![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Kim Yang Erl, Saranghae
Oleh Effendy Wongso
“Huh, kenapa tidak ngecat
rambutnya pakai pilox sekalian?!”
“Setiap gadis mempunyai
karakter yang berbeda.”
“Semua manusia juga
begitu. Tapi karakter cewek tengil itu di luar dari batas kewajaran!”
“Selama masih dalam batas
kesopanan, apa salahnya?”
“Apa salahnya kamu
bilang?! Hah, padahal kelakuannya seperti orang yang salah minum obat!”
“Yang salah minum obat,
kamu apa dia sih? Setiap hari kamu ngedumel seperti cucakrawa.”
“Ka-kamu….”
“Apa salahnya sih kalau
dia berekspresi begitu?!”
“Ekspresi?! Apanya yang
ekspresi kalau kelakuannya sudah bikin orang mengurut dada!”
“Aku tidak mengurut dada.
Biasa saja, kok.”
“Semua orang bilang kalau
suatu saat KLB, Kelompok Lima Bintang bubar pasti karena ulahnya!”
“Siapa semua orang? Sori,
bukannya aku membela. Tapi jangan mewakilkan satu suara atas nama kolektivitas
global.”
“Ta-tapi….”
“Jangan cepat mengambil
kesimpulan kalau letak permasalahannya belum jelas benar, Arum. Kegagalan
pentas tempo hari tidak berada di pundak satu orang saja. Rasanya tidak adil
melimpahkan kesalahan hanya pada dia seorang.”
“Dia merusak alur tarian
dengan norak! Reputasi baik KLB rusak karenanya!”
“Bukan sengaja. Siapa sih
yang ingin reputasi kelompoknya rusak? Waktu itu, mungkin dia belum hapal
gerakan. Mungkin juga lupa.”
“Terlau picik rasanya
kalau dia tidak serius untuk pentas sepenting itu, Bram!”
“Aku lihat dia sudah
berusaha semaksimal mungkin.”
“Berusaha merusak dengan
kelakuannya yang tengil itu memang iya!”
“Aku tidak merasa dia….”
“Apa sih kelebihan gadis
itu sehingga kamu selalu membelanya?!”
“Kalau tidak salah tentu
akan aku bela. Begitu pula sebaliknya kalau dia salah. Aku punya tanggung jawab
itu sebagai ketua di KLB.”
“Tentu. Kamu harus jeli
melihat siapa-siapa yang pantas atau tidak bertahan di KLB.”
“Itu kewajibanku. Jangan
kuatir aku akan lupa!”
“Sori. Aku cuma
mengingatkan. Bukannya sok mengatur!”
Sepele sebetulnya
perdebatan saya dengan Arum hari ini. Hanya soal rambut. Entah kenapa tiba-tiba
dia mempermasalahkan rambut gadis Korea yang dicat pirang itu. Padahal, menurut
saya persoalan ini tidak perlu sampai mengemuka begini. Sampai-sampai habis
waktu untuk membincangkan tetek-bengek rambut Kim Yang Erl.
Tapi letak permasalahannya
sebenarnya bukan pada karakter prenjak gadis tujuh belas itu. Entah Arum yang
agak posesif atau saya yang kelewat sensitif menilai ulahnya yang ganjil. Saya
sadar, sejak kehadiran Kim Yang Erl menjadi bagian dari sahabat kami di Kelompok
Lima Bintang, dia mulai menunjukkan sikap antipati. Menjauh dan mengucilkan
diri dari dunia kami yang penuh dengan kedinamisan.
Tentu ini bukan hal yang
bagus. Saya tidak ingin salah seorang anggota KLB bercerai berai. Rasanya tidak
bijak persahabatan yang telah kami bina sekian tahun lantak dalam sehari.
Seperti kemarau semusim diguyur hujan sehari!
