![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 08
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Miss
You Like Crazy
Syanda
mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke dalam koper. Pakaian, iPod
Apple, kamera, dan beberapa perlengkapan yang diperlukannya untuk mengusir sepi
di tempat pengasingannya nanti.
“Semua
ini tidak bakal menyelesaikan masalah,” ujar Mama, berusaha menahan kepergian
putri sulungnya itu.
“Tidak,
Ma.”
“Apanya
yang tidak? Bagaimana dengan kuliahmu?” Mama membelai rambut Syanda. “Tidak
seharusnya kamu lari di saat seperti ini, Syan! Ini bukan jalan keluar!”
“Tapi,
Syanda harus pergi, Ma. Syanda sudah izin cuti semester. Syanda perlu
istirahat.”
“Kenapa?
Bukankah kamu di sini telah….”
“Maksud
Mama… Ivan?!” desis Syanda getir.
“Yah,
siapa pun….”
“Sudahlah,
Ma….” Syanda menutup kopernya sambil berusaha menghentikan ocehan Mamanya.
“Jangan
pergi, Syan….” bujuk Mama dengan tatapan kecewa.
Syanda
menggeleng. Dialihkannya matanya keluar jendela. Pikirannya menerawang. Sesuatu
yang sejak dulu tak mampu dijawabnya. Itulah yang memaksa dan membulatkan
tekadnya untuk pergi sesaat. Menguji diri dan mencari jawaban yang pasti.
Mencari cintanya yang sejati!
“Syan…!”
Wanita separo baya itu menghela napas panjang. “Ivan baik….”
Syanda
menatap Mamanya. Wanita yang dikasihinya itu memang tidak menyukai Aditya. Dan
rasanya semua orang pun akan bersikap sama. Ivan dibandingkan Aditya memang
ibarat bumi dan langit. Syanda heran, mengapa dia merasakan kebahagiaan yang
sama. Padahal, dalam soal karakter, kedua pemuda itu sangat berbeda. Amat
berbeda!
“Saat
ini Syanda memang dekat dengan Ivan, Ma. Sementara Aditya berada jauh dari
Syanda. Kalau Mama menyukai Ivan, Mama tidak salah. Tapi tolong, biarkan Syanda
mengambil keputusan sendiri, Ma. Syanda akan mencari jawabannya,” pinta Syanda.
Matanya terasa hangat.
“Ivan
tahu rencana keberangkatanmu?” tanya Mama akhir-nya dengan nada suara pasrah.
“Tidak
seorang pun tahu. Tidak Ivan, tidak Aditya. Tidak siapa pun tahu ke mana Syanda
akan pergi, dan berapa lama!”
“Tidak
juga Mama?! Syan, kamu akan memberitahu tempat tinggalmu kepada Mama, kan?”
tanya Mama penuh harap.
Syanda
mengusap wajah. Bukan tidak mungkin Mamalah yang akan menjadi orang pertama
yang paling bersemangat mengacaukan acara pengasingannya. (Meski jauh-jauh hari
Papa sudah mengusulkan agar Syanda kuliah di luar negeri dan belajar hidup
mandiri di sana, tapi baru kali inilah terpikir olehnya). Dia juga yakin kalau
Mama tidak akan berhenti menghalangi niatnya sebelum mendapat jawaban yang
pasti tentang perpisahannya dengan Aditya. Karena itu digelengkannya kepalanya.
“Ya,
tidak juga Mama. Papa. Santi. Maafkan Syanda, Ma. Untuk kali ini saja
biarkanlah Syanda melakukan sesuatu atas dasar keinginan Syanda sendiri. Bila
tiba saatnya, Syanda pasti akan mengabari Mama, Papa, dan Santi.”
Dipeluknya
Mamanya. Direbahkannya kepalanya di bahu bidang Mama. Dijatuhkannya airmatanya
di sana. Perpisahan memang terasa berat. Namun, keputusan telah bulat. Mungkin
dalam kesendiriannya nanti akan ditemukannya jawaban yang dicarinya selama ini.
Sebuah jawaban untuk menjawabi kebimbangan dan dilematisasi yang selama ini
melingkupi hidupnya.
***
Lagu
lawas ‘Miss You Like Crazy’ dari The Moffatts yang menemaninya selama
perjalanan dalam kereta api masih mengalun di telinganya lewat dua kabel iPod
Apple. Ah, sebetulnya haruskah kuteruskan rencana kepergianku ini? Apakah yang
kucari di sana? Hanya sebentuk keputusan, dan untuk itu harus juga kutinggalkan
Ivan dengan segebung cinta yang tulus diberikannya untukku? Apakah kepergianku
ini bukan sekadar pelarian diri belaka? Syanda membatin galau.
