![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Atas Nama Cinta Pertama (Rindupuccino) 01
Oleh
Zara Zettira ZR dan Effendy Wongso
Mungkin orang akan berpikir bahwa aku, Syandarini
Aprilia Joshepine Munaf, adalah gadis teraneh yang pernah ada. Bagaimana tidak,
seorang gadis yang hanya menambatkan biduk cintanya hanya pada satu dermaga hati,
meski banyak dermaga yang dihamparkan di hadapannya dengan pantai yang lebih
indah sekalipun.
Sama ketika aku begitu mencintai secangkir Cappuccino
dan menolak banyak kopi lain yang ditawarkan kepadaku, Espresso, Coffee Junket,
Coffee Mocha, Iced Vanilla Latte Espresso, Coffee Frappuccino, Tiramisu Latte,
Cafe Macchiato, Almond Cafe Au Lait, dan masih banyak jenis kopi lainnya.
Sesungguhnya, bukan karena aku tidak ingin. Bukan.
Tapi bagiku, minum kopi bukan semata untuk memenuhi selera lidah. Namun lebih
pada cita rasa yang telah melekat pada lidah.
Dan sejak mula, aku telah menentukan pilihanku pada
Cappuccino. Aku jatuh cinta, dan tidak mungkin berpaling pada
kopi-kopi lainnya.
***
Jakarta,
1994
Jangan
Pasung Cintaku
Syanda
tercenung sesaat di muka kulkas memilih minuman yang hendak disajikannya untuk
Aditya. Kalau untuk dia sendiri sih, gampang. Cappuccino.
“Belum
pulang juga anak itu?!” tegur Mama.
Syanda
hanya menggeleng. Dia tahu, di rumah ini tidak seorang pun menyukai Aditya.
Dan yang paling sering menunjukkan rasa tidak senang itu adalah Mama.
“Sudah
jam berapa ini....”
“Ini
kan malam Minggu, Ma,” kilah Syanda sambil mencomot sebotol Coca-Cola jumbo
dari kulkas.
“Malam
Minggu sih, malam Minggu. Zaman Mama masih muda dulu juga ada malam Minggu.
Tapi tidak sampai selarut seperti ini hura-hura sama pacarnya.”
“Zaman Mama kan, dua puluh tahun yang lalu.
Kuno. Ya lain, dong,” ujar Syanda berkelakar.
Mama
mencibir. “Botol yang keberapa itu?” tanyanya nyinyir, melirik dengan rupa
tidak senang.
“Kenapa
sih, Ma? Minuman di kulkas itu kan, memang disediakan untuk tamu!”
“Anak
itu suka minum, ya?”
Syanda
membanting tubuhnya dengan kesal di atas sofa.
“Kata
teman-teman arisan Mama, temanmu Si Aditya itu tukang minum. Tukang begadang.
Tukang kebut-kebutan.”
“Tukang
minum apa dulu. Ya, kalau minumnya soft drink sampai segentong juga kan tidak
apa-apa, Ma. Namanya juga anak muda, begadang dan kebut-kebutan itu biasa.
Kalau tidak dilakukan selagi muda, kapan lagi dong, Ma? Apa mesti kalau sudah
jadi kakek-kakek?” bela Syanda seraya beranjak berdiri.
Dia
baru ingat kalau Aditya masih menunggu di luar.
“Huh,
kamu ini! Dibela terus Si Aditya. Pemuda itu tidak punya masa depan. Mana boleh
kamu menggantungkan diri kepada orang yang tidak punya masa depan? Mau makan
apa kamu nanti? Mau makan batu, apa?!” tukas Mama sengit.
Syanda
hanya menghela napas lantas berlalu meninggalkan Mama. Mama memang cerewet. Syanda
sadar, siapa pun akan menilai Aditya sebagai anak berandalan. Sebab cowok itu
kelewat apatis. Cuek-bebek. Tukang balap. Doyan begadang. Tapi bagi Syanda, hal
itu bukan merupakan citra buruk selama semua itu dilakukan sebagai tren anak
muda belaka.
