim panen, diakui anggota DPRD
Karangasem asal Pengawan, Sibetan, Wayan Sudira. Pria yang juga Ketua Komisi IV
itu, mengatakan, sampai saat ini masalah jebloknya harga salak saat musim panen
raya belum tertangani Pemkab Karangasem.
Padahal,
berbagai upaya telah dilakukan seperti membentuk kelompok usaha bersama (Kube).
Dalam Kube, kelompok tani diminta membuat olahan pasca panen salak, seperti
wine salak, keripik, dodol, atau salak dalam kaleng. Namun, sampai kini saat
musim panen, juga belum mampu menstabilkan harga salak di pasaran. Untuk itu,
ia berharap agar jelang hari raya harga salak Karangasem bisa naik, sehingga
petani dapat memperoleh keuntungan.
Sudira
mengimbau, nantinya ada kebijakan dari pemimpin Karangasem, khususnya pemerintah,
untuk mengadakan kerja sama dengan pihak perhotelan dan restoran di Bali. “Apakah
lewat Perda, hotel dan restoran bisa menyajikan salak atau mengutamakan
menyajikan buah lokal, seperti salak kepada wisatawan. Dengan kebijakan ini,
diharapkan pada musim panen buah dengan produksi meningkat, harga salak tetap
stabil,” pesannya.
Menurutnya,
jika berharap harga salak stabil pada musimnya dengan mengolah pasca panennya, tetapi
ternyata harganya juga masih jeblok, maka hal itu tidak terlepas dari
terbatasanya kemampuan Kube.
“Soalnya,
biaya mengolah pasca panen salak itu juga cukup besar, sehingga kelompok tani tidak mendapatkan keuntungan yang
memadai dibandingkan kerja kerasnya,” tutup Sudira.