![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Sepenggal
Kenangan Edelweiss (01)
Oleh
Effendy Wongso
Ini
memori biru
rangkuman
kebersamaan
dalam
hari-hari yang singkat
kesederhanaan
alur kisah,
dan
saling mengasihi merupakan euforia
Semuanya
tumbuh seiring kenangan
sehingga
sang waktu pun
tak
mampu memupusnya
—Catatan
Kecil Perjalanan
Bromo.
10:15 PM.
Saya
baru saja mengedipkan mata ke arah Aditya ketika Mami sudah berdiri di belakang
kami dengan muka butek. Terlambat. Anak itu memang lamban selambat kura-kura.
Slow motion-nya bikin celaka. Dia lebih gemulai ketimbang balerina.
“A-Adit!
Apa-apaan sih kalian ini?!” Wanita gemuk itu menjerit dengan suara semirip
lengkingan knalpot bajaj.
“Sa-saya
mau ke toilet!”
Robby
sudah mengambil jurus langkah seribu begitu Mami melototkan mata sebesar ikan
maskoki. Dia terbang segesit walet. Aditya nyaris kelengar. Gagal
menyembunyikan botol miras. Prahara tidak dapat dielakkan!
Saya
menepuk dahi. Dan mengaduh dalam hati. Kesal. Anak itu selalu bikin ulah. Kali
ini Mami pasti akan mengeluarkan petuah-petuah bijaknya yang sepanjang tujuh
halaman folio ketik dua spasi. Seperti syarat penulisan cerpen pada sebuah
majalah remaja. Tentu saja. Sebagai orang yang dituakan, dalam rombongan tur,
Mami merupakan peserta dengan usia terlanjut, dia ingin menunjukkan eksistensi
sebagai pemimpin yang baik. (Mami adalah ibu dari Viona. Satu-satunya siswi
yang memboyong ibunya ke acara tur perpisahan kelas kami. Hah, cengeng banget
memang. Tapi kalau tidak begitu, katanya sih doi tidak diperbolehkan ikut. So,
jadilah sang idola itu membawa bodyguard!).
“Apa
itu?!” Mami merampas botol yang disembunyikan Aditya di belakang punggungnya.
“Itu
wiski, Mami,” saya menjawab menyergah amarahnya yang sudah mengubun.
“Astaga!”
Mami mendesis, menolehkan kepalanya ke arah saya.
“Udara
dingin sekali, anak-anak cuma ingin menghangatkan badan dengan wiski itu,
Mami.”
“Tapi
itu bukan alasan untuk bermabuk-mabukan?!”
“Maaf,
Mami. Tentu saja bukan untuk bermabuk-mabukan….”
“Adit!”
Wanita berwajah bundar itu kembali mengarahkan pandangannya yang tajam ke arah
Aditya yang masih kemekmek seperti patung orang setengah kelar. “Kamu yang
beli, ya?”
“Maaf.
Saya yang membelinya, Mami.”
Mami
mengibaskan tangannya. Diputarnya tumit dengan pelepah bibir separuh mencibir.
Bersungut-sungut seperti kebiasaannya. Dia masuk ke kamar loteng tanpa bilang
apa-apa lagi. Memarahi kami dengan diam sampai dua kali dua puluh empat jam
seperti biasa!
Mami
tidak melanjutkan amarah konservatifnya. Setelah saya berkorban mengambil alih
tanggung jawab, sontak dia memafhumi keadaan yang tidak mengenakkan itu.
Dia
tahu saya pasti melindungi anak-anak!
***
Bromo.
10:31 PM.
Dalam
perjalanan ke Bromo pagi tadi, bis yang kami tumpangi singgah untuk mengisi
bahan bakar di Mojokerto. Robby iseng membeli wiski di sebuah swalayan.
Katanya, bekal untuk penghangat badan di daerah dingin itu nantinya. Tanpa
sepengetahuan Mami, beserta Aditya dia memboyong sebotol air api itu secara
gerilya. Sembunyi-sembunyi.
Sayang
nasib tak berpihak. Malang tak dapat dielakkan. Aditya dan Robby kedapatan
sedang meneggak miras. Kontan saja Mami mencak-mencak. Saya segera mengambil
langkah darurat untuk menyelamatkan situasi. Dan mengaku sebagai pemilik miras
itu.
“Terima
kasih, Wong.”
“Untuk
apa?”
“Kalau
bukan karena kamu, kami pasti sudah kena gampar.”
“Mami
tidak segalak itu.”
“Tapi….”
“Pengalaman
kena gampar dari Mami, ya?”
“Belum
pernah, sih. Tapi….”
“Jangan
berasumsi kalau belum terbukti.”
Aditya
menundukkan kepalanya. Dipandanginya botol minuman berakohol yang menjadi biang
kemarahan Mami. Robby sudah melarikan diri entah kemana. Anak itu memang reseh.
Sudah lempar batu malah sembunyi tangan. Asam!
“Hai,
guys!”
Saya
mengedarkan mata ke arah asal suara. Viona dan Vicky. Hm, mereka baru saja
jadian, cinlok! Tengah berdiri di bawah bingkai pintu seperti sepasang Ninja.
Pakaian hangat yang mereka kenakan sampai menutupi wajah. Hanya menampakkan
sepasang mata. Saya tahu mereka berdua baru pulang dari warung sebelah
bungalo kami. Minum wedang jahe sekaligus ‘ehem’.
“Lho,
kok pada diaman sih?” Herlina nyeletuk dari belakang sepasang ‘Ninja’ itu.
