![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Season
of The Fireworks (07)
Oleh
Effendy Wongso
Barcelona…
I’m in Love
Tuhan
tolong!
Jangan
biarkan airmataku
jatuh
di hadapan Shancai
Biarkan
aku belajar tegar seperti gadis itu
Ye
Sha
Meteor
Garden
Dini
hari di Barcelona mulai mengembuskan kabut. Kaca-kaca jendela mulai dibasahi
embun. Dingin yang menusuk-nusuk tulang memaksa Shancai meringkukkan diri pada
selimut yang menutupi tubuhnya sebatas dada. Getar pertemuan masih terasa.
Sesuatu yang dianggapnya litani. Dan memaparkan sebuah aurora serupa mimpi.
Namun
kali ini semuanya memang bukan mimpi. Taoming Se telah hadir dalam hidupnya. Ia
hadir nyata. Merengkuhnya dalam jarak tak seberapa. Mengembuskan napas yang
senantiasa menghangatkan giris hatinya. Tapi setiap sebentar ia merasa gentar
dengan pertemuan mereka. Akankah sang waktu mempermainkan cinta mereka kembali?
Mungkinkah sesuatu yang bernama takdir akan hadir dan melerai cinta mereka?
“Aku
akan coba menghubungi Kak Zhuang,” gugah Taoming Se, melonjakkan Shancai dari
lamunannya.
“Tentu.
Kamu harus segera menghubungi Kak Zhuang. Aku pikir banyak hal yang perlu
disampaikannya pada kita nantinya. Bagaimanapun, Kak Zhuang adalah wali kita,
mewakili orangtuamu yang sama sekali menentang hubungan kita ini.”
Shancai
masih meringkuk duduk berselubung selimut. Dibacanya lektur wajah sumringah
Taoming Se lewat satu lirikan mata. Pemuda itu sungguh-sungguh mencintainya.
Lewat satu ikatan sakral yang akan mereka ikrarkan besok lusa di Gereja St
Pons, ia yakin hari-harinya yang kelabu akan tersaput juga. Merenda impian
mereka yang selama ini lantak oleh prahara. Legenda cincin meteor itu memang
telah berakhir!
“Halo,
Kak Zhuang?” Sertamerta Taoming Se menyapa setelah satu sentuhan pada tombol
ponselnya aktif.
“Ase?!”
Suara seorang wanita muda terdengar seperti terlonjak di seberang sana. “Kamu
sekarang berada di mana sih, Ase?! Ibu bilang, kamu kabur lagi dari rumah di
Taipei?!”
“Kak
Zhuang, tolong jangan katakan apa-apa kepada Ibu!”
“Tentu
saja aku tidak akan bilang apa-apa kepada Ibu. Aku hanya mengkhawatirkan
keadaan kamu. Aku cemas terjadi apa-apa sama kamu. Kamu kan baru sembuh dari
amnesia? Pokoknya, aku sangat takut kamu kenapa-kenapa! Tadinya kupikir kamu
malah kambuh, amnesia lagi. Soalnya Ibu bilang, dia tidak dapat menemukan kamu
di seluruh Taiwan. Mungkin kamu hilang ingatan dan entah pergi ke mana.”
“Sekarang
Kak Zhuang sendiri berada di mana?”
“Sekarang
aku berada di Paris. Mungkin minggu depan aku balik ke New York. Sebenarnya
keberangkatanku ke Paris ini bukan dalam rangka apa-apa. Hanya ingin mencari
kamu. Ya, siapa tahu saja kamu berada di sini. Jing kan tinggal di sini.
Mungkin kamu bersembunyi di apartemennya. Beberapa hari lalu aku ke
apartemennya, ternyata kamu memang tidak ada di sana. Ibu sendiri sudah
mencarimu ke seluruh Spanyol. Tapi Ibu tidak menemukan kamu. Hei, kamu berada
di mana sih, Ase?!”
“Aku
di Barcelona.”
“Barcelona?!
Ya, ampun!”
“Kak
Zhuang, tolong jangan bilang pada siapa-siapa, ya?!”
“He-eh.”
“Terima
kasih, Kak Zhuang.”
“Ya,
sudah. Yang penting kamu baik-baik saja.”
“Kak
Zhuang….”
“Apa?”
“Bisakah
Kak Zhuang berangkat segera ke Barcelona?”