Toh,
selama ini dia tidak pernah melakukan hal-hal yang negatif. Malah, perhatian
dan kasih sayangnya tidak pernah berkurang secuil pun kepadanya.
Ya,
mungkin Mama benar. Aditya tidak punya masa depan yang menjanjikan. Tapi, apa
peduliku? pikir Syanda. Hari ini memang mereka pacaran. Tapi esok? Hari esok
pasti menjanjikan cerita yang berbeda dengan hari ini. Dan Syanda merasa
hari-hari yang akan dilaluinya masih panjang.
“Lama
banget. Kukira kamu ngambil Coca-Cola-nya sampai ke pabriknya,” goda Aditya,
menyambut gadisnya yang keluar dengan sebotol minuman ringan.
Syanda
tersenyum.
“Nih,
minum sampai mabuk!” Diserahkannya botol Coca-Cola itu ke tangan Aditya.
“Mamamu
marah lagi, ya?” tanya Aditya.
“Kok
tahu? Nguping, ya?”
“Tidak
usah nguping juga kedengaran dari sini, Syan. Suara Mamamu itu bisa sampai ke
bulan kalau lagi ngedumel.”
Syanda
terkikik. Dicubitnya lengan Aditya dengan gemas. Selalu saja ada bahan untuk
memancing tawanya.
“Jangan
terpengaruh Mamamu ya, Syan? Aku cinta banget sama kamu!” ujar Aditya, mendadak
jadi serius.
Syanda
tercenung. Ditatapnya mata lugu di hadapannya dengan hati berdentam. Cinta?
Cintakah aku kepada Aditya? Terlalu pagi rasanya mengucapkan kata-kata itu.
Sampai detik ini, yang dia tahu, dia hanya merasa senang berada di dekat Aditya.
Itu saja.
“Aku
juga sayang kamu, Dit!” ujar Syanda akhirnya setelah berhasil meredakan gemuruh
di hatinya.
Aditya
menggenggam tangannya. “Walaupun aku tidak naik sedan seperti Edo?” tukasnya.
“Hei,
hei! Memangnya aku cewek materialistis?” Syanda melototkan matanya. “Aku tuh,
suka dibonceng sama sepeda motor trailmu itu asal kamu tidak ngebut.”
“Tapi,
aku juga tidak punya banyak duit buat neraktir kamu.”
“Ya,
ampun! Kok, kamu mendadak jadi Mama kedua, sih?”
“Aku
takut perasaanmu kepadaku akan luntur
karena terpengaruh Mamamu....”
“Dih,
memangnya baju apa pakai luntur-luntur segala,” Syanda bergurau.
Aditya
tersenyum. Sinis.
“Eh,
Dit, maksud Mama kan baik juga sebetulnya,” ujar Syanda lagi, mencoba berpikir
dewasa.
“Baik?”
Aditya mencibir. “Berusaha memisahkan kita, itu kamu katakan baik?!”
“Mama
tidak sepicik itu. Mama hanya tidak ingin melihat aku bergaul dengan cowok
urakan. Nah, kamu harus introspeksi, dong! Perbaiki sikap dan tingkah kamu.
Mulai sekarang, jangan suka ngebut. Jangan suka merokok. Jangan suka begadang.
Itu saja. Begitu lho, maksud Mama.”
Aditya
menghela napas. Sementara Syanda hanya memilin-milin tepian roknya sebagai
pengusir keterdiaman mereka. Enam bulan sejak perkenalan mereka di orientasi
kampus sudah mampu menautkan dua kutub hati yang berbeda. Aditya dengan kebengalannya
akibat broken home, dan Syanda yang tumbuh berkembang dalam didikan Katolik
yang saleh.
“Aku
pulang dulu ya, Syan?” pamit Aditya setelah meneguk minumannya sampai tandas.
“Sudah larut malam.”
