lewat awan-awan sebagai penyerunya
dan seribu unggas yang migran
“Datanglah, Magnolia!”
Namun Engkau tak kunjung tiba
terlebih menari di padang lalang
lalu rintih itu menyurut
diembus angin nan bising
Oh, Magnolia
jangan biarkan halilintar menggasing
dan membiramakan amarah deraunya
pada desing telingaku
Bicaralah
di manakah Engkau maharani?
Tionggoan telah terluka
Bao Ling
Lagu Magnolia
Ia dapat merasakan betapa naifnya jiwa dalam kekerdilan
ini. Ratusan pasang mata selaksana mambang mengawasinya dari renggang dedaunan
yang setipis bilah rambut. Setiap saat ia dapat ditikam dari belakang sampai
pangkal pedang musuh tertancap dan memboyak punggungnya. Keringatnya menitik seperti
bulir padi. Jatuh satu-satu.
Rengsanya menegak kala diresapinya ketakutan itu sebagai
hal yang lumrah. Sisa-sisa kegentaran yang menghinggapinya seperti mambruk pada
dahan rapuh, tergebah oleh satu kekuatan bermuasal dari naluri kependekarannya.
Dipacunya langkah kuda lebih cepat dari semula. Melewati beberapa rintangan
bambu runcing yang dipasang untuk menjebak dan membinasakannya di tengah hutan.
Sebilah anak panah melesat melewati ceruk dagu dan
tenggorokannya. Lesatan anak panah lainnya datang susul menyusul ditangkisnya
dengan kibasan-kibasan tombaknya yang berputar serupa propeler.
Ia masih memacu laju kudanya dengan beragam kisah yang membebani
benaknya. Suatu saat nyawa yang mengaliri nadi-nadi dan urat-urat syarafnya
akan tercabut dari raganya. Dimafhuminya hal itu sebagai konsekuensi tugas
moral yang diembannya kini. Mungkin di hutan ini. Mungkin juga bukan di hutan
ini. Tetapi pada suatu tempat di mana maharana meranggas seperti padang lalang
yang menusuk-nusuk kafilah.
Telah lebih dari seribu kejadian. Ketangkasan hanyalah
keahlian yang dapat meluputkan ia sesaat dari maut. Kepasrahan pada kematian
adalah hal terpenting dalam meringankan batinnya.
Tiga belas mil telah ditempuhnya menjauhi Ibukota Da-du
menuju daerah perbatasan Tionggoan-Mongol di pos pengawasan Tembok Besar. Satu
rintangan telah dilaluinya. Dan ia sadar akan menghadapi rintangan-rintangan
berikutnya. Nyawanya hanya selembar. Sepantasnya memang diisi dengan hal-hal
yang berguna bagi kemanusiaan. Bukankah itu merupakan warna terindah bagi
kehidupan?
Ia tersenyum.
Masih memacu kudanya secepat lesatan anak panah. Ia
teringat Fa Mulan yang sebentar lagi akan ditemuinya di pos pengawasan Tembok
Besar. Magnolia itu telah memperindah serumpun lalang dan rumput di tanah yang
kerontang. Bukankah hal tersebut sudah diwujudkan gadis Fa Mulan pada Tionggoan
yang mawai oleh maharana?
Lamunannya buyar oleh sekelebat sosok hitam yang mengambang
di atas kepalanya. Seperti terbang, sosok itu mengepak-epakkan kakinya serupa
sayap kelelawar. Menyambar dan meliuk sangat dekat sampai-sampai kucirnya
mengibas terkena angin yang mendesau dari arah depan. Sosok hitam itu seolah
kelelawar yang hendak mematuk dengan sepasang gigi taringnya.
Bao Ling mengelak, salto dan berguling-guling ke tanah
menghindari sayatan pedang yang tiba-tiba keluar dari balik jubah hitam si
Penyerang Misterius yang mengganggu perjalanannya. Kudanya mengikik dan berhenti
mendadak tidak jauh dari tempatnya memijak.
Sosok hitam-hitam tersebut terus mendesaknya saat sepasang
kakinya yang menyepak-nyepak udara tadi menjumput tanah. Tusukan-tusukan
pedangnya yang mengilap dan terpantul sinar jingga rembang petang masih meliuk-liukkan
badan obyek sasarannya seperti trenggiling.
Bao Ling bangkit berdiri dengan satu gerakan memutar
setelah memantulkan kakinya ke sebatang bambu. Setelah sigap berdiri, ia
mengangkat dirinya dengan gaya terbalik menghindari tusukan bertenaga pedang
musuh. Tubuhnya melayang ditopang sebilah tombaknya yang bertumpu vertikal di
tanah. Kini ia sudah berada di atas kepala musuh dengan tubuh terbalik.