“Ada
apa memangnya?”
“Pokoknya
Kak Zhuang harus datang tanpa Ibu ke Barcelona meskipun hanya untuk beberapa
jam saja. Kak Zhuang harus sudah berada di Barcelona ini minimal besok lusa
pagi.”
“Detik
ini aku dapat berangkat ke sana. Tapi, ada apa sebenarnya?!”
“Tapi
Kak Zhuang mesti janji untuk tidak mengatakan hal ini kepada Ibu dan Ayah,
ya?!”
“Iya,
iya! Ada apa, sih?!”
Lima
detik lamanya Taoming Se membisu. Entah bagaimana ia harus mengekspresikan
momen bahagia yang bakal dilaluinya bersama Shancai besok lusa. Ponselnya masih
menempel di telinga, tapi tak sepatah kata pun kalimat yang terlontar untuk
menjawabi pertanyaan penasaran kakak perempuannya itu.
“Halo,
Ase….” Suara di seberang sana terdengar seperti menjerit tidak sabaran. “Ase,
kamu masih mendengarkan aku atau tidak sih?!”
“Ya,
ya, Kak Zhuang,” jawab Taoming Se secepat meteor. “Aku masih mendengar, kok.”
“Lalu apa alasanmu menyuruhku segera berangkat
ke Barcelona?”
“Karena…”
“Karena
apa?!”
“Because,
I WILL MARRY SHANCAI THE DAY AFTER TOMORROW!”
Suara
di seberang sana terdengar terlonjak. Seperti tidak percaya dengan
pendengarannya sendiri, ia terkekeh sebagai tanggapan. Tidak mungkin adik
tunggalnya itu dapat mengambil keputusan secepat itu. Apalagi ia baru saja
mengalami trauma otak akut, amnesia.
“Apa?!”
tanyanya tidak yakin. “Kamu ingin….”
“Aku
ingin menikah dengan Shancai. Besok lusa di Gereja St Pons!”
“Ta-tapi….”
“Tidak
ada yang dapat memisahkan kami lagi, Kak Zhuang!”
“Bu-bukan
itu maksudku. Tapi apakah kalian sudah siap….”
“Kak
Zhuang merestui kami, kan?!”
“Tentu
saja. Tapi….”
“Tapi
apa sih, Kak Zhuang?!”
“It’s
okay. Aku sangat gembira dengan keputusan kalian itu. Yah, kalau sudah menjadi
keputusan bulat, aku harus bilang apa selain mengakuri dan merestui kalian.”
“Terima
kasih, Kak Zhuang!” Suara Taoming Se kini yang terdengar seperti sedang
terlonjak. “Entah bagaimana aku harus membalas budi baik Kak Zhuang.”
“Sudahlah,
Ase. Aku ini kan kakak kandungmu. Kalau kamu bahagia, aku juga turut bahagia.
Dan mana mungkin aku tidak hadir pada seremonial pernikahanmu dengan Shancai di
Barcelona.”
“Oke.
Kalau begitu, aku tunggu lho kedatangan Kak Zhuang di Barcelona,” ujar Taoming
Se dengan nada terharu. “Aku tidak dapat memaafkan Kak Zhuang lho kalau sampai
tidak datang! Sampai jumpa, Kak Zhuang.”
“Bye”.
“Eh,
tunggu, Kak Zhuang!”
“Ada
apa lagi?”
Taoming
Se menderaikan tawanya. “Kak Zhuang, apakah kali ini bila bertemu nanti, akan
memukulku lagi?”
“Ase,
apa-apaan sih kamu ini?” Taoming Zhuang di Paris terdengar menderaikan tawanya
di horn ponsel. “Rupanya kamu masih ingat kebiasaanku bila bertemu denganmu. Kupikir
setelah amnesia, kamu sudah melupakan kebiasaanku itu. Tapi secara keseluruhan
kamu sudah banyak berubah, kok. Kamu jauh lebih dewasa, bukannya Taoming Se
yang suka bikin masalah. Makanya, mungkin ritual pertemuan kita itu aku akhiri
saja. Soalnya, Shancai banyak mengandili perubahan dalam dirimu. Hm, aku harus
berterima kasih banyak kepada gadismu itu. Dia menyulapmu menjadi orang baik.”
