![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas
Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 02
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
To
You I Belong
Rain
feel down
You
where there
I
cried for you when I
hurt
my hand
Storm
a-rushing in
Wind
was howling
I
called for you, you where there....
Suara
B*Witched dari Radio Prambors FM masih memenuhi ruang kamar Syanda. Di atas
bantal, Syanda merenung. Terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tiada lagi
hari-hari bersama Aditya. Tidak ada lagi acara JJS yang mengesankan. Tidak ada
acara shopping bersama ke Blok M Plaza. Juga, tidak ada tawa canda ceria lagi
di malam Minggu. Ah, betapa beratnya menerima kenyataan kehilangan sesuatu yang
amat berarti dalam hidupnya secara tiba-tiba. Hari-harinya kini terasa
terpenggal. Padahal, baru beberapa hari berlalu. Apalagi satu tahun?
Syanda
bergidik membayangkan. Tiga ratus enam puluh lima hari harus dilaluinya dalam
kesendirian. Apakah dia akan mampu mempertahankan rasa sayangnya kepada Aditya?
Apakah dia sanggup memerangi setiap kejenuhan yang datang? Belum lagi sindiran
sana-sini yang akan membuat kupingnya memerah. Syanda pacaran dengan junkies!
Pacar Syanda ada di panti rehabilitasi milik yayasan Katolik ‘Nusa Bangsa’. Ah!
Tok-tok-tok.
“Masuk,”
ujar Syanda tak bergeming.
Pintu
berderit, dibuka. Wajah Mama menyembul.
“Sedang
apa, Syan?” tegur Mama lembut sambil melangkah masuk.
Syanda
menggeleng.
“Melamun
terus.” Mama mengangkat bantal dan guling yang berserakan jatuh di lantai.
“Berantakan betul kamarmu. Uh, sama kusutnya dengan wajahmu yang awut-awutan
itu.”
“Nanti
Syanda rapikan.”
“Sudahlah.
Untuk apa memikirkan anak itu lagi? Sekarang terbukti kan, kata-kata Mama
dulu?” ujar Mama dengan perasaan bangga.
“Apanya
yang terbukti?!” Syanda tersinggung.
“Lho?
Kurang bukti apa lagi? Aditya sekarang tengah dirawat di panti rehabilitasi
untuk orang yang kecanduan obat-obat terlarang. Itu tandanya dia morfinis atau
entah apalah namanya. Masa sih kamu tidak sadar juga, Syan?!” pekik Mama
tertahan.
Syanda
menggeleng.
“Bukannya
Syanda membela Adit, Ma. Tapi, Mama harus tahu kalau polisi salah menjaring
orang. Adit hanya ber....”
“Ah,
Mama tahu semuanya, kok,” potong Mama. “Mama sudah punya firasat yang buruk terhadap
anak itu.”
“Memang
Mama tidak senang sama Aditya, kok! Kenapa sih, Ma?! Apa Aditya pernah bikin
salah sama Mama?” tanya Syanda serak sambil menatap kosong langit-langit kamar.
“Tidak.
Mama tidak menyukainya karena dia dekat dengan anak Mama. Mama tidak mau anak
perempuan Mama ikut-ikutan rusak! Belum lagi ocehan tetangga yang ramainya seperti
pasar. Mau dikemanakan muka Mama ini?! Anaknya pacaran sama pemabuk, tukang
kebut, berandalan. Kok, dibiarkan saja....”
Syanda
menghela napas keras. “Tapi Aditya tidak seperti sangka Mama!”
“Kamu
terus saja membelanya, Syan. Heran. Jangan-jangan kamu sudah dipelet.”
“Dipelet?
Dipelet pakai apa?! Apa Mama tidak tahu kalau Aditya rajin ke gereja?” bantah
Syanda jengkel. Mamanya mulai tidak rasional.
“Ah,
itu kan cuma pura-pura saja. Supaya kamu makin simpati kepadanya. Aslinya
berandalan, ya tetap saja posisinya di tengah-tengah orang yang berandalan.”
“Tidak!
Aditya tidak bersalah. Dia memang bandel, tapi tidak seburuk sangka Mama. Dia
bukan pemabuk, pecandu narkoba. Dia bukan berandalan!” seru Syanda gusar.
Mama
tersenyum melecehkan.
“Kamu
mau bela dia lagi? Mau bilang bahwa polisi salah menjaring orang?”
Syanda
terdiam.
“Polisi
tidak asal tangkap saja, Sayang. Mereka menyelidiki dulu. Kalau Aditya ikut
terjaring, itu tandanya dia betul bersalah. Dia betul morfinis, atau apalah
namanya. Sebab polisi tidak bakalan menahan orang tanpa bukti.”
Syanda
makin diam, terjerat kata-kata Mamanya. Hatinya mulai ragu. Siapa yang salah.
Polisikah? Mama? Atau, jangan-jangan justru Aditya yang begitu pandai mengelabuinya?
Atau... ah!
“Berhentilah
memikirkan dia.” Mama mengelus kepala Syanda.
Sementara
lagu terus mendayu-dayu, pikiran Syanda membelit benaknya sendiri. Hanya
beberapa hari berlalu tanpa Aditya, tapi semua telah tampak demikian kabur.
