sebab lidahku mendadak kelu
ujung pedangku pun tumpul karenanya
prosesi itu telah mematikan akal
aku tak hendak jadi nisan
Bao Ling
Nyanyian Sunyi pada Pertempuran Suatu Malam
Kao Ching menghela napas panjang.
Sesaat menghentikan langkahnya menyaksikan dua bocah yang
sedang asyik bermain di pasir. Anak laki-laki yang lebih jangkung dengan
selempang kulit kambing di bahunya sesekali tertawa entah karena apa. Sementara
itu bocah laki-laki lainnya, berbadan kurus dan pendek, tampak mewek dan
mengentak-entakkan kakinya ke pasir. Stola beledu coklat tanah yang dikenakannya
terpasang agak miring, dan nyaris menutupi ujung mata kirinya.
Kao Ching melangkah dengan dada sesak.
Dihindarinya langkah sekawanan kambing yang mengarah ke
jalurnya. Ia menepi. Berhenti di samping jaro. Anak-anak Mongol yang dilihatnya
bermain pasir tadi kini telah berdiri. Menepuk-nepuk tangan mereka yang
berdebu. Lalu berusaha mengganggu sekawanan kambing yang berjalan lambat ke
tengah gurun beroase. Anak berselempang kulit kambing itu tampak
melompat-lompat kegirangan seusai menggebah seekor anak kambing yang tertinggal
di belakang. Yang berlari terbirit akibat cambukan pelepah ilalang liar pada
punggungnya.
Kenangan masa kecilnya terkuak.
Betapa damainya alam gurun. Sekian tahun diakrabinya
sejumput aroma oase, embusan pasir yang basir, serta alunan tabuhan rebana yang
mengiringi tarian para gadis Mongol berhidung bangir. Sehingga setiap jengkal
tanah gersang itu telah mempolakan subtilitas nomadi di serabut kelabu otaknya.
Kesederhanaan yang kini telah terpampas oleh sesosok makhluk majas yang bernama
ambisi!
Temujin telah hilang dibawa oleh angin.
Ia telah dibuai oleh ambisi maya berpamrih takhta. Dimensi
lain sang waktu telah membopongnya ke dalam lara majas buana. Sehingga
terkungkunglah ia di dalam segenap ambiguitas mayor. Ia tak lagi baku. Seorang
penggembala sejati, yang berbekal busur dan anak panah di atas punggung kuda
Mongol. Lafaznya tak lagi sehangat dulu. Tak seramah embun pagi yang menyapa
padang lalang di gurun.
Kao Ching mengusap
wajah.
Kapabilitasnya
telah terpampas. Kendali atas mobilitas pasukan Mongol tidak lagi berada di
ujung lidahnya. Jenderal Thamu Khan telah merampasnya. Ia telah menggerakkan
sekawanan nasar ke arah Tionggoan. Mengundang maharana. Pelantak damai di muka
bumi!
Ia menyergah dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Maharana tidak boleh terjadi. Seluruh rakyat Mongol akan menderita. Ratusan,
ribuan, bahkan mungkin jutaan keluarga di Mongolia akan kehilangan anak dan
sanak saudara mereka yang menjadi korban dari perang laknat. Kematian yang siasia,
dan tidak membawa faedah apa-apa.
“Jangan gegabah, Jenderal Thamu Khan!”
“Ini perintah Pemimpin Agung Genghis Khan!”
“Anda beserta beberapa atase militer dapat membatalkan
penyerangan. Baba pasti akan mempertimbangkan keputusannya itu.”
“Kalau bukan kita yang menyerang, maka Tionggoanlah yang
akan menyerang kita!”
“Lantas, apa bedanya dengan tindakan kita sekarang?! Kita
menyerang duluan, lalu mereka akan membalasnya!”
“Tapi….”
“Jenderal Thamu Khan, saya hargai deferens Anda terhadap
Baba. Saya hargai pengabdian Anda terhadap Mongolia. Tapi, untuk hal yang satu
ini Anda mesti melihatnya dengan mata hati.”
“Saya hanya pengabdi kecil, Pendekar Kao .”
“Tapi Anda harus memiliki jiwa besar untuk masalah hajat
hidup orang banyak. Ini masalah jutaan nyawa manusia!”
“Saya paham afeksi perasaan Pendekar Kao. Tapi,
kadang-kadang memang ada yang mesti kita korbankan untuk dapat mencapai
cita-cita yang luhur.”
“Cita-cita luhur tersebut akan ternoda apabila Jenderal
Thamu Khan tetap bersikeras dengan keputusan menyerang Tionggoan! Perang bukan
solusi yang baik!”
“Tapi perang dapat menyelesaikan masalah Mongol, Pendekar
Kao!”
“Tidak ada penyelesaian masalah dengan jalan kekerasan.
Justru hal itu akan membawa masalah baru. Saya sangat tidak sepaham dengan pola
pikir seperti itu.”
“Maaf, Pendekar Kao. Ribuan tahun kaum nomad Mongol
bertahan hidup dari kekerasan. Kalau tidak begitu, mana bisa ada Mongolia
sampai sekarang. Sedari dulu kita tidak bertempat tinggal tetap. Terusir dari
satu daerah ke daerah yang lainnya.”
“Kalau itu sudah menjadi predestinasi, kita mau menggugat
siapa?! Dan saya tidak ingin habitat yang sudah turun menurun diturunkan dari
langit itu dijadikan dalih pemberontakan batin, dan mengkompensasikan keresahan
itu dalam bentuk invasi ke negara lain.”
“Masalahnya tidak semudah yang Anda pikirkan, Pendekar
Kao.”
