![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 06
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Bukan
Aku Tak Sayang
“Nah,
ketemu lagi!”
Syanda
tersentak. Dan puluhan mahasiswa lain yang berada di perpustakaan itu pun ikut
tersentak.
Ivan
agak risih juga. “Maaf, aku mengejutkan kamu, ya?” bisiknya.
Syanda
menggeleng, menunjuk pada sebilah papan bertuliskan: HARAP TENANG, RUANG BACA.
Ivan tersipu. Diambilnya tempat duduk tepat di hadapan Syanda.
“Apa
kabar?” bisiknya. “Long time no see, yeah?”
Syanda
tersenyum. “Apa kabar juga pacarmu? Siapa namanya?”
“Mita.”
“Ah,
iya. Mita. Bagaimana?”
“Justru
aku yang mau tanya sama kamu. Bagaimana?”
“Oo,
maksudmu bagaimana penyelesaiannya?” tukas Syanda sambil mengerling.
“Iya,
tapi jangan pakai mengerling begitu, dong. Demi lirikanmu, rasanya aku rela
meninggalkan Mita,” goda Ivan.
“Ah.
Caramu bicara, caramu bercanda, mengingatkan aku kepada….”
“Aditya?”
potong Ivan.
“Ka-kamu
tahu?!” Syanda terbelalak. “Dari mana….”
Ivan
mengangguk. “Aku tahu segalanya. Tentang kamu. Tentang Aditya-mu. Tapi, saat
ini aku tidak ingin membicarakan siapa kamu dulu. Atau, siapa Aditya-mu. Aku
tidak mau tahu semua itu. Aku hanya ingin berkawan denganmu. Dengan Syanda yang
sekarang. Oke?” ujarnya, lugas namun tegas.
“Belum
pernah ada orang seperti kamu sebelumnya,” desah Syanda antara kagum dan
terharu.
“Ah,
sudahlah.”
“Kamu
mirip banget Aditya, Van,” ujar Syanda sambil menatap lekat wajah di
hadapannya.
Sesaat
mereka saling memandang. Saling menelusuri apa yang ada dalam bayang binar mata
masing-masing. Sampai akhirnya Syanda tertunduk jengah.
“Ma-maaf…
aku teringat Aditya.” Syanda menyadari telah kelepasan omong.
“Aku
mengerti.” Ivan tersenyum bijak.
“Jadi,
apa yang bisa aku bantu sekarang?” Syanda menghela napas dan membelokkan arah
pembicaraan.
“Tidak
ada.”
“Lho?”
“Aku
sudah tahu jawabnya. Aku harus mengambil sikap tegas. Aku akan meninggalkan
Mita. Di antara kami sudah tidak ada kecocokan lagi.”
“Secepat
itukah kamu mengambil keputusan? Padahal, tadi ketika baru masuk kamu masih
meminta saran dariku. Aneh!”
“Setelah
aku menatap matamu, aku tahu, aku harus berpisah dari Mita. Banyak yang tidak
kutemukan dalam dirinya, tapi kutemukan dalam dirimu.”
“Maksudmu….”
“Aku
tidak bermaksud apa-apa. Hanya… selama ini aku seperti merindukan suasana
ceria. Santai. Tidak bertengkar melulu.”
Syanda
tercenung. Agaknya setiap orang memang memerlukan saat-saat seperti itu. Saat
yang pernah jadi miliknya dulu. Bersama Aditya. Ya, aku pun kehilangan
saat-saat yang terindah dalam hidupku, Van! desis Syanda dalam hati.
Dan
betapa inginnya aku merengkuh kembali hari-hari yang indah itu lagi. Untuk
itulah aku menanti. Masih beratus-ratus hari lagi… dan aku mulai bimbang.
Haruskah kujalani ratusan hari itu dengan penantian, sementara di sekelilingku
banyak yang menjanjikan kebahagiaan itu sendiri?
Di
satu pihak, Syanda merasa bersalah mengkhianati Aditya. Tapi di pihak lain, dia
merasa berhak memperoleh jalan hidupnya sendiri. Berhak melepaskan lingkar
derita yang membelenggunya karena kesetiaan yang dipertahankannya.
“Kamu
sudah makan siang?”
“Belum,”
geleng Syanda.
“Kalau
begitu, aku yang meneraktirmu.”
“Untuk
apa kamu meneraktirku? Alasan apa yang membuatku harus menerima tawaranmu?”
“Ayolah….”
Ivan menarik tangan Syanda. “Untuk jasamu memberiku jalan keluar dari
masalahku.”
Syanda
tersenyum. Lalu, sembari tertawa-tawa kecil mereka beriringan meninggalkan
perpustakaan yang senyap. Sebuah cerita baru yang menjanjikan babak baru mulai
terbit.
Agaknya….