Dipijitnya
keningnya yang terasa pening. Dimatikannya iPod Apple dan dicopotnya kabel
earphone yang menyambung di telinganya. Terdengar gerus deru kereta api.
Dibukanya jendela. Angin dingin menerpa wajahnya yang masai.
“Maaf,
apakah tidak lebih baik jendelanya ditutup saja?” Selantun suara tiba-tiba
menegurnya dari arah belakang. Dari deretan kursi di belakangnya.
Syanda
tercekat. Suara itu memaksanya untuk menoleh ke belakang. Untuk memastikan
bahwa….
“Astaga…!”
“Yap.
Aku ikut. Kamu marah?”
“Ka-kamu….”
“Kursi
sebelahmu kosong?”
Syanda
mengangguk, masih setengah tercengang.
Ivan
bergerak, berpindah tempat duduk. Tubuhnya sedikit limbung karena getaran di
kereta api.
“Lebih
sulit berjalan di kereta api ketimbang di pesawat udara,” keluh Ivan dengan
mimik jenaka.
“Ivan,
sebelum aku marah, katakan dari mana kamu tahu tentang kepergianku ini?” tanya
Syanda dengan hati tidak menentu. Apakah dia harus jengkel karena Ivan
mengacaukan rencananya, ataukah dia harus gembira karena ternyata….
“Baiklah,
sebelum kamu marah, sebelum aku bercerita, aku minta jaminan bahwa kamu tidak
bakal memusuhi ‘si Mata-mata’ itu?”
“Oke.
Aku janji.”
“Sonya….”
“A-anak
itu…?!”
“Hei,
kamu sudah janji….”
“Oke,
oke. Aku tidak marah, kok.”
“Suer?”
Syanda
mengangguk dan tertawa geli menyaksikan mimik bersalah Ivan. Amarahnya yang
sempat mengubun tadi perlahan mereda.
Ivan
menghela napas. Ditatapnya seraut wajah mungil dengan rambut tergerai di
hadapannya. Wajah yang belakangan ini membuat hari-harinya menjadi bergairah
setelah berpisah dengan Mita. Wajah yang membuatnya lebih mengenal arti hidup
ini. Wajah yang selalu ingin disimpannya dalam hati. Selalu….
“Mengapa
kamu tidak memberitahuku keberangkatanmu ini?” tuntut Ivan serius. Dahinya
mengerut.
Syanda
tergagap. “Ak-aku… aku bahkan tidak memberitahu Mama.”
“Aku
mengerti. Tapi untuk apa semua ini, Syan?!”
“Untuk
masa depanku. Mungkin kamu tidak mengerti, Van. Tapi bagiku, ke mana kaki akan
melangkah harus diputuskan dengan sungguh-sungguh. Karena aku takut kecewa.
Takut salah langkah.”
“Maksudmu?”
Syanda
tertunduk. Haruskah dijelaskannya bahwa hatinya masih terpaut utuh kepada
Aditya?! Haruskah Ivan tahu bahwa bayang Aditya pun masih sering menghiasi
mimpinya?!
“Kenapa
kamu pergi, Syan?!”
“Aku
pergi untuk mencari jawaban demi diriku sendiri, Van. Karena itu, biarlah
kucari jawaban itu sendiri tanpa dipengaruhi siapapun. Tidak terkecuali kamu
yang baik kepadaku!” Airmata Syanda menggenang. Di luar, deru kereta semakin
menderas.
“Seandainya
saja aku dapat menolongmu mencari jawaban itu,” desah Ivan seraya menghela
napasnya.
“Kamu
bisa menolongku!”
“Caranya?”
“Turun
di peron terdekat. Tinggalkan aku!” ujar Syanda, tidak berani menatap mata
elang Ivan. Dia tahu, hatinya tidak akan kuat bila memandang tatapan tulus dan
penuh harap dari Ivan. Tatapan yang begitu menjanjikan namun harus segera
dienyahkannya.
“Ja-jadi…
kamu sungguh-sungguh… ah, Syan! Ak-aku mencintaimu! Aku tidak ingin ada nama lain
dalam hatimu. Sumpah, aku cinta kamu!” Ivan menggenggam erat lengan Syanda dan
berbisik dengan suara parau ke telinga Syanda.
Hening sesaat. Kereta terus melaju sampai
pluit terdengar tanda kereta memasuki peron perhentian sesaat. Tangan mereka
masih saling menggenggam erat. Erat sekali.