Syanda
mengangguk. “Pamitkan aku kepada Mamamu, ya?”
“Langsung
pulang ya, Dit?” pesan Syanda mewanti-wanti.
“Oke,
tapi aku mampir sebentar ke Menteng, ya? Kalau tidak, nanti aku dikatanakn sombong
lagi. Mentang-mentang sudah punya pacar sehingga melupakan teman lama,” jawab
Aditya sambil menaiki sepeda motornya dan memasang helm.
“Eh...
ada yang kelupaan.” Aditya turun dari sepeda motornya dan membuka helm.
Dihampirinya Syanda yang anggun berdiri dengan denimnya. Cup. Sebuah kecupan
singgah di dahi Syanda. “Met bobo, ya? Have a nice dream,” bisiknya lembut.
Sepasang
mata Syanda membola. Masih nervous atas kecupan tiba-tiba dari Aditya tadi. Namun,
akhirnya dia dapat bersuara dalam selang waktu delapan detik. “Jangan
kebut-kebutan malam ini lagi, ya?”
Aditya
mengedipkan matanya. Sesaat kemudian sepeda motor pun menderu dan meninggalkan
Syanda dengan lambaiannya.
Dalam
kamarnya, di atas tempat tidurnya, Syanda semalam-malaman tidak dapat
memejamkan matanya lagi. Itulah kecupan pertama yang dirasakannya dari seorang
cowok. Kecupan dari Aditya. Cintanya yang pertama.
***
Syanda
menguap lebar sementara HP-nya masih menempel di telinga. Juga suara Sonya yang
seperti cucakrawa itu membujuknya supaya kuliah hari ini.
“Cuma
Kewiraan kok, Syan. Masuk sajalah,” bujuk Sonya di seberang sana.
“Justru
karena cuma Kewiraan saja aku jadi malas.”
“Ya
ampun... kujemput, deh
“Bukan
soal jemput menjemput....”
“Apa
perlu aku sewa sepeda motor trail untuk menjemputmu?”
“Hei,
ngeledek kamu, ya?”
Didengarnya
suara Sonya terkekeh.
“Habis,
susah amat sih bikin kamu insaf buat kuliah.”
“Aku
lagi tidak enak badan nih, Son. Swear, tidak tahu kenapa pikiranku hari ini
tidak karuan.” Syanda memijit pelipisnya. Bukan, bukan kepalanya yang pening.
Tapi, dia merasakan sesuatu yang janggal pagi ini.
“Kalian
bertengkar tadi malam?”
“Tidak.”
“Atau,
Mamamu yang cicit-cuwit itu lagi ngedumel soal Aditya?”
“Termasuk.
Tapi, ah tauklah. Aku titip catatan saja, ya? Mau, kan?” bujuk Syanda. “Aku
tahu kamu teman yang terbaik sedunia.”
“Dih,
kalau ada maunya....” Sonya terkekeh. “Boleh saja, Syan. Tapi....”
“Tapi
apa?”
“Asal
kamu tahu saja. Teman yang baik perlu disuap agar lebih baik lagi. Sepotong
burger dan segelas es krim di McDonalds bolehlah. Hehehe….”
“Ember,”
Syanda turut terkekeh. “Cingcailah.”
“Oke.
Hati-hati di rumah ya, Non? Nanti sore aku ke rumahmu. Salam buat tukang
balapmu itu.”
Bip.
Telepon diputus. Syanda menggeliat. Kalau bukan karena dering telepon Sonya,
tentu dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Dan, masih bermimpi tentang
Aditya!
Hei...
apa mimpinya tadi malam?! Rasanya bukan mimpi yang indah. Buktinya, dia bangun
dengan badan yang basah oleh keringat dan rambut acak-acakan. Mimpi buruk,
keluhnya dalam hati. Semoga saja cuma mimpi. Dan semoga saja perasaan tidak
enak yang bermain dalam hatinya saat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan
mimpinya tadi malam.