Masih beratus-ratus hari lagi, tentulah bayangannya akan semakin jauh dan makin
tak kelihatan. Makin samar, lalu menghilang....
Whenever
dark turns to night
And
all the dreams sing their song
And
in the daylight forever
To
you I belong
Beside
the sea
When
the waves broke
I
drew a heart for you in the sand
in
fields where streams
Turn
to rivers
I
ran to you, you where there....
***
Aditya
tampak kurusan dengan seragam hijau tuanya itu. Dagunya membiru habis dicukur.
Rambutnya tidak lagi gondrong. Syanda menatap iba. Aditya yang dulu senantiasa
bersemangat, kini harus menghabiskan detik demi detik di sebuah panti
rehabilitasi. Segalanya harus diawasi. Segalanya dibatasi. Bagai terpenjara.
“Apa
kabar, Dit?” sapa Syanda canggung.
“Aku
baik-baik saja. Kamu?” Adit mencoba tersenyum. Tapi di mata Syanda senyumnya
kelihatan hambar. Jujur, Aditya tentu tidak kerasan di tempat ini. Senyum tadi
hanya untuk membahagiakannya. Sekadar mengusir rasa resah dari dalam diri
Syanda.
“Ak-aku
baik.” Syanda tertunduk.
“Mamamu
dan Santi?”
“Mereka
baik-baik saja dan titip salam untukmu.”
“Mamamu
juga?!”
“Ya,
Mama juga....”
Aditya
menyeringai. “Kamu bohong! Mamamu pasti makin benci sama aku. Bahkan, Ibuku
sendiri mulai bosan menjengukku….”
“Dit,
kamu mau berjanji kepadaku?”
“Apa?”
“Berhentilah
merokok. Berhentilah ngebut dan begadang setelah kamu keluar dari panti ini,”
pinta Syanda.
“Pasti.
Pasti. Aku telah berhenti merokok, Syan. Dan di sini, aku lebih suka tidur
ketimbang begadang.”
“Syukurlah.
Kamu juga tidak lupa berdoa, kan?”
“Tentu.
Kebetulan di sini ada kapel. Kamu lupa, panti ini milik yayasan Katolik. Malah
aku mulai akrab dengan salah satu pastornya,” cerita Aditya agak bersemangat.
Tapi
masih beratus hari lagi mesti kamu lalui di sini, bisik Syanda pedih. Masih
adakah semangatmu esok? Lusa? Bulan depan?
“Kamu
juga mendoakan aku?” bisik Syanda. Menggenggam jemari Aditya.
“Ya.
Mendoakan kita. Aku dan kamu. Juga Mamamu.”
“Mamaku
juga?!”
“Ya.
Aku menyesal. Seandainya saja sejak dulu kemauan Mamamu kuturuti, tentu Mamamu
tidak akan menentang hubungan kita. Juga tragedi ini tidak bakal terjadi....”
“Sudahlah,
Dit!” Syanda menyentuh lembut bahu kekasihnya.
“Aku
kangen kamu, Syan....”
“Kamu
pikir aku tidak? Aku sering kebingungan menghabiskan malam Mingguku dengan
membaca atau menonton TV,” ujar Syanda.
“Kamu...
ah maaf. Aku ingin tahu, apakah ada yang mengisi tempatku di hatimu selama aku
tidak ada?” tanya Aditya hati-hati.
Syanda
menggeleng. “Jangan bicarakan hal itu.”
“Apakah
kamu akan setia, Syan?” Aditya menatapnya dengan tajam.
Syanda
makin rikuh. Dia takut Aditya membaca kebimbangan yang mulai sering merecoki
hatinya. Ah, kamu tidak tahu bagaimana kejamnya dunia memusuhimu, Dit! Mempengaruhiku
untuk meninggalkanmu dan merengkuh asa
yang lebih baik. Selama ini, aku mencoba bertahan tapi aku mulai ragu. Apakah
pasak yang kita bangun bersama akan cukup kuat menyanggah setiap empasan badai
yang datang? Sementara, hari masih begitu panjang dan gersang. Apakah semua
akan berlalu seperti rencana kita, Dit? Syanda membatin dengan kepala
tertunduk.
“Hei,
kamu tidak datang untuk membingkiskan airmata untukku, kan?” goda Aditya,
mencairkan kebekuan suasana, lalu menghapus titik airmata yang menempel di pipi
kekasihnya tersebut.
Syanda
tersenyum. Menyusut sisa airmata yang menggantung di sudut matanya yang tak
tersentuh tangan Aditya tadi.
“Ma-maafkan
aku, Dit. Aku sedih membayangkan hari-hari sepi yang harus kamu lalui sendiri
di sini,” kilahnya.
“Aku
akan baik-baik saja.”
Bel
berbunyi. Memisahkan mereka kembali. Hari terus berganti dan roda terus
berputar. Bagi Aditya, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi aku? batin Syanda.
Syanda menyeret langkahnya
meninggalkan panti rehabilitasi ‘Nusa Bangsa’ dengan hati galau. Dunia seakan
menertawakan dirinya yang mau saja setia terhadap pemuda seperti Aditya. Duh!