aku tidak mengulang taktik itu
namun merespons berbagai keadaan
dalam cara-cara yang tidak terbatas
Taktik-taktik militer mirip dengan air
seperti air membentuk alirannya
berdasarkan permukaan
sebuah pasukan menang
dengan menyesuaikan diri
terhadap musuh yang dihadapinya
Dan sama seperti air yang inkonstansi
dalam perang pun
tak pernah ada kondisi yang konstansi
Sun Tzu
Refleksi Seni Rana
Aroma kemenangan memang sudah selenggang. Kurang lebih
seratus ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh membentuk pagar betis, merangkai
rantai manusia yang menutup Tung Shao dari sebelah timur sampai barat. Di
belakang rantai manusia, ribuan kuda tanpa penunggang telah berbarikade serupa
defile. Kurang lebih sepuluh ribu prajurit Divisi Infanteri yang masih tersisa
memegang panji-panji dan umbul-umbul Dinasti Yuan bertiang tombak. Mereka melangkah
perlahan menuruni bukit, seolah hendak menyongsong pasukan pemberontak Han di
bawah bukit.
Fa Mulan telah mendelegasikan masing-masing Pati memegang
kendali atas seratus ribu kuda tanpa penunggang beserta prajurit di garda
depan. Bao Ling bertanggung jawab atas barikade selatan. Chien Po pada barikade
utara. Sementara Yao dan ia sendiri memegang kendali perintah di barikade timur
dan barat. Dari kejauhan kesatuan barikade tersebut membentuk asumsi kekuatan
tetralogi yang sangat tangguh. Sebuah empat mata rantai yang saling mengikat,
dan mendukung antara satu dengan lainnya.
“Yao, Chien Po, Bao Ling!” Fa Mulan berteriak, memimpin di
garis depan. “Kerahkan semua armada untuk merangkak perlahan! Semua prajurit Divisi
Kavaleri Danuh dan Divisi Infanteri merengsek maju, berteriak sekeras-kerasnya!”
Maka yang terjadi berikutnya adalah puncak Tung Shao
menyemut oleh prajurit Yuan. Menghitam seperti arak-arakan gemawan yang siap
menjelma menjadi badai hujan. Dari kaki bukit, Shan-Yu terpana. Tubuhnya menggigil.
Ia serasa tak percaya. Teriakan-teriakan yang menggema sampai ke bawah bukit bagai
raungan halilintar. Ia serasa berhadapan dengan avalans. Siap melumat dan menguburnya
di dalam endapan salju yang akan membekukan tubuhnya. Napasnya seketika tercekat.
“Mundur! Mundur semuanya! Mundur kembali ke barak Utara!”
Tiga ratus ribu pasukan pemberontak Han mundur cepat dari
zona tempur. Shan-Yu menggeram dengan wajah memerah menahan malu. Ia telah dikalahkan
oleh prajurit wamil, Fa Mulan. Digebahnya pasukannya kembali ke gigir Sungai
Onon, menyeberangi derasnya gelombang air. Dan pulang ke kamp mereka setelah
melintasi Danau Baikal di perbatasan Mongolia.
“Keparat! Bala bantuan Yuan lebih besar dari jumlah pasukan
kita!” gusar Shan-Yu pada asistennya, Ta Yun.
“Da-dari mana mereka dapat memperoleh tambahan prajurit
sedemikian cepatnya, Jenderal Shan?!”
Shan-Yu menggeleng di atas punggung kuda putihnya. “Tidak
tahu. Tapi, saya rasa Kaisar Yuan Ren Zhan telah menghimpun rakyat di pesisir
untuk menjadi wamil.”
“Tapi, bukankah rakyat di pesisir telah bersimpati pada
kita, Jenderal Shan?” tanya Ta Yun yang mengenakan bandana dari bahan mohair di
atas kepalanya yang berambut lebat sepinggang.
“Tidak, tidak semuanya!” jawab Shan-Yu separo membentak.
“Kaisar Berengsek itu sudah menyuap orang-orang itu supaya mau ikut dengan
mereka!”
Daerah pesisir yang dimaksud adalah semenanjung Hainam .
Sebuah negeri kepulauan kecil dengan penduduk padat. Masih independen.
Orang-orang dari negeri putih baru saja meninggalkan daerah itu karena dianggap
tidak memiliki lahan apa-apa yang dapat digarap kecuali ikan dan garam.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan, Jenderal Shan?!” tanya
Ta Yun, sang pendekar bertubuh karang berohkan senjata trisula. Dadanya yang
menggelembung telah menggambarkan kekuatan fisiknya yang sekuat banteng.
“Untuk sementara kita kembali ke kamp dulu. Setelah itu,
saya akan berkonfirmasi dengan Pimpinan Han yang masih berada di perbatasan
Tembok Besar. Mungkin kita himpun kekuatan baru lagi. Lalu kembali menggempur
pihak Yuan.”
“Tapi, apakah kita telah membuang-buang waktu, Jenderal
Shan?”
“Maksudmu, kita tetap melawan prajurit Yuan yang berjumlah
kurang lebih satu juta personel itu?!”
