BLOGKATAHATIKU - Rapat Dewan
Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 13-14 Januari 2016, memutuskan menurunkan
BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,25 persen, dengan suku bunga Deposit Facility
5,25 persen dan Lending Facility pada level 7,75 persen.
Keputusan
ini sejalan pernyataan BI sebelumnya, ruang pelonggaran kebijakan moneter
semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makroekonomi, serta
mempertimbangkan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global pascakenaikan
Fed Fund Rate (FFR).
Penurunan
BI Rate secara terukur diharapkan dapat memperkuat pelonggaran kebijakan
makroprudensial dan penurunan giro wajib minimum (GWM) yang telah dilakukan
sebelumnya. Pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan setelah asesmen menyeluruh
terhadap perekonomian domestik dan global dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi
dan sistem keuangan.
BI
juga akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam pengendalian
inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga
mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ketidakpastian
di pasar keuangan global mereda setelah kenaikan Fed Fund Rate (FFR), sementara
pemulihan ekonomi global diperkirakan masih terbatas. Kenaikan FFR pada 17
Desember 2015 yang telah diantisipasi pasar serta pernyataan The Fed, normalisasi
akan dilakukan secara gradual dan terbatas, sehingga tidak menimbulkan gejolak
di pasar keuangan global.
Sementara
itu, harga komoditas global masih terus menurun, termasuk harga minyak dunia.
Perbaikan ekonomi AS masih tertahan, sejalan masih lemahnya indikator penjualan
eceran dan “personal expenditure”, serta masih terkontraksinya sektor
manufaktur.
Pemulihan
ekonomi Eropa terus berlanjut didorong perbaikan permintaan domestik, meskipun
belum mampu meningkatkan inflasi yang masih rendah. Ekonomi Jepang diperkirakan
masih lemah seiring konsumsi yang melemah. Di sisi lain, perekonomian Tiongkok
diperkirakan masih melambat di tengah berbagai upaya stimulus, baik melalui
kebijakan moneter dan fiskal, serta reformasi di sisi penawaran.
Reaksi
pasar terhadap perlambatan ekonomi dan konsistensi dalam upaya liberalisasi
pasar keuangan di Tiongkok menimbulkan tekanan di pasar sahamnya. Ke depan,
risiko terkait perlambatan ekonomi Tiongkok dan terus menurunnya harga
komoditas global perlu dicermati.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada triwulan IV 2015 belum menunjukkan perbaikan secara
signifikan, meskipun telah dilakukan stimulus fiskal dan relaksasi kebijakan
makroprudensial. Pertumbuhan ekspor masih tertahan akibat permintaan global
yang masih lemah dan terus menurunnya harga komoditas.
Perbaikan
ekonomi domestik tercatat pada konsumsi pemerintah dan investasi bangunan,
didorong ealisasi belanja pemerintah dan meningkatnya implementasi proyek
infrastruktur pemerintah. Konsumsi swasta masih relatif stabil di tengah
indikasi adanya penurunan tabungan dan pendapatan yang dapat dibelanjakan.
Investasi swasta juga masih lemah dengan menurunnya kinerja perusahaan,
khususnya yang berbasis komoditas, dan masih besarnya ekses kapasitas produksi
karena perlambatan ekonomi domestik.
Kinerja
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan keempat 2015 diperkirakan
membaik, terutama didukung surplus transaksi modal dan finansial (TMF). Kinerja
TMF mencatat surplus yang meningkat, terutama ditopang peningkatan investasi
portofolio pada obligasi pemerintah, termasuk penerbitan Global Bond, dan
investasi lainnya. Peningkatan tersebut menunjukkan keyakinan terhadap prospek
perekonomian Indonesia semakin baik dan berkurangnya ketidakpastian di pasar
keuangan global.
Sementara
itu, defisit transaksi berjalan sepanjang 2015 diperkirakan membaik dari 3,1
persen menjadi sekitar dua persen dari produk domestik bruto (PDB). Cadangan
devisa pada akhir Desember 2015 tercatat sebesar 105,9 miliar dolar AS, atau
setara 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
Pemerintah, berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan
impor.