Syanda
beranjak ke dapur. Dibukanya tutup wadah kopi dan dituangkannya dua sendok teh kopi
instan pada cangkirnya.
Kring-kring-kring.
Telepon
berdering lagi. Namun, kali ini telepon rumah. Tapi beberapa saat kemudian
terhenti. Tentu sudah diangkat Santi, adiknya. Perlahan Syanda menuang air
panas dari dispenser setelah menabur krimer dan mengaduk-aduknya.
“Syan...
telepon untukmu,” ujar Santi di muka dapur. Wajahnya kelihatan agak pucat.
“Dari
siapa?”
“Suara
perempuan. Tapi sudah kututup.”
“Lho,
bagaimana sih kamu ini?” seru Syanda, tidak jadi meneguk cappuccino yang sudah
berada di pelepah bibirnya.
“Ka-katanya…
Aditya berada di panti rehabilitasi ‘Nusa Bangsa’!” jawab Santi terbata-bata.
Syanda
tercekat. Panti rehabilitasi ‘Nusa Bangsa’?!
Siapa
pun tentu tahu tempat seperti apa itu. Tapi kalau Aditya masuk ke panti itu....
Ah, salah apa Aditya?! Panti itu kan, tempat untuk merawat mereka yang
kecanduan dan terlibat pemakaian obat-obat terlarang, narkoba?!
“Pe-perempuan
itu tidak bi-bilang apa-apa lagi, San?!” tanyanya nyaris tanpa ekspresi.
“Tidak.
Katanya cuma menyampaikan permintaan Aditya untuk memberitahumu,” jawab Santi
sambil duduk di hadapan Syanda. “Sebetulnya Aditya itu nyabu atau tidak, sih?”
Syanda
menggeleng lemah. Ditebaknya, si penelepon tadi pasti ibunya Aditya.
“Kamu
yakin dia bukan junkies ?” tanya Santi lagi, kurang yakin.
“Aku
tidak tahu!” Syanda bangkit berdiri. Memijat keningnya kemudian. Dia
benar-benar shock.
Santi
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aditya...
ah, pasti polisi-polisi itu salah menangkap orang. Pasti Aditya hanya ikut
terjaring operasi penertiban narkoba dan ekstasi. Mungkin beberapa temannya memakai
narkoba. Tapi Aditya? Syanda membatin galau. Dia kenal betul siapa Aditya Putra
Wicaksana. Tukang balap yang setiap Minggu tidak pernah absen ke gereja. Tapi
kalau teman-temannya junkies, apakah tidak mungkin Aditya juga ikut-ikutan
walau cuma sedikit?
“Ti-tidak
mungkin! Tidak mungkin!” desis Syanda ber-lang-ulang. Matanya mulai membasah.
Bibirnya bergetar menahan tangis.
“Tapi,
Aditya kan perokok?” bantah Santi.
“Aku
harus ketemu Aditya!” Syanda meninggalkan Santi yang masih menatap kakaknya dengan
pandangan heran.
Siapa
pun pasti heran. Gadis semanis dan sepandai Syanda mau menggantungkan hatinya terhadap
cowok bengal yang tidak ketahuan kemana tujuan hidupnya. Tapi, siapa yang tahu
kalau di balik semua sikap buruk Aditya ternyata ada sebongkah emas murni. Dan
Syanda-lah yang tahu di mana emas itu tersembunyi.
Cuma
Syanda yang tahu.
***
“Waktu
Nona cuma tiga puluh menit,” pesan satpam yang mengantar Syanda ke ruang tamu
panti rehabilitasi ‘Nusa Bangsa’.
Ternyata
panti rehabilitasi ini juga dijaga ketat beberapa aparat keamanan. Syanda agak
bergidik ketika melihat beberapa penghuni yang juga sedang menerima tamu. Badan
mereka kurus kering dan tatapan mereka hampa.
