![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 03
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Aku
Akan Tetap Menunggumu
Syanda
tercenung menatap lembar-lembar diarinya. Belakangan ini dia seolah menorehkan
kenangan biru dan kelabu semata. Biasanya, hari-hari yang dicatatnya adalah
hari penuh bunga, penuh tawa, dan canda ceria bersama Aditya. Tapi kini?
Dihelanya
napasnya yang kian hari terasa berat. Bahkan, ada sekelumit rasa enggan untuk
mengisi diarinya lagi.
Diari,
tulisnya. Entah apa lagi yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan
depan, seratus hari lagi, dan… ratusan hari yang lain lagi. Ah, sepertinya
semua mendadak hilang. Begitu tiba-tiba dan tanpa sisa untukku!
Apa
yang tengah dilakukan Aditya di panti sana? Apakah dia merasakan sepi yang
menggigit nurani ini? Apakah dia juga tengah bergumul dengan keragu-raguannya? Apakah
dia juga mulai bimbang? Ya, Tuhan! Kenapa petaka itu harus ditanggungnya?!
Rasanya
Aditya berada jauh. Sangat jauh. Karena biasanya, tidak ada jarak di antara
kami. Tapi sekarang? Hanya tiga puluh menit seminggu. Betapa singkatnya. Betapa
pendeknya setiap detik yang berlalu untuk bertukar kasih dan sayang. Waktu
seolah musuh yang menakutkan buatku! Waktu pulalah yang memisahkan aku dengan
Aditya. Aku benci, aku benci waktu! Syanda membatin pilu.
Tapi,
apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu. Selama ini pikiranku belum
sampai ke sana. Aku hanya kadang merasa takut kehilangan Aditya. Aku rindu. Aku
kangen. Tapi, aku bimbang….
Mungkin
cinta memerlukan pengorbanan. Apakah aku siap menderita untuk Aditya?! Jawabnya
masih kucari, entah di mana. Bahkan, di hari-hari belakangan ini pun aku mulai
ragu. Apakah aku masih memiliki kesetiaan untuknya?! Apakah aku masih harus
setia menunggunya?!
Kami
masing-masing sudah menjauh. Tidak lagi saling mengetahui. Tidak lagi saling
berbagi. Setiap perjumpaan, yang hadir hanyalah airmata kesedihan. Tidak ada
lagi derai tawa. Tidak ada lagi senyum Aditya yang membuatku rindu. Semua telah
berubah....
Syanda
menghela napas. Direbahkannya dirinya ke sandaran kursi.
“Syan…,”
panggil Santi yang tiba-tiba saja sudah masuk dalam kamar.
“Ada
apa?” Syanda menghapus dua titik airmatanya. Ditenangkannya dirinya. Dia tidak
ingin Santi mengetahui kalau dia kembali menangisi Aditya. Cowok yang sudah
rusak segala-galanya di mata orang-orang.
“Boleh
mengganggu?” Santi duduk di bibir ranjang. “Sudah selesai menulisnya?”
Syanda
mengangguk. Menutup diari merah mudanya.
“Tadi
aku ketemu Nimo di Pondok Indah Mall. Kamu masih ingat dia? Katanya, teman
SMA-mu.”
Syanda
termenung sesaat. Nimo?! Geronimo Panggabean?!
“Ya,
ya. Aku masih ingat.”
Syanda
tersenyum. Siapa yang tidak kenal Nimo. Anak Batak bandel yang gencar
mengejarnya itu. Dia cukup cute. Tajir. Royal. Dan yang pasti, dia anak pejabat
berstatus sosial baik-baik. Syanda terkenang masa SMA-nya dulu. Waktu itu,
semua tahu Nimo tergila-gila kepadanya. Tapi itu dulu. Sebelum dia mengenal
Aditya. Meski Nimo baik kepadanya, tapi ada sesuatu yang sama sekali
membedakannya dengan Aditya. Itulah sebabnya dia lantas lebih memilih Aditya.
“Nimo
nanyain kabarmu,” gugah Santi.
“Oya?”
Syanda pura-pura cuek. “Dia masih ingat aku?”
Santi
mengangguk mengiyakan.
“Katanya
juga, salam buat Aditya.”
“Nimo,
Nimo….” Syanda tersenyum kembali.
“Sebetulnya
kenapa dulu kamu menolak Nimo sih, Syan?” tanya Santi ragu.
“Kenapa?
Aku juga tidak tahu kenapa. Kalau kamu kelak menghadapi masalah seperti aku,
kamu akan mengerti sendiri, San.”