Rupiah
mengalami penguatan pada Desember 2015, seiring menurunnya ketidakpastian di
pasar keuangan global. Meskipun secara rata-rata mencatat pelemahan, rupiah
secara point to point (ptp), mengalami penguatan sebesar 0,36 persen (mtm) ke
level Rp13.785 per dolar AS.
Menurunnya
ketidakpastian di pasar keuangan global setelah kenaikan FFR pada 17 Desember
2015, mendorong kembalinya aliran modal asing ke pasar surat berharga negara.
Ke depan, BI akan terus mewaspadai perkembangan global, khususnya perkembangan
ekonomi Tiongkok dan harga komoditas, dengan tetap menjaga stabilitas nilai
tukar sesuai dengan fundamentalnya.
Inflasi
2015 tercatat sebesar 3,35 persen (yoy), lebih rendah dari inflasi tahun
sebelumnya, dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2015 yang ditetapkan pemerintah
sekitar empat plus minus satu persen (yoy). Pencapaian sasaran inflasi tersebut
tidak terlepas dari kebijakan pengendalian inflasi yang ditempuh BI dan pemerintah,
termasuk semakin solidnya koordinasi yang dilakukan melalui TPI dan TPID.
Inflasi inti tergolong rendah dan tercatat sebesar 3,95 persen (yoy).
Rendahnya
inflasi inti tersebut tidak terlepas dari peran kebijakan BI dalam mengelola
permintaan domestik, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengarahkan ekspektasi
inflasi. Inflasi volatile food tercatat sebesar 4,84 persen (yoy), cukup rendah
di tengah terjadinya gejala El Nino. Hal ini seiring semakin kuatnya koordinasi
pemerintah dan BI dalam mendorong peningkatan produksi dan memperbaiki
distribusi, serta meminimalkan berbagai distorsi harga bahan pangan.
Sementara
itu, kelompok administered prices mencatat inflasi yang rendah, yakni 0,39
persen (yoy), yang didukung reformasi subsidi berupa penyesuaian harga bahan
bakar minyak (BBM) dan LPG 12 kilogram, serta penyesuaian tarif listrik di
tengah menurunnya harga minyak dan gas global. Ke depan, inflasi akan dijaga
pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan, yaitu sebesar empat plus minus satu
persen pada 2016-2017 dan 3,5 plus minus satu persen pada 2018.
Stabilitas
sistem keuangan tetap terjaga, ditopang ketahanan sistem perbankan dan kinerja
pasar keuangan yang cukup kuat. Pada November 2015, rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) tercatat sebesar 21,1 persen, sementara rasio kredit
bermasalah (non performing loan/NPL) berada di kisaran 2,7 persen (gross) atau
1,3% (net). Dari sisi fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit tercatat sebesar
9,8 persen (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan pada periode sama tahun
sebelumnya, sejalan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Sementara
itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada November 2015 tercatat sebesar
7,7 persen (yoy). Ke depan, perlu diantisipasi adanya tekanan likuiditas
sebagai dampak operasi keuangan pemerintah dan perlambatan pertumbuhan dana
pihak ketiga (DPK). BI akan terus memonitor dan memitigasi risiko likuiditas
agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.
Pada
2016, bauran kebijakan BI tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan dengan tetap memelihara momentum pertumbuhan
ekonomi. Di bidang moneter, pemanfaaatan ruang pelonggaran moneter dilakukan
secara terukur dengan tetap konsisten menjaga stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan.
Kebijakan
tersebut akan didukung upaya untuk menjaga nilai tukar yang sesuai
fundamentalnya, memperkuat kecukupan cadangan devisa, dan mengelola aliran
modal asing. Di bidang makroprudensial, kebijakan makroprudensial yang
akomodatif akan terus dilanjutkan dengan tetap memperhatikan stabilitas sistem
keuangan, dan terus mendorong pendalaman pasar keuangan.
Sementara
itu, di bidang sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk mengembangkan industri
sistem pembayaran domestik yang lebih efisien, termasuk melalui perluasan
elektronifikasi sistem pembayaran. Berbagai kebijakan tersebut akan disertai peningkatan
koordinasi dengan pemerintah dan institusi terkait, sehingga stabilitas
makroekonomi tetap terjaga dengan struktur perekonomian yang lebih kuat dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.