Bukan itu saja. Rasanya,
seabrek latihan rutin kami bakal tersita hanya mempertentangkan hal tidak
berguna seperti itu. Sama sekali tidak membawa faedah apa-apa.
Hanya menghadirkan
permusuhan!
***
“Dia….”
“Arum Sanggarwati! Apa sih
salah dia?!”
“Kamu….”
“Bukannya aku membela
dia.”
“Ta-tapi….”
“Kita mestinya bangga.”
“Bangga?!”
“Memangnya kenapa?”
“Nehi, nehi! Jangan bilang
karena merek luar negeri anak diplomat Korsel yang disandang cewek ganjen itu
sehingga KLB patut berbangga! Mau dari Jepang-Rusia-Turki-Kamerun kek, kalau
kelakuannya minus kuadrat begitu sama juga KLB hanya piara bom waktu.”
“Tapi….”
“Tanpa dia sebagai label
kebanggaan pun KLB mampu mandiri, kok.”
“Tentu saja. Semua
kesuksesan KLB selama ini berkat galangan kerja sama tanpa pamrih dari sesama
anggota.”
“Tapi dia sama sekali
tidak pernah memberikan kontribusi apa-apa bagi perkembangan KLB selain….”
“Stop! Aku tidak mau
dengar kamu bilang tanpa gadis itu pun KLB….”
“Kenyataannya memang
begitu, kok.”
“Jangan motong! Aku belum
selesai bicara.”
“Oke. Kamu teruskan saja
perbendaharaan kalimat kamu yang dipenuhi pujian tentang The Most Beautiful
Girls from Korea, Kim Yang Erl!”
“Aku selalu bersikap adil
menilai!”
“I hope.”
“Arum!”
Gadis mungil sahabat
se-SMA saya itu mengibaskan tangan. Saya menghela napas panjang. Selalu saja
begitu. Dipikirnya saya selalu tidak adil dalam menyikapi suatu masalah.
Rasanya saya malas berdebat dengan dia lagi!
“Sebagai ketua….”
“Justru karena aku ini
ketua sehingga tidak ingin melihat KLB direcoki dengan pertengkaran sesama
anggota.”
“Tapi….”
“KLB dapat bertahan sampai
sekarang karena satu hal. Kekompakan!”
“Dan sekarang Si Korea itu
datang memburai kekompakan kita!”
“Atas dasar alasan apa
kamu menuduhnya begitu?!”
“Bukankah sekarang kita
sudah tidak kompak?!”
Saya kaget mendengar
kalimatnya yang barusan. Hubungan saya dengan Arum memang telah merenggang. Tapi,
bukan salah Kim Yang Erl sehingga hubungan pertemanan antara saya dan Arum
kurang harmonis lagi. Gadis dari Negeri Ginseng itu tidak pernah melakukan
kesalahan di mata saya. Arum saja yang jealous. Karena sejak bergabungya dia di
KLB, praktis pengurus maupun anggota lama mengalihkan perhatian dari Arum. Kim
Yang Erl memang menjadi primadona baru di KLB.
Dan ketika Kim Yang Erl
melakukan kesalahan kecil dalam pentas tempo hari, Arum pun mengurai alasan
sepanjang Sungai Nil untuk mendepak gadis Korea itu dari keanggotaan KLB. Heh,
dianggapnya kesalahan kecil itu sebagai kiamat bagi KLB!
Tapi tentu saja saya
menampik kehendaknya yang tidak beralasan itu. Atas dasar apa saya bisa
mendepak Kim Yang Erl yang sudah masuk sebagai anggota KLB melalui prosedur
sahih? Padahal sebagai ketua generasi pertama KLB, saya justru dituntut untuk
senantiasa bersikap adil tanpa membeda-bedakan warna rambut!
Namun Arum tidak mau tahu!
Dia terus saja mendesak sehingga malah membuat saya antipati padanya. Kalau
disuruh memilih untuk mendepak siapa, justru yang akan saya depak adalah Arum!
