![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 11
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Selamat
Jalan Merpatiku
Mata
sayu itu membasah seperti dua air sungai yang mengalir deras. Syanda menangis
tanpa suara sewaktu Aditya menceritakan segalanya di ruang pastori, di belakang
mimbar gereja. Dan semuanya lantak bagai keping beling ketika disadarinya
Aditya kini telah sedemikian jauh tidak mampu lagi tergapai tangan.
“Waktu
itu, Romo Dirgo, pastor di panti rehabilitasi melihat aku tidak seperti
penghuni lain. Pada saat itu aku stres berat. Aku bimbang. Aku juga meragukan
kesetiaanmu. Apalagi, selama sekian lama aku tidak pernah menerima kabar darimu
lagi,” papar Aditya. “Dan semua itu membuatku semakin dekat dengan Romo Dirgo
dan juga kepada-Nya.”
“Aku
tahu kamu rajin ke gereja, Dit. Aku tahu… ta-tapi, apakah semua ini tidak bisa…?
Ah, apakah kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi? Seperti setahun yang
lalu?!”
Aditya
menggeleng-geleng. “Aku sudah merasa damai dengan pilihanku, Syan. Tanyakanlah
kepada dirimu sendiri, Syan! Apakah kamu juga bisa kembali menjadi Syanda yang
dulu?! Yang hanya punya satu kekasih dalam hidupnya?”
Syanda
mengernyitkan alisnya. “Ka-kamu tahu soal Ivan juga?!” tanyanya tidak percaya.
Adiya
menggeleng. “Tidak. Tidak satu pun kabar luar tentangmu yang kudengar. Tapi aku
yakin dan percaya, ketidakhadiranmu menjengukku merupakan pertanda bahwa aku
bukan lagi satu-satunya yang ada di hatimu.”
Syanda
tertunduk. “Ta-tapi….”
“Karena
itu, Syan, kutempuh jalan ini.” Aditya bangkit dari kursinya, melangkah ke
jendela. “Karena aku tidak bisa memberi hatiku kepada gadis lain seperti kamu
membagi hatimu kepada pemuda lain. Akhirnya, kuputuskan untuk memberikan segala
cinta yang ada pada yang paling berhak. Dia yang ada di atas sana!”
“Ja-jadi,
ka-kamu menganggap semua salahku?!” Mata Syanda memerah. Digigitnya bibirnya
keras-keras. Kerongkongannya terasa perih.
“Siapa
bilang begitu?” kilah Aditya dengan suara sabar.
“Tapi….”
“Semua
ini bukan salah siapa-siapa.”
“Ta-tapi….”
“Mungkin
semua ini sudah menjadi kehendak-Nya.”
Syanda
memintas dengan rupa nelangsa. Ditatapnya nanar sepasang mata teduh di
hadapannya.
“Dit,
aku mengasingkan diri selama kurang lebih setahun. Hanya untuk memastikan bahwa
di hatiku cuma ada kamu! Tapi, apa yang kuperoleh kini?! Di mana keadilan Tuhan
yang kamu agung-agungkan itu?!” tuntutnya, menelan ludahnya dengan susah payah.
“Adilkah apa yang kudapatkan?! Penantian, kesetiaan, pembuktian yang kuberikan
kepadamu. Oh, Tuhan!” Ditutupnya wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
“Syanda….”
“Aku
telah kehilangan segalanya! Segalanya!” jerit Syanda dengan suara serak. “Di
saat aku merasa mantap untuk memperoleh segalanya. Segalanya!”
Aditya
tersenyum bijak. Dipandanginya lekat-lekat wajah kuyu gadisnya dulu itu.
Ditatapnya sepasang mata beningnya. Seolah berusaha bicara dari hati ke hati,
menenangkannya yang bermuram dalam ketidakrelaannya melepas sosokya yang kini
tak terjamah.
“Syan,
dengarlah,” pintanya lembut. Disentuhya bahu Syanda dari arah belakang. “Kamu
tidak kehilangan apapun. Cinta kita masih ada. Berada di tempat yang paling
abadi. Cinta kita telah kukirim kepada Tuhan. Biarlah Dia saja yang menyimpannya.
Cintaku kepadamu kutukar dengan cintaku untuk semua umat. Untuk sesama. Karena
kini aku tidak hanya milikmu, tapi milik umat gerejaku. Kamu mau mengerti,
kan?”
“Ak-aku….”
Syanda tergagap. “Ta-tapi….”
“Tuhan
pasti memberkati cinta kita, Syanda.”
“Ja-jadi…
cinta kita masih ada?” Mata Syanda mengerjap, menatap penuh harap ke arah
Aditya. Dan sekali anggukan kecil Aditya membuatnya yakin.
“Cinta
kita abadi, Syan. Yakinlah itu. Sebab, aku yakin cinta kita tidak berlandaskan
pamrih.”
“Cin-cinta
kita masih ada?! Di tempat yang lebih kekal di atas sana?!” tanya Syanda seolah
bergumam. Tubuhnya mengejang.
“Ya,”
angguk Aditya bijak.
“Ak-aku
mencintaimu, Dit! Lebih dari yang kamu bayangkan. Bahkan, lebih dari yang
pernah terpikir olehku sendiri. Tahukah kamu?!”
“Aku
tahu, aku tahu.” Aditya menepuk-nepuk bahu gadis yang pernah diakrabi dan
dikasihinya itu.