“Sariawan,
ya?” Naroh dan Yanthi kompakan, seperti melafalkan dialog skenario. Mereka
muncul serempak, seperti anak kembar.
Aditya
duduk tepekur, masih menatapi botol bening berisi cairan berwarna teh di atas
meja. Saya berdiri. Mengambil botol itu. Lalu mengangsurkan botol itu ke arah
mereka.
“Gara-gara
ini!”
“Hei,
ini kan parfum dari Paris?” Naroh berteriak girang.
“Ini
bukan parfum, Goblok!” Yanthi menjitak kepala ‘kembaran’-nya itu. “Ini miras!
Baca baik-baik! Wiski Cap Topi Miring!”
Naroh
nyengir. Mengelus-elus kepalanya yang kena jitak. “Habis, warnanya mirip….”
Yanthi
mencibir. “Huh, dasar mata rabun!”
Anak-anak
peserta tur tertawa terbahak.
“Mami
marah.” Saya menjawabi penyebab biang masalah sehingga suasana bungalo mendadak
sepi seperti kuburan.
Viona
cemas, spontan duduk merapat di samping saya. Vicky mengikutinya dari belakang
seperti pitik.
“Kenapa?”
tanyanya.
“Mami
tidak suka lihat anak-anak minum-miras.”
“Astaga!
Jadi kalian…?” Viona menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. “Ya iyalah,
Wong. Orang tua mana sih yang suka melihat kalian, anak-anaknya minum miras?!”
“Bukan
kami. Tapi, dua orang yang bernama Aditya dan Robby.”
“Lalu,
Mami…?”
“Yah,
seperti biasa. Diaman.”
“Hei,
Robby ke mana?” Herlina bertanya dengan mata celingak-celinguk. Cewek bermata
bola merapatkan jaketnya. Duduk merangkul lutut di atas sofa.
“Sudah
terbang bersama UFO!” Saya jawab sekenanya karena jengkel.
Herlina
terkekeh.
“Dasar
anak itu!” gusar Viona.
“Nanti
kalau membeku jadi es, dia juga akan pulang sendiri!”
Saya
menyegarkan suasana kebekuan dengan mengurai kalimat guyon tadi. Nadya sontak
cekikikan. Yanthi ikut-ikutan tertawa. Viona cuma tersenyum, tidak ikut tertawa
karena masih jengkel. Saya yakin senyumnya cuma pura-pura, sama sekali tidak
terpengaruh kalimat penyegar suasana tadi. Buktinya, tidak lama kemudian dia
malah memberengut, dan sesekali mengembuskan napas kesal.
“Anak
itu selalu bikin gara-gara ya, Wong!”
“Iya,
tuh. Reseh banget!” timpal Herlina ringan.
“Ngapain
coba dia beli miras segala macam. Nyari penyakit saja kan, Wong?!”
Viona
menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mengumpat barusan. Apa-apa juga dia
selalu mengarahkan topiknya ke arah saya. Selama dalam perjalanan, mulai dari
Jakarta, Viona memang paling dekat dengan saya. Anak-anak malah menyangka kami
pacaran, soalnya di dalam bis, doi selalu duduk di samping saya.
Namun
saya hanya menganggapnya teman biasa, dan memberi kesempatan pada Vicky untuk
mendekatinya. Sedari dulu saya sudah tahu kalau Vicky memang naksir anak itu,
jauh sebelum dia dilirik sebuah production house (PH) untuk memerankan Mantili
dalam sinetron Brama Kumbara.
Selama
dalam perjalanan pula, kami banyak bertukar pengalaman. Tentang segala hal.
Khususnya dunia yang kami geluti masing-masing. Dia menanyai tentang dunia
kepenulisan yang tengah saya geluti. Sementara, saya lebih banyak bertanya soal
akting dan status yang disandangnya kini, yang lebih lazim disebut selebritis.
“Ya,
sudalah. Mau ributin apa lagi?! Mami toh telah marah!” ujar Viona, lalu bangkit
berdiri, dan mengibas-ibaskan tangannya seperti menggebah domba. “Sudah, sudah!
Bubar sana! Besok subuh kita mesti berangkat ke puncak Bromo.”
Anak-anak
manut. Berlarian ke kamar mereka masing-masing. Robby baru kembali tepat ketika
jarum pendek jam dinding menunjuk angka sebelas. Untung Viona sudah meringkuk
di kamarnya beserta Mami. Kalau tidak, anak itu pasti kena damprat!
Jam
sebelas lewat dua puluh menit, kami memutuskan untuk rehat. Sama halnya dengan
kami yang cowok, bidadari-bidadari peserta tur berbagi dalam beberapa kelompok
untuk satu kamar. Berjejal dalam satu ranjang seperti ikan dalam panggangan.
Suhu
lima derajat celsius seperti membekukan kami di dalam kamar. Saya lihat Aditya
belum berbaring, masih menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah di atas
ranjang ketika saya hendak mematikan lampu.
“Kok
belum tidur sih, Dit?!”
“Belum
ngantuk.”
Saya
urung mematikan lampu.
“Sudahlah.
Jangan dipikirkan lagi. Ayo, tidur sana! Besok subuh kita mesti ke Bromo.”
Dia
mengangguk. Menelentang, lalu menarik selimut perca tebal sampai menutupi
kepala. Saya matikan lampu dengan sentuhan sekali pada saklar meja.
Tidur menikmati
dinginnya dingin.