Fase penyakit cemburunya itu sudah pada stadium akut!
“Dia…”
“Sudahlah. Jangan
memperpanjang kesalahan kecilnya tempo hari menjadi masalah besar, Arum!”
“Aku sudah tidak tahan
melihat tingkahnya….”
“Jangan karena masalah
sepele sehingga kita bertengkar terus.”
“Aku juga sebenarnya tidak
kepingin bertengkar, kok!”
“Aku harap kita bisa
kompakan lagi seperti dulu, Arum.”
“Tentu saja bisa kalau
tidak ada yang namanya Kim Yang Erl.”
“Jangan mendesakku untuk
mendepak anak diplomat Korsel itu.”
“Sudah kuduga kamu tidak
bakalan mau!”
“Aku tidak punya alasan….”
“Tidak perlu alasan
apa-apa untuk mendepak anak ganjen itu!”
Saya mengusap wajah. Entah
harus mengurai kalimat bijak apa untuk menggebah keinginan Arum yang tidak
sehat itu. Saya bangkit dari bersila, keluar dari pendopo dengan langkah
gamang.
***
Kelompok Lima Bintang
mulanya berjumlah lima orang. Saya, Bramana Sanjaya, Arum Sanggarwati,
Bernardus Tito Chekov, Chiang Kok Wui, dan Erika Danny Emanuel alias Ede.
Semuanya merupakan sahabat satu sekolah sejak SMP. Memasuki usianya yang
keempat, KLB berkembang menjadi kelompok kesenian profesional. Padahal, mulanya
kelompok ini hanyalah sebuah geng biasa. Tanpa bertujuan apa-apa selain sekadar
mengikat tali persahabatan saja. Perjalanan KLB mulai berubah menjadi kelompok
kesenian, sanggar, setelah SMP kami mengadakan acara perpisahan sekolah. Arum
mengusulkan agar KLB mempersembahkan sebuah tarian kontemporer yang dibawakan
oleh kami sendiri.
Perjalanan itu pun
berkembang lebih jauh karena KLB sudah kadung dikenal sebagai kelompok tari
remaja meski belum dalam taraf profesional. Semua berkat keberhasilan kami
dalam acara perpisahan sekolah lalu. Tahun kedua keberadaan KLB, sudah
dilakukan pembenahan organisasi melalui sistem manajerial, agar KLB dapat terus
eksis melalui swadaya sendiri. Karena selama ini KLB hidup dari subsidi
patungan lima orang anggota inti.
Akhirnya KLB menerima
anggota baru sebagai bagian dari pengembangan. Selain hidup dari iuran anggota
sebagai sanggar tari, KLB juga mengajukan proposal pentas ke event-event
organizer. Dari fee hasil pentas-pentas yang kami lakukan itulah maka
kelangsungan hidup KLB dapat terus berjalan.
Saya akui Arum punya
peranan besar dalam perkembangan KLB. Selain gape sebagai koreografer, dia juga
smart dalam melobi instansi yang hendak mengadakan pertunjukan suatu acara.
Seperti di ambasade Korea Selatan dua bulan lalu. KLB sukses mewakili Indonesia
dalam Festival Tarian Kontemporer di Seoul, Korea Selatan.
Di situlah awalnya
perkenalan kami dengan Kim Yang Erl. Gadis itu merupakan putri kedua diplomat
Korsel di Jakarta. Waktu itu dia tampil mewakili Korsel dengan tarian
tradisional-modern. Perkenalan itu berlanjut lebih jauh setelah secara resmi
dia mendaftarkan diri sebagai anggota KLB yang baru.
“I want learn Indonesian
dance’s. I want learn any dance’s in the whole wide world!”
Dan keinginannya itu
diwujudkan dengan masuknya dia sebagai anggota KLB. Dengan cepat dia dapat
beradaptasi dengan iklim KLB yang dipadati serangkaian latihan serius. Bakatnya
di bidang tari memang telah terbukti. Ede, pemandu bakat KLB, memilihnya
menjadi salah satu wakil penari KLB, yang tampil sebagai dancer pembuka dalam
pentas akbar Teater Tanah Airku dua minggu lalu.