Baterai
ponsel Taoming Se melemah tepat ketika tawanya menyeruak. Terdengar sinyal
‘bip’ beberapa kali sebelum ia menyudahi pembicaraan.
“Sori.
Ponselku low-bat. Sampai jumpa, Kak Zhuang.”
Shancai
tersenyum, dan sesekali memejamkan matanya karena bahagia. Setelah dilihatnya
Taoming Se menyudahi pembicaraannya dengan sahabat-sahabat dan kakaknya lewat
ponsel, maka ia memberanikan diri mendekat kembali ke sisi pemuda itu.
Menyandarkan kepala ke pundaknya yang bidang. Serasa masih tidak percaya dan
mimpi, dua hari lagi ia akan menikah dengan pemuda yang paling dicintainya!
Seperti
dapat meraba alam pikirannya, Taoming Se mendadak bertanya dengan lembut
sembari sesekali jemarinya mempermainkan bilah rambut Shancai yang jatuh di
pelipis.
“Shancai,
apa yang sedang kamu pikirkan sih?”
Shancai
tergeragap. “Oh, ti-tidak ada apa-apa kok! Aku cuma berpikir, apakah tidak
sebaiknya memberitahu juga kabar gembira kita ini kepada Jing? Soalnya, Jing
kan banyak membantuku mencarimu saat kamu amnesia dan menghilang di Barcelona.”
Taoming
Se melonjak girang. “Hei, kenapa tidak? Mungkin saja Jing dapat merias kamu?
Bukankah Jing gape merias? Dia kan model? Uh, pasti dia bakal menyulap Tong
Shancai menjadi pengantin tercantik di dunia!”
“Ase,
kamu ini kenapa sih? Aku menyuruhmu mengundangnya bukan karena ingin dia
menjadi periasku?” tanggap Shancai dengan wajah memerah. “Lagian, siapa juga
yang mau menjadi pengantin tercantik di dunia?”
Taoming
Se terbahak.
“Aku
kan menyuruhmu mengundangnya supaya Jing turut merasakan kebahagiaan kita,”
tutur Shancai manyun. “Eh, hampir lupa. Kita juga harus mengundang Ye Sha!
Undang, ya?”
“Untuk
apa kamu ingin menghubungi Ye Sha?”
Taoming
Se bertanya dengan rupa baur. Sama sekali tidak ingin mengingat kenangan silam
bersama gadis yang pernah dicintainya pada suatu masa itu. Ia ingin melupakan
semua kenangan manis yang pernah dirajutnya bersama gadis hippies dari Buthan
tersebut. Ia ingin meyudahi segalanya. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari
baru bersama Shancai. Bukan Ye Sha.
Ia
tidak ingin menyakiti hati Shancai untuk kedua kalinya lagi. Ia tidak ingin
Shancai cemburu, dan menyimpan rasa sakit itu di hatinya bila ia menghubungi Ye
Sha, memberitahu dan mengundangnya ke Barcelona.
“Tentu
saja kita harus mengundangnya, Ase. Dia kan teman baik kita juga. Lagian,
seumur hidup aku tidak akan dapat melupakan jasa-jasa dan pengorbanannya
sehingga kita dapat bersatu kembali. Jadi, mana bisa kita tidak mengabari
pernikahan ini kepadanya di Buthan?”
“Ta-tapi….”
“Ase,
jangan picik! Jangan pernah menyangka aku bakal cemburu bila Ye Sha hadir di
antara kita. Kenapa? Karena aku tahu cintamu hanya kepada diriku seorang. Aku
tahu betapa besar cintamu kepadaku.”
“Baiklah.
Aku akan mengundangnya ke Barcelona,” akur Taoming Se, wajahnya sudah
menyumringah.
“Terima
kasih, Ase,” ujar Shancai, mempererat gayutan tangannya di lengan Taoming Se.
“Kita
telepon Ye Sha memakai telepon hotel saja. Soalnya, ponselku lagi low-bat.”
Shancai
mengangguk. Secuil senyum kembali mengembang di bibir tipisnya. Dipejamkannya
mata sesaat. Kenangan bersama Ye Sha dan hari-hari biru persahabatan merupakan
memori indah masa lalu. Diam-diam ia bersyukur atas segala rahmat yang
diberikan Tuhan kepadanya.
Dan
Ye Sha adalah anugerah itu.