“Dan penyerangan ke Tionggoan pun tidak semudah apa yang
Anda bayangkan, Jenderal Thamu Khan! Banyak faktor yang mesti Anda pikirkan di
luar dari strategi yang telah Anda susun dan rencanakan. Semangat yang
menggebu-gebu dengan pasukan sebesar apa pun tidak cukup menjadi sangu untuk
merebut wilayah orang.”
“Tapi….”
“Bila Anda bersikras, sama juga berarti Anda mengirimkan
jenazah untuk keluarga prajurit Mongol!”
“Maaf, Pendekar Kao! Mungkin tidak etis Anda mengatakan hal
itu di saat pasukan Mongol dalam persiapan penuh. Seharusnya Anda menjadi
motivator. Bukan sebaliknya. Mengendurkan semangat tempur pasukan Mongol!”
“Saya berkata apa adanya. Tidak ada yang saya tutup-tutupi
untuk urusan seurgen nyawa orang.”
“Tapi….”
“Pasukan Han pimpinan Jenderal Shan-Yu dan Han Chen Tjing
baru saja dipukul mundur. Bahkan ratusan ribu prajurit mereka tewas di perbatasan
Tembok Besar oleh kedahsyatan prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong Dinasti Yuan.
Apakah Jenderal Thamu Khan tidak belajar dari pengalaman?!”
“Kita sudah mengantisipasi hal itu! Kita memiliki strategi
jitu untuk meredam prajurit dari divisi baru mereka!”
“Jangan takabur, Jenderal Thamu Khan! Meski divisi baru
mereka itu jauh tidak sebanding dengan jumlah pasukan kita, tapi mereka tidak
boleh diremehkan!”
“Atase militer sudah memikirkan cara untuk melumpuhkan
divisi baru mereka itu, Pendekar Kao. Salah satunya adalah dengan penyerangan
secara frontal dan terpadu pada satu titik lemah lawan.”
“Kekuatan mereka tidak bisa dilihat dari satu sisi saja,
Jenderal Thamu Khan!”
“Tentu. Tapi, berdasarkan data intelijen kita, mereka tidak
akan dapat membendung pasukan Mongol yang datang bagai air bah!”
“Asumsi tidak dapat dijadikan landasan kekuatan Mongol!”
“Mungkin….”
“Tidak ada strategi yang paling jitu selain diplomasi,
Jenderal Thamu Khan.”
“Diplomasi tidak masuk dalam agenda strategi.”
“Kalau begitu, Anda mesti bersiap-siap untuk kehilangan
banyak nyawa!”
“Itu risiko perang!”
“Kalau risiko bisa dihindari, kenapa tidak?!”
“Maksud Pendekar Kao, apakah kita harus mengalah?! Dan
membiarkan Tionggoan….”
“Mengalah adalah salah satu strategi. Mengalah untuk mencapai
kemenangan merupakan sebuah siasat yang paling jitu dalam peperangan.
Menghindari terjadinya pertumpahan darah adalah kemenangan gemilang dalam
maharana! Jauh lebih jaya ketimbang kemenangan tentatif!”
“Penaklukan merupakan satu-satunya cara, Pendekar Kao.
Armada besar, kemampuan dan semangat tempur yang menggebu-gebu sudah dimiliki
oleh pihak kita. Pengenduran adalah kekalahan. Kalau bukan sekarang, selamanya
Mongolia akan dianggap bangsa yang lemah!”
“Status bangsa besar tidak ditentukan dari seberapa besar
negara itu menaklukkan negara lain. Tapi seberapa jauh kontribusi dan
eksistensi kehadiran negara tersebut sebagai bagian dari dunia. Sayang Baba
sudah bertindak terlampau jauh. Tidak memikirkan bagaimana seharusnya
prospektif Mongolia ini ditempatkan.”
“Kekuatan sebuah negara terletak pada angkatan perangnya,
Pendekar Kao. Saya sangat tidak sepaham kalau Anda mengabaikan hal itu. Negara
yang seperti Pendekar Kao maksud itu
nantinya akan menjadi negara lemah. Negara pesakit yang setiap saat dapat
menjadi sasaran empuk invasi negara kuat dan besar. Makanya, Mongolia mesti
memiliki armada perang besar. Persis yang dibangun oleh Pemimpin Agung Genghis
Khan sekarang!”
“Membangun kekuatan armada perang semata akan melemahkan
sektor lain, Jenderal Thamu Khan! Sektor lainnya akan terlalaikan sehingga
menghambat perkembangan ekonomi negara. Rakyat pulalah yang akan menderita
nantinya!”
“Tapi….”
“Sekarang saya tidak memiliki kapabilitas apa-apa untuk
mencegah penyerangan, Jenderal Thamu Khan! Tapi, saya hanya dapat meminta agar
semua atase militer dapat membuka mata supaya bertindak benar. Bukannya
jumawitas megalomania karena merasa telah memiliki legitimasi dan kemampuan
tempur yang jauh di atas batas kemampuan negara lain!”
“Tapi….”
Maklumat penyerangan itu sudah jelas.
Tidak ada yang dapat menghentikannya lagi. Sekawanan nasar
akan menghitami langit Tionggoan. Menyerang negara itu bertubi-tubi seperti
gemawan yang mencurahkan rambun kematian. Satu nestapa kemanusiaan yang telah
merimbun dalam rupa baur. Ia menggeleng sedih. Gamang dengan keputusan ayah angkatnya!
Kao Ching melangkah tanpa permisi.
Ia keluar dari tenda salah satu atase militer kepercayaan
Genghis Khan itu. Ia ingin secepatnya pergi dari tempat para nasar
beranak-pinak. Jauh ke suatu tempat terpencil. Melupakan semua kenangan yang
pernah terjadi di sana.
Ia ingin mengobati luka hatinya.