Di atas ia lebih leluasa melancarkan balasan. Dan kepala
musuh menjadi titik terbaik untuk pelumpuhan. Sejurus saat masih mengambang di
udara, Bao Ling melancarkan satu totokan jari telunjuk untuk mengikat mati
simpul syaraf tepat di ujung ubun-ubun penyerang misterius tersebut. Namun
seperti sudah mengetahui niat lawannya, sosok berpakaian hitam-hitam itu
menangkis jari telunjuk Bao Ling dengan kepitan jari telunjuk dan jari
tengahnya. Seperti sepasang sumpit bambu yang mengapit erat sebatang sosis.
Menyadari kegagalan serangannya yang mematikan itu, Bao
Ling pun sesegera mungkin melancarkan tendangan bertubi-tubi ke wajah lawannya
ketika tubuhnya memutar normal. Jari telunjuknya terlepas dari kepitan jemari
lawan yang sekeras kepit kepiting karena konsentrasi sang lawan yang terburai
saat menghindari tendangan sekuat sepak kudanya.
Si penyerang misterius itu sedikit terdesak oleh serangan
Bao Ling yang akurat dan bertubi-tubi. Namun rupanya ia bukan orang berilmu
beladiri rendah. Buktinya tendangan cangkul dari Prajurit Kurir Yuan itu yang
biasanya ampuh menyepak titik sasaran dahi dengan tepat dapat dihindarinya
dengan satu kelitan badan seluwes walet.
Seperti menyadari beberapa falsafah silat yang pernah
dipelajarinya bahwa, salah satu pertahanan terbaik ada dalam bentuk
penyerangan, maka Bao Ling pun tak mengendurkan serangan-serangannya yang keras
dan bertenaga. Tubuhnya yang tinggi dan jangkung memang senantiasa
mendistribusikan energi potensial, sehingga lawan-lawan yang kerap dihadapinya
kewalahan menahan pukulan-pukulan dari arah atas ke bawah. Dan biasanya setelah
melewati serangkaian jurus yang memakan waktu cukup lama, maka tenaga lawan
yang hanya dapat menangkis dan menangkis akan terkuras dengan cepat.
Tetapi meski agak terdesak mundur, sosok berbalut jubah
hitam dengan sampur gelap senada yang menutupi kepalanya itu tetap menyimpan
marabahaya. Dan sesekali menyulitkan Bao Ling dengan tohokan-tohokan pedang
bajanya yang tajam. Beberapa saat terdengar dentingan mata tombak dan ujung
pedang yang beradu. Nada dentingan benda logam itu diikuti oleh merebaknya
dedaunan kerontang di radius pertempuran. Sesaat laga dua pendekar itu masih
berimbang.
“Siapa kamu?!” teriak Bao Ling sebagai upaya taktik memecah
konsentrasi musuhnya.
“Tidak perlu kamu tahu sebab ajalmu sudah di ujung pedang
saya,” balas si Penyerang Misterius itu.
Bao Ling tidak terpancing mendengar kalimat satir musuhnya.
Ia masih berkonsentrasi mengoyak pertahanan lawan dengan menusuk-nusuk tombak
ke bagian vital badan lawan. Si Penyerang Misterius itu masih menangkis dengan
mengibas-ibaskan pedangnya serupa propeler.
“Oya?” umpat Bao Ling, balas memancing amarah lawannya saat
senjata mereka saling menyilang di udara. Pergerakan mereka menjeda. Saling
tatap dengan mata mawas dan menantang. “Kalau begitu, keluarkan semua
kekuatanmu!” lanjut Bao Ling saat senjata mereka kembali berdenting-denting di
udara, dan sesekali mendesing-desing di dekat kepala masing-masing.
“Nah, bersiap-siaplah untuk mati!” teriak si Penyerang
Misterius itu sembari balik menyerang dengan sepenuh tenaga sampai urat-urat di
sekujur lehernya tampak menegang. “Awas! Rasakan pedang ini!”
“Baik kalau kamu tetap bersikeras untuk membunuh saya. Saya
akan ladeni.”
“Jangan banyak bicara, Keparat!”
“Silakan. Tunjukkan seluruh kemampuan silat yang kamu
miliki!”
“Kurang ajar!”
“Ayo!”
“Mampus kamu!”
“Ayo, jangan buang-buang waktu lagi. Saya tidak ingin
meladeni cecunguk seperti kamu. Rasanya terlalu mahal waktu saya untuk dipakai
bertarung dengan pesilat pemula semacam kamu! Masih ada hal penting yang harus
saya kerjakan selain meladeni manusia pengecut seperti kamu!”
Si Penyerang Misterius itu akhirnya terpancing. Ia kalap.
Menyerang secara membabi-buta dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.
“Saya bunuh kamu! Saya bunuh kamu!” teriaknya histeris,
merasa frustasi karena tak satu pun sabetan pedangnya mengenai tubuh lawannya.