Syanda
sesenggukan. Hatinya pedih. Sesaat dia merasa nasib seolah mempermainkannya.
Sewaktu dia memiliki segalanya, dia bimbang dan ragu atas apa yang dimilikinya.
Tapi setelah dia berhasil meyakinkan diri bahwa dia memang pantas memiliki
Aditya dan cintanya, justru kenyataan membawanya pada babak baru dalam kisah
kehidupannya. Aditya semakin menjauh, direntang jalan suci yang ditempuhnya.
Hidup berselibat dalam pengabdian kepada
Tuhan dan sesama. Dan dia harus menerima kenyataan itu.
“Aku
mencintaimu, Dit! Sampai kapan pun juga… selamanya!” desis Syanda dengan mata
sembap. Diraihnya tangan Aditya. Digenggamnya erat-erat.
Aditya
kembali mengangguk dengan sinar bijak. “Terima kasih untuk ketulusan cintamu,
Syan.”
“Selamat
tinggal, Frater!”
Syanda
melepaskan genggaman tangannya. Dengan masih berlinang airmata ditinggalkannya
ruang pastori dengan hati pedih.
Memang,
ada saatnya cinta itu tidak mesti bersatu. Mungkin inilah cinta yang
sesungguhnya. Untuk saat ini rasanya dia belum sanggup menerima dengan hati
tabah. Mungkin suatu saat dia dapat memafhumi.
Entah
kapan.
***
Dua
Tahun Kemudian
Kekecewaan
yang pernah dirasakannya perlahan memudar dari hari-harinya. Pengalaman pahit
membentuknya menjadi gadis yang tegar dan tabah. Syanda telah menemukan kembali
dunianya yang hilang. Dunia yang penuh dengan warna. Meski dia belum dapat
sepenuhnya melupakan cinta pertamanya, namun dia tidak lagi terkungkung dalam
romantisme masa lalunya yang menyakitkan.
Sekarang
dia menyibukkan dirinya dalam kegiatannya yang seabrek. Menjadi penulis
freelance di majalah-majalah remaja, copy-writer, dan penyiar radio. Kuliahnya
pun sudah hampir rampung. Mungkin setahun lagi dia sudah dapat menyandang
predikat psikiater. Suatu kebanggaan yang tidak dapat dilukiskannya dengan
kata-kata.
“Selamat
siang, Syanda?”
“Eh,
selamat siang, Frater.”
Frater
Aditya tiba-tiba sudah berdiri di bawah bingkai pintu ruang sekretariat pemuda
gereja. Suaranya yang khas melantun lembut. Menggugah keterdiaman Syanda yang
entah sudah berapa lama mematung dalam lamunannya. Syanda kikuk. Dia berusaha
menyembunyikan tingkahnya akibat melamun terlampau jauh ke belahan silam.
Mudah-mudahan Frater Aditya tidak menyadarinya, batinnya jengah. Dia kemudian
berdiri dari duduknya di belakang meja kerjanya.
“Bagaimana
dengan buletin edisi depan kita?”
“Hm,
sudah siap naik cetak, Frater. Mungkin minggu depan beredar,” jawab Syanda
santun, lalu kembali duduk di kursinya.
Sebagai
seorang penulis remaja, Syanda dipercayakan mengasuh sebuah terbitan rohani.
Dan pekerjaan mulianya itu telah mempertemukannya kembali dengan Aditya, cinta
pertamanya. Namun, kini Syanda sadar inilah sesungguhnya cinta sejati. Cinta
yang universal, cinta yang tak dibatasi waktu dan jarak.
Cinta
untuk sesama.
“Selamat
siang, Frater!” sebait suara melantun dari arah bingkai pintu.
“Siang,
siang,” jawab Frater Aditya. “Masuk.
Mari masuk. Ada yang bisa saya bantu?”
Seorang
pemuda tampan membungkukkan badannya menghormat.
“Maaf,
mengganggu. Saya ingin bertemu dengan Syandarini Aprilia Joshepine Munaf.”
Syanda
mengangkat wajahnya dari monitor komputer ke arah suara lembut tersebut. Dan
dia terpana seperti patung.
“I-Ivan!”
serunya dengan mata terbelalak. “Ivan Prasetyo?!”
Pemuda
bernama Ivan itu tersenyum manis. “Hai, apa kabar Syanda?”
“Kalian
sudah saling kenal, ya?” ujar Frater Aditya sembari melangkah keluar dari ruang
sekretariat. “Kalau begitu, saya pamit keluar dulu, ya?”
Syanda
berdiri, berlari dan memeluk tubuh lampai Ivan. Dipereratnya pelukannya dengan
pipi membasah. Dia menangis bahagia.
“Aku
tidak ingin kehilangan kamu lagi, Syan!” bisik Ivan lembut. “Aku rindu kamu….”
Syanda
tidak dapat bicara apa-apa lagi. Tangisnya menderas.
“Maafkan
aku, Syan. Aku tidak dapat membohongi perasaanku lagi. Apapun yang terjadi, aku
harus mencarimu. Aku…”
“Aku
mencintaimu, Van!”
Di
luar ruang sekretariat, Sonya dan Santi tersenyum penuh arti. Mereka semua
bahagia dapat mempertemukan Syanda dengan cinta sejatinya!
TAMAT