Syanda
menatap Ivan dengan hati tidak menentu. Betapa ingin kepala ini mengangguk,
betapa ingin kusambut mata yang menjanjikan itu, betapa ingin kutumpahkan
tangis di dada bidang itu. Betapa….
Ah,
betapa sulit untuk memutuskan itu semua, karena jauh di sana, ada sepotong hati
di mana terlanjur kutorehkan janji. Sepotong hati di mana telah terajut banyak
kenangan. Kepala Syanda menggeleng kecil, perlahan dan ragu.
“Syan…
ka-kamu…!” Ivan mendesah serak.
“Van,
aku harus mencari jawaban itu dari diriku sendiri. Jawaban itu tidak datang
dari kamu. Tidak dari siapapun. Kamu mau mengerti, kan?”
Ivan
menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan airmata yang menggantung di
sudut matanya. Belum pernah Ivan secengeng ini, batin Syanda getir. Aku telah
melukai hatinya, tapi itu lebih baik ketimbang nanti kulukai dia dengan
pilihanku yang keliru.
“Aku
harus jujur kepada diriku sendiri, Van. Saat ini aku ragu. Cobalah untuk
mengerti. Aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Tidak kamu, tidak Aditya!”
“Ja-jadi…
kamu masih menyimpan Aditya dalam hatimu?!”
Syanda
tertegun. Jadi dia masih menyimpan Aditya dalam hatinya? Perlahan kepalanya
mengangguk.
“Ya!”
“Ja-jadi….”
“Aku
mencintainya!”
“Sadarilah,
Syan. Selama ini, apa yang diberikan Aditya untukmu? Tidak ada selain
penantian, penderitaan, kesepian dan kemarahan Mamamu belaka. Tapi ternyata,
kamu masih tetap menyimpan namanya dalam hatimu. Bahkan dengan kehadiranku,
dengan segala kebahagiaan yang berusaha kuberikan untukmu agar melupakan
Aditya, kamu masih tetap bertahan. Kamu ragu, itu wajar. Tapi bagiku, segalanya
telah terjawab!” Ivan mengangkat dirinya dari bangku kereta.
“Ivan…!”
“Aku
harus bergegas, kalau tidak kereta ini akan terlanjur berangkat lagi dan
membawaku ikut ke tempat pengasinganmu di Solo. Aku akan turun di sini!” Ivan
mengulurkan tangannya seperti hendak memberi selamat.
“Ma-maafkan
aku, Van….”
“Selamat,
Syan. Belum pernah kutemukan gadis setegar dan sesetia dirimu. Seandainya aku
adalah Aditya, betapa bahagianya aku.”
Syanda
ternganga. Pluit panjang berbunyi lagi tanda kereta api akan segera
meninggalkan peron persinggahan. Ivan bergegas menjinjing travelling bag-nya.
Rupanya keputusannya telah bulat. Sesaat Syanda tercenung bimbang.
Betapa
inginnya dia menarik tangan Ivan dan mengajaknya ikut ke tempat pengasingannya.
Betapa rindunya dia mendengar tawa dan canda yang selama ini mengakrabinya!
Dan, semuanya itu dari Ivan. Ketulusan yang ditampiknya atas nama cinta pertama.
Perlahan
dirasakannya airmata mengalir di pipinya. Sebilah jari hangat menyusutnya.
Membelainya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
“Selamat
tinggal, Syan. Keraguanmu adalah jawaban bagiku!”
“I-Ivan…
ak-aku sayang kamu,” desah Syanda terisak.
“Tidak,
Syan. Airmatamu adalah airmata untuk Aditya. Aku merasakan itu sejak lama.
Sesaat masih kucoba untuk mengajakmu melangkah bersamaku, hanya bersamaku.
Belakangan ini, aku tahu kamu tidak mungkin melupakan Aditya!”
Pluit
panjang berbunyi lagi.
“Aku
harus pergi!” Ivan mengecup kening Syanda sekilas.
Mata
Syanda memejam. Dia tidak berani membuka matanya dan menatap hilangnya Ivan
dari gerbong. Dia takut kakinya akan bergerak mengejar Ivan. Deru kereta api
terdengar lagi. Makin lama makin cepat. Berlomba dengan deras airmata yang
mengalir membasahi pipi Syanda. Makin lama makin deras.
Sebenarnya
apa yang kucari selama ini? Sekeping cinta atau hanya seonggok kebahagiaan semu
belaka? Lewat jendela kereta api, Syanda menatap jauh ke langit luas. Berdoa
agar di sana ada jawaban untuknya.
Namun
semua tetap membisu.