“Tapi,
Nimo memiliki hampir segalanya,” bantah Santi.
“Aku
tahu.”
“Lalu…
ah, aku heran sama kamu. Padahal, Nimo…. Duh, kenapa sih kamu masih mengharap
Aditya?!”
“Aku
aku hanya bersikap dewasa, San! Berkomitmen dengan janji-janjiku kepada Aditya
selama ini. Terlepas dari semua itu pun, aku menemukan sesuatu dalam diri
Aditya yang sama sekali tidak dimiliki cowok-cowok lain. Juga tidak dalam diri
Nimo,” jawab Syanda dengan suara paruh tangis.
“Apa
itu?!” Santi bertanya sinis. Melecehkan.
“Kejujuran.
Aditya memang nakal. Bandel. Tapi, dia jujur. Dia tidak malu orang lain
mengetahui tingkah lakunya. Dia tidak menutup-nutupi apa pun dariku. Aku
salut!”
“Kamu
juga salut dong, dengan keberhasilannya masuk panti rehabilitasi?!” serang
Santi memojokkan.
“Ka-kamu….”
tukas Syanda gusar. “Dia bukan junkies, San! Harus berapa kali aku bilang,
kalau itu bukan salah Aditya! Dia hanya ikut terjaring saat operasi
berlangsung. Dia tidak tahu apa-apa!”
“Apakah
kamu tidak memikirkan apa yang bakal terjadi kepadanya bila kelak keluar dari
panti rehabilitasi itu? Dia akan terkucil, Syan!” teriak Santi, berdiri dari
duduknya. “Apakah kamu mau ikut-ikutan dikucilkan orang? Oh, Syanda, kakakku
sayang! Berpikirlah rasional. Kamu terlampau sentimentil. Sok idealis tanpa
memperhitungkan untung-ruginya.”
“Cinta
tidak pernah memperhitungkan untung-rugi, San!” Syanda menggigit bibir.
“Kamu
kelewat mencintainya! Oh, betapa beruntungnya cowok itu, dicintai kakakku yang
berhati bidadari.”
Syanda
tercekat. Setulus itukah cintanya kepada Aditya?! Padahal, sejujurnya dia mulai
ragu dengan kesetiaan cintanya kepada Aditya! Cuma cinta emosi, mungkin. Syanda
mengusap wajahnya.
“Syan,
lupakanlah Aditya-mu itu. Tinggalkan Aditya sekarang, dan mulai lagi dengan
harimu yang baru. Masih banyak kok, cowok yang lebih baik dari dia." Santi
masih berusaha membujuk.
“Tinggalkan
aku sendirian di sini, San!” pinta Syanda lemah.
“Oke,
oke,” Santi mengembangkan senyumnya sembari menjawil hidung kakak semata
wayangnya itu, jelas untuk meringankan suasana hati. Kemudian, dilangkahkannya
kakinya dengan melompat-lompat kecil sampai ke bawah bingkai pintu kamar. “Tapi
janji lho, kamu tidak akan menangisi Aditya-mu itu lagi.”
Syanda
ikut tersenyum. Dan mengangguk perlahan.
“Eh,
Syan, Nimo janji akan meneleponmu, lho,” Santi menghentikan langkahnya di bawah
bingkai pintu kamar Syanda. “Jangan marah, ya. Tanpa seizinmu, aku sudah kasih
dia nomor HP-mu.”
Syanda
kembali tersenyum.
“Dia
sudah tahu semuanya tentang Aditya. Sori, aku cerita semua kepadanya. Dia juga janji akan datang kemari untuk
menghiburmu, kapan-kapan.” Santi berlalu tanpa merasa bersalah.
Menghiburku?!
Syanda
tersenyum kecut. Satu-satunya hiburan bagiku adalah kembalinya Aditya.
Bersamaku, mengisi hari-hariku yang terasa hampa. Dan barusan Santi bilang Nimo
akan datang menghiburku. Untuk apa? Untuk melupakan Aditya? Untuk menghapus
namanya dari dalam hatiku? Tidak! Tidak ada yang bakal dapat menggeser posisi
dia. Aku tidak bakal dapat melupakan dia! Bukankah aku sudah berjanji kepadanya
untuk tetap setia?! Menunggunya hingga dia keluar dari panti rehabilitasi
seberapa lama pun?! Tidak! Aku bukan cewek tukang ingkar janji. Aku bukan cewek
tipe kutu loncat. Aku tidak bakal melupakan Aditya hanya karena sekarang
namanya telah tercemar.
Aku
akan tetap menunggunya.