Ah,
Aditya-nya bukan orang jenis seperti itu. Dan Syanda semakin yakin kalau polisi
salah menjaring orang. Mata Aditya selalu berbinar dan bersemangat manakala
menyanyikan lagu-lagu rohani di gereja. Ah, mana bisa dia disamakan dengan para
junkies itu?!
“Kamu
datang juga,” suara berat Aditya membuyarkan lamunan Syanda.
“Ka-kamu...
ke-kenapa?!”
Aditya
menarik kursi di hadapannya. Menatap lurus sepasang mata indah milik gadis yang
belakangan ini diakrabinya melebihi apapun juga.
“Kamu
pikir aku sama dengan mereka....”
“Tidak.
Aku yakin kamu tidak bersalah....”
Aditya
mengerjap-erjapkan matanya. Kepalanya terkulai lemas. “Malam itu, Omar dan Maxi
ternyata bikin pesta gila-gilaan di rumahnya, di tempat kami biasa nongkrong
ramai-ramai. Aku ingat pesanmu untuk segera pulang, Syan. Tapi terlambat, polisi
ternyata sudah mengepung kami. Semua terjaring. Malah, Maxi dan Omar ditahan di
Polsek Menteng,” ceritanya dengan suara serak.
“Tapi,
kamu ti-tidak....”
“Demi
Tuhan, Syan. Demi Tuhan aku tidak....”
“Aku
percaya....”
“Terima
kasih. Hanya kamu yang mau percaya aku.”
Syanda
memaksakan bibirnya tersenyum. “Berapa lama kamu di sini?”
“Entahlah,
Syan. Mungkin sebulan. Atau, mungkin pula bisa setahun....”
“Se-setahun?!”
Syanda terbelalak.
“Kamu
malu aku masuk panti rehabilitasi?”
Syanda
menggeleng. “Aku tidak peduli. Aku hanya takut membayangkan hari-hari yang
mesti kulalui tanpa kamu.”
Aditya
mengeraskan rahangnya. Berusaha menahan airmata yang hendak menyeruak.
Laki-laki pantang mengeluarkan airmata. Dia harus menunjukkan ketabahannya di
hadapan Syanda. Bukannya malah menambah rasa pedih di hati gadis yang sangat
disayanginya itu.
“Memang
lama. Tapi....”
“Ak-aku
akan tabah, Dit. Aku akan menunggu....”
“Ja-jangan....”
Syanda
tersedu. “Ak-aku akan menunggumu sampai kapan pun juga!”
Aditya
merengkuh pundak gadisnya. Membiarkannya menangis di bahunya. “Terima kasih
untuk ketulusanmu.”
Waktu
berlalu. Tiga puluh menit berjalan tanpa terasa. Mereka harus berpisah tepat
ketika bel tanda besuk berakhir
berdenting memekakkan.
“Pulanglah....”
“Dit...!”
Syanda kembali memeluk Aditya setelah sesaat tadi siap melangkah keluar.
“Jangan lupa berdoa, ya?”
“Pasti.”
Aditya mengangguk lalu melambai setelah Syanda berdiri di bawah bingkai pintu
keluar ruang tamu. Ditatapnya tubuh Syanda yang menirus dan menghilang di balik
tembok. Dua petugas satpam telah mengapitnya untuk menggiringnya masuk dan
berkumpul dengan penghuni panti rehabilitasi lainnya.
Di
luar, betapa inginnya Syanda berteriak lantang. Bahwa Aditya sama sekali tidak
bersalah. Aditya bukan junkies. Tapi, siapa yang peduli? Bahkan, Aditya pun tampak pasrah dan tabah
menerima kenyataan itu. Dipisahkan dari orang-orang tercinta.
Syanda
menyusut airmatanya. Diayunkannya langkah lebih cepat menyusuri koridor panti
rehabilitasi ‘Nusa Bangsa’. Dia ingin ke kapel. Berdoa di sana. Melaburkan
dirinya di dalam damai dan teduhnya sinar Ilahi.