“Ayo, cepat! Saya tidak punya banyak waktu lagi untuk
melayani orang pongah seperti kamu!”
“Awas kamu! Saya bunuh kamu!”
Bao Ling masih bersabar dan tidak kesusu menyudahi duelnya.
Ia hanya menggunakan ilmu silat dasar pada awal
pertarungan, bermaksud melumpuhkan dan bukan untuk membunuh lawannya. Namun si
Penyerang Misterius tersebut masih saja berusaha merangsek maju meski terdesak
mundur. Musuhnya itu memang sangat bernafsu menghabisi nyawanya.
Pertarungan kali ini memang menyita banyak waktunya.
Meski tidak memiliki ilmu silat yang tinggi dan istimewa,
tetapi si Penyerang Misterius itu sangat gesit dan lincah. Tohokan-tohokan
tombak panjangnya dapat dihindarinya dengan hanya memutar-mutar kepala dan
sedikit badannya tanpa harus menyeret kaki. Lalu sesekali ia melompat-lompat
seperti kera.
Bao Ling sudah meningkatkan serangannya dengan menggunakan
jurus-jurus maut. Tongkat Naga merupakan salah satu jurus andalannya. Tombaknya
jadi lebih bertenaga, seperti mengandung kekuatan bertenaga dalam yang tersalur
melalui lengannya yang kokoh. Tombaknya bergerak sangat cepat dari tangan kanan
ke tangan kiri. Sesekali menggantung di badannya, berputar untuk beberapa saat
sebelum gagang tombaknya mengarah menonjok ke dada lawannya tersebut.
Lelaki misterius itu terentak ke belakang.
Namun ia masih dapat menahan limbung tubuhnya dengan
berdiri seimbang pada sepasang kakinya yang tegap. Bao Ling tidak ingin
melepaskan peluang saat melihat musuhnya terdesak, mengendurkan pertahanan
karena menahan sakit akibat tohokan gagang tombaknya barusan. Dilemparkannya
tombaknya ke atas kepalanya. Tombaknya memutar serupa propeler dan melayang di
udara. Sekedip mata tombaknya sudah berada kembali di tangannya. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi karena refleks telah mengecoh mata dan perhatian
lawannya, ia melemparkan tombak tersebut dengan sekuat tenaga. Tombaknya bergerak
secepat kilat, lurus dan terarah menghantam kembali ke dada lawannya itu.
Sepasang mata si Penyerang Misterius itu membeliak lewat
celah pada sampurnya. Dan ia terlongong dengan mulut menganga saat tombak Bao
Ling sudah menancap di dada kirinya. Darah tampak mengucur dari dadanya
bersamaan dengan ambruknya tubuhnya yang melimbung. Ia pun terempas jatuh ke
tanah. Menelentang mati dengan tombak yang masih menghunus di dada kirinya.
Bao Ling mendekat.
Mencabut tombaknya dari jasad lelaki yang menyerangnya
secara misterius tersebut. Setelah itu ia membungkuk, duduk melutut di sisi
mayat lelaki itu. Disibaknya sampur yang menutupi wajah lelaki yang sudah
dilumpuhkannya itu kemudian. Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat wajah si
Penyerang Misterius yang sudah memucat itu.
“Zhung Pao Ling?!”
Bao Ling menahan napasnya.
Dahinya mengerut. Sama sekali tidak menyangka kalau si
Penyerang Misterius tersebut adalah salah satu pemimpin prajurit intelijen
Istana Da-du yang sudah dikenalnya lama. Tetapi, untuk apa Zhung Pao Ling ingin
membunuhnya?! Bukankah mereka sama-sama prajurit Yuan, yang mengabdi dan
berjuang untuk Kaisar Yuan Ren Zhan?! tanyanya membatin.
Sesaat Bao Ling menggeleng sebelum menutup kelopak mata
mayat sahabat seperjuangannya itu dengan sekali sapuan telapak tangan. Tak ada
bukti yang dapat menunjukkan siapa dalang sebenarnya dari usaha pembunuhan
dirinya setelah tubuh jenazah diperiksa sebentar tadi. Ia berdiri. Menghela
napas panjang.
Ah, konspirasi apa lagi yang akan terjadi untuk
menggulingkan kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan?!
Bao Ling membatin getir sebelum melompati punggung kudanya
tanpa menapaki sanggurdi, dan memacu langkah hewan bertenaga serta bernapas
kuat itu dengan gebahan sepasang tumitnya pada perut kuda. Ia mesti cepat-cepat
ke pos pengawasan Tembok Besar. Menyampaikan maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan
untuk Fa Mulan yang dimutasikan di sana setelah kemenangan gemilangnya atas
penumpasan pemberontakan Han di Tung Shao.
Mumpung masih ada waktu.