Tentu saja hal itu
menyulut api cemburu di hati Arum. Dia berusaha membatalkan keputusan itu
sehingga bersitegang dengan Ede. Namun keputusan tetap dilaksanakan dengan
aklamasi bahwa Kim Yang Erl tetap mewakili KLB di pentas akbar tersebut. Arum
mati-matian menolak. Dan dia memilih mundur sebagai koreografer untuk pentas
tersebut!
Menjelang pentas, gadis
berambut mayang itu tidak pernah lagi muncul di pendopo. Dia menghilang seperti
ditelan tanah. Berkali-kali saya menegur sikapnya yang apatis itu. Tapi dia
malah membantah. Merusakkan kekompakan yang selama ini menjadi andalan KLB.
Sejak kehadiran Kim Yang
Erl dia memang menjelma menjadi gadis yang aneh!
***
“Aku sudah tidak mau
mendengar kalimat sarkartis bikin sakit kuping itu, Arum!”
Saya marah. Benar-benar
marah kali ini. Sudah dua minggu dia mencecar saya hanya untuk mengeluarkan
titah pemecatan Kim Yang Erl dari daftar keanggotaan KLB!
“Tapi….”
“Stop semua ocehanmu yang
memburuk-burukkan Kim Yang Erl lagi!”
“Ka-kamu…!”
“Kamu kira sikap
jealous-mu itu lebih baik ketimbang kelakuannya yang tengil itu?!”
“Ak-aku….”
“Kim Yang Erl tidak
seburuk sangkamu, Arum! Aku tahu, selama ini kamu hanya mencari-cari kesalahan
dia, sehingga urusan seperti rambutnya saja kamu permasalahkan!”
“Ta-tapi….”
“Kamu sudah keterlaluan!”
Arum menitikkan airmata.
Sudah lama saya tidak pernah melihat dia mengeluarkan airmata. Terakhir setahun
lalu ketika kami berpisah dengan Bernardus Tito Chekov yang kembali ke Kiev,
Ukraina.
“Kenapa, Arum?! Apa salah
dia sama kamu?!”
“Ak-aku… ti-tidak ingin
dia merampas….”
“Merampas apa?!”
“Merebut segalanya dari
aku! Merebut hati kamu! Ak-aku cinta kamu, Bram! Aku tidak ingin dia….”
Saya terhenyak. Sama
sekali tidak menyangka kalau selama ini Arum memendam rasa cintanya terhadap
saya. Sungguh, saya tidak tahu! Karena sekian tahun ini saya hanya menganggap
dia sebagai seorang sahabat. Tidak lebih dari seorang sahabat!
Saya menengadah ke langit
lewat jendela besar pendopo. Suasana malam tanpa bintang seperti menegaskan
kegalauan di hati saya. Pendopo mendadak sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik
mengerik dari luar sana. Anak-anak KLB sudah bubaran, pulang ke rumah
masing-masing. Latihan malam ini selesai dengan menyisakan dua hati yang
bimbang.
“Bram, I want go back to home. See you tomorrow. Bye!”
Kim Yang Erl pamit seperti
biasa. Dia selalu pulang paling belakangan. Menunggu sampai saya mengantarnya
pulang ke ambasade. Tapi hari ini dia bermaksud pulang sendiri setelah melihat
saya mematung bersama Arum di pendopo.
“Kim Yang Erl, wait!”
Gadis itu menghentikan
langkahnya.
“I'll take you home!”
Airmata Arum menderas. Dia
masih terduduk lunglai di teras pendopo. Saya menggigit bibir. Hati saya giris
karena tidak pernah dapat mencintai gadis berambut mayang itu.
Arum selamanya sahabat
saya.