***
Dengan
langkah ringan Syanda melangkah menapaki jalan setapak menuju serambi rumahnya.
Acara makan malam bersama Ivan lumayan menyenangkan kalau tidak mau dibilang
istimewa.
“Dengan
siapa kamu pulang?” tegur Mama halus begitu Syanda menongolkan batang hidungnya
di dalam rumah.
“Ivan,
teman sekampus,” sahut Syanda ringan.
“Cowok
bersedan merah itu lagi, ya? Sudah tiga kali kalau tidak salah kamu pulang
dengan… siapa namanya?” sambung Santi sambil mengunyah popcorn.
“Ivan.
Namanya Ivan Prasetyo. Mahasiswa tingkat dua fakultas ekonomi.” Syanda melepas
sepatunya dan mencuci tangannya lalu beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan
menuang sebotol sirup jeruk dingin ke dalam gelasnya.
“Rasanya
aku kenal Ivan,” Santi menyusul ke dapur. “Dia kan, seniorku ya?”
“Mungkin.
Ya ampun, kenapa aku bisa sampai lupa kalau kamu juga di fakultas ekonomi? Aku
selalu mengingat kamu anak teknik sebab waktu SMA dulu kamu kan, jurusan IPA.”
“Yoi.”
Santi mengangguk-angguk. “Ivan. Hm, boleh juga. Lumayan dijadikan gandengan
buat JJS.”
“Dasar!”
Syanda pura-pura sewot.
“Maksudku,
kamu tidak salah memilih.” Santi terkekeh.
“Siapa
memilih siapa?” tanya Syanda, mencibir kemudian.
“Kupikir
kalian….”
“Jangan
macam-macam kamu. Kita cuma teman biasa. Tidak lebih dari itu. Kalau kamu mau
tahu yang lebih dari sekadar teman, tidak ada nama lain selain Aditya. Tahu?”
“Teman
atau teman?” goda Santi lagi.
Syanda
melotot.
“Tidak
usah ngotot begitu, dong,” sungut Santi sambil membuntuti Syanda keluar dari
dapur.
“Habis,
kamu picik betul, sih. Baru jalan bersama saja dibilang pacaran. Tidak semudah
itu aku melupakan Aditya! Memangnya aku gadis ABG seumur kamu yang tahunya cuma
cinta monyet.”
“Iya
deh, yang cinta gorila!” Santi mencibir.
“Eh,
ada apa ini?!” lerai Mama. “Pulang-pulang kok, malah ribut sama adiknya.”
Santi
membanting dirinya di atas sofa di sebelah Mama. “Biasa, Ma….”
“Biasa
apa?!” Syanda melotot.
“Lagi
kangen sama Aditya, ditanya sedikit sudah marah-marah,” jawab Santi dengan
entengnya.
“Eh
eh, ngaco kamu!” tukas Syanda marah.
“Huss…
Syanda, sudahlah. Maksud Santi kan, baik. Lagipula, apa untungnya tetap memikirkan
Aditya? Lupakanlah dia. Bina hari esokmu sendiri. Kamu akan lebih baik tanpa
Aditya. Dengarlah kata-kata Mama, Syan.” Mama memijit-mijit pelipisnya. Dahinya
mengerut membentuk lipatan tujuh.
Syanda
terdiam.
“Kapan-kapan,
kenalkan Mama sama Ivan. Boleh, kan?” ujar Mama lagi.
Syanda
menggigit bibirnya. Mengapa semua orang seolah ingin memisahkannya dari
Aditya?! Mengapa tidak seorang pun mendukungnya untuk tetap setia terhadap
Aditya?! Apakah mereka tidak tahu, dalam hatinya pun tengah berkecamuk perang
antara tetap setia dan menggapai masa depan sendiri? Antara tetap setia atau
berpisah? Mengapa tidak seorang pun meyakinkannya untuk tetap setia? Mengapa?!
“Syanda…,”
panggil Mama.
Tapi
Syanda tak peduli. Dilangkahkannya kakinya berlari memasuki kamarnya. Mengunci
diri di sana. Membiarkan keheningan melarutkannya dalam lamunan. Dalam
angan-angan kebimbangan, dia harus memilih. Tapi saat ini dia enggan memilih
siapa pun.
Dit,
doakan agar aku tetap berpegang pada janji-janji yang pernah kita ucapkan
bersama. Aku sayang kamu, Dit. Aku rindu kamu. Tapi rindu yang seolah tak
berujung ini malah menyeretku pada kebimbangan demi kebimbangan.
Syanda
membatin galau. Setiap hari dia berdoa untuk Aditya. Melakukan segalanya untuk
Aditya. Namun, akhirnya dia sadar. Dia hanya manusia biasa. Dia bukan bidadari
yang memiliki kesetiaan tanpa batas.