pasir
dan batu delima
adalah
setapak lafaz nomadia
majas
maharana sejak itu
tak
kudengar lagi derap gagah kuda Mongol
hanya
ada dengusan napas perana
yang
memberat ditelan lara
Kao
Ching
Elegi
Rajawali
“Suku
Mongol merupakan paradigma. Ribuan tahun mereka hidup menomad. Mereka mampu
mengatasi kerasnya alam utara yang tidak ramah. Mereka membentuk koloni yang
luar biasa di tanah tandus gurun. Tapi usaha agresi yang dilakukan Baba tidak dapat ditolerir sebagai pembenaran agar
rakyat Mongol dapat memiliki tanah tetap untuk ditinggali!”
“Apa
yang dilakukan oleh Pemimpin Agung Genghis Khan merupakan cita-cita rakyat
Mongol, Pendekar Kao!”
“Jangan
mengatasnamakan rakyat sebagai kolektivitas suara untuk mewujudkan ambisi
pribadi!”
Kao
Ching mengibaskan tangannya. Tidak lagi bersikap santun di hadapan jenderal
kepercayaan ayah angkatnya itu. Kali ini ia sudah tidak dapat lagi mengendalikan
kemarahannya. Mereka semua memang sudah dibahang ambisi.
“Tapi….”
Jenderal
Thamu Khan sedikit terkejut atasi sikap sarkastis Kao Ching barusan. Namun ia
masih berusaha tersenyum. Tidak larut dalam arus kemarahan. Bagaimanapun, ia
sudah menang selangkah!
“Maaf
atas kelancangan saya, Jenderal Thamu Khan. Bukan saya mendiskreditkan Baba
dalam hal ini. Tapi, apa yang Baba lakukan akan menghimpun dendam pada rakyat
Tionggoan!”
“Kekuatan
armada perang kita sekarang tak terbandingi, Pendekar Kao! Inilah saat yang
tepat untuk kembali mendapatkan hak kita. Inilah yang menjadi senjata pamungkas
kita untuk merebut tanah Tionggoan! Dan sampai saat ini masih menjadi rahasia
di kalangan militer kita, terlebih-lebih militer Tionggoan! Tak satu pun negara
yang dapat menyangka kekuatan terselubung Mongol!”
“Justru
itulah yang saya takutkan, Jenderal Thamu Khan! Bahwa, dengan kapabilitas lebih
yang kita miliki membuat Baba jadi pongah dan jumawa!”
“Sudah
ribuan tahun rakyat Mongol tak bertempat tinggal tetap!”
“Dalih
itu tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan pemampasan. Perang akan
menghancurkan kedua belah pihak!”
“Tapi
kalau bukan sekarang, kapan lagi rakyat Mongol dapat hidup menetap dan tenang
pada sebuah daerah?”
“Rakyat
Mongol tidak pernah mengeluh, dan itu sudah berlangsung ribuan tahun. Kalau
kepentingan pribadi sudah merecoki iklim politik Mongol, maka yang terjadi
adalah kekisruhan. Perang dan perang!”
“Tapi….”
“Saya
ini Mongol meski ibu Han, Jenderal Thamu Khan! Dan seperti rakyat Mongol
umumnya, tidak ada yang suka perang! Semua penduduk Mongolia sudah hidup tenang
di alam gurun yang keras, beradaptasi sejak turun-temurun. Itu stigma yang
sudah mereka mafhumi sejak lama. Jadi, alasan atas nama rakyat Mongol itu hanya
absolutisme Baba dan petinggi militer lainnya!”
“Mungkin….”
“Saya
mohon Jenderal Thamu Khan mengurungkan niat untuk menyerang Tionggoan. Pikirkan
matang-matang dampak negatif dari invasi itu. Saya sengaja datang kemari karena
saya pikir Andalah orang terdekat dan kepercayaan Baba. Tolong pertimbangkan
kembali keputusan untuk menyerang Tionggoan!”
“Keputusan
untuk menyerang Tionggoan sudah bulat, Pendekar Kao. Dan hal itu juga merupakan
harapan Pemimpin Agung Genghis Khan sejak dulu. Beliau gusar dan geram melihat
tingkah suku-suku bangsa lain yang hidup makmur, dan berbuat semena-mena terhadap
suku bangsa Mongol ratusan tahun lalu.”
“Histori
ratusan tahun lalu?! Maaf, Jenderal Thamu Khan! Betapa piciknya kita kalau
mengungkit-ungkit kejadian silam, lalu diaplikasikan ke dalam bentuk revans.
Hah, dendam?! Seberapa besar dendam masa lalu itu sehingga mampu merusak hati
dan pikiran kita?!”
“Tapi….”
“Sampai
kapan dendam itu akan bersemayam di hati mereka?!”
“Pendekar
Kao ….”
“Dendam
tidak pernah akan ada habis-habisnya!”
“Tapi….”
“Apa
bedanya dengan mereka para korban pampasan nanti?! Mereka juga akan mendendam.
Lantas, suatu saat bila ada kesempatan untuk revans, mereka akan balik
menyerang Mongolia!”
“Anda
masih terlalu hijau, Pendekar Kao!”
“Mungkin.
Mungkin saya terlalu muda untuk mendalami pikiran Anda semua, para tetua.
Mungkin saya masih belum banyak mengecap asam garam seperti Anda semua. Tapi
paling tidak saya memiliki nurani dibandingkan dengan Anda semua yang merasa
jauh lebih arif dan tua daripada saya! Saya bisa merasakan bagaimana
destruktifnya perang itu!”
Kao
Ching meninggalkan tenda atase militer Mongol. Ia keluar dengan langkah gontai.
Tidak ada satu pun jenderal yang mendengarkan permohonannya. Terlebih-lebih
ayah angkatnya, Genghis Khan!
Mungkin
besok atau lusa, perang akan meletus di perbatasan Tionggoan-Mongolia. Ia tak
punya daya apa-apa untuk dapat menghalau maharana yang bakal memakan banyak
korban tersebut. Perang memang majas yang menakutkan sepanjang zaman.
Ia
gamang.