“Bukan….”
“Kalau saya meladeni mereka bertempur tadi, sama juga saya
bunuh diri!”
“Ten-tentu….”
“Jadi selagi ada waktu untuk lolos, lebih baik kita kabur
dulu. Sampai suasana kondusif untuk melakukan penyerangan kembali.”
“Ya-ya! Seharusnya memang begitu, Jenderal Shan!”
Ta Yun tergagap.
Trivialitas berpikirnya mengubunkan amarah Shan-Yu. Segera
diakurinya dalih Shan-Yu untuk menarik diri dari zona tempur. Aversinya itu
memang demi keselamatan semua pasukan Han.
“Mungkin pasukan yang berasal dari Tung Shao ini akan
membantu pasukan Pemimpin Han di perbatasan Tembok Besar. Mungkin kita akan
mendobrak pertahanan musuh yang sedikit melemah di sana. Beberapa ribu pasukan
kita di sana telah berhasil menaklukkan prajurit Yuan,” ujar Shan-Yu menuai
harapan. “Apa boleh buat. Ternyata strategi kita gagal di Tung Shao. Padahal, mulanya
daerah itu telah diprakirakan akan dapat dengan mudah kita rebut. Justru sebaliknya
dengan daerah di perbatasan Tembok Besar yang sama sekali tidak menjadi target
kemenangan, kecuali untuk membuyarkan konsentrasi pakar strategi perang Yuan!
Huh, saya tidak menyangka Fa Mulan dapat mengkoordinir semua prajurit Yuan
secepat dan setangkas itu!”
Ta Yun mengepalkan tangannya di atas punggung kuda ketika
melewati daerah paya di gigir Sungai Onon.
“Keparat Si Anak Kampung Fa Mulan itu! Akan saya bunuh dia
kalau ketemu!” teriaknya tertahan menahan geram.
Shan-Yu mengangguk. “Padahal beberapa waktu lalu, saya
sudah nyaris membunuh pemimpin Kamp Utara, Shang Weng, di dusun Nio. Untung dia
dapat kabur. Tapi saya yakin dia terluka parah. Bahkan mungkin tewas di atas
bukit sana!”
“Jangan khawatir, Jenderal Shan,” Ta Yun menghibur. “Saya
sudah menyusupkan beberapa orang jasus di Ibukota Da-du. Mereka akan membunuh
perwira-perwira Yuan bila tidak terkawal nanti!”
“Bagus!”
“Bahkan beberapa di antaranya sudah menelusup ke dalam
lingkungan Istana Da-du, meskipun belum sampai ke Area Terlarang Kaisar Yuan
Ren Zhan karena ketatnya pengawalan.”
“Tinggal menunggu waktu saja, kepala Kaisar Yuan Ren Zhan
akan saya serahkan kepada Han Chen Tjing!”
Shan-Yu terbahak.
Mafelanya yang berwarna coklat tanah mengibar diembus angin
sungai. Ratusan ribu serdadu mengekor di belakangnya. Beberapa ribu pasukan
mengusung peralatan tempur di pundak mereka. Sebagian lagi duduk di pedati dan
muntit kuda yang mengangkut logistik militer.
Keciprat air yang mengirama oleh sapuan ratusan ribu pasang
kaki di tepi sungai menimbulkan bunyi mayor. Burung-burung gereja beterbangan
dari dahan-dahan rerimbunan daun bambu. Merasa terusik oleh sekelompok makhluk
pengganggu. Mereka ketakutan, menjauh ke arah bukit. Dan hinggap di belantara
pinus yang sudah tak berambun.
Pagi baru saja disaput oleh siang ketika mereka tiba di dermaga
Sungai Onon. Dermaga tersebut merupakan dermaga darurat yang sengaja dibangun
sewaktu penyerangan ke bukit Tung Shao. Di sana masih menyandar ribuan perahu
dan rakit bambu. Dermaga itu dijaga oleh seribu orang serdadu Han, yang khusus
bertugas mengawasi keselamatan transportasi air sederhana itu. Tidak ikut menyerang
ke kaki bukit Tung Shao.
Shan-Yu turun dari punggung kudanya.
Langkahnya diikuti Ta Yun yang mengekor hendak mengaso.
Mereka duduk di rerimbun bambu, menyandarkan punggung pada batang bambu sembari
menunggu barkas khusus untuk para perwira tinggi yang sedang disiapkan oleh beberapa
serdadu. Kali ini air sungai tidak terlalu menderas. Jadi mereka dapat menjauh
dari kejaran prajurit Yuan dengan mudah. Sewaktu mereka melakukan penyerangan
beberapa bulan lalu, air sungai sedikit meluap karena avalans salju dari bukit
Tung Shao.
Shan-Yu tidak mau menempuh risiko masuk bersembunyi
menelusup ke dusun-dusun. Cepat atau lambat mereka pasti akan tertawan. Apalagi
penduduk dusun-dusun sekitar juga sudah mengantipati kehadiran pasukan Han,
yang dianggap telah mengganggu ketenteraman mereka. Bahkan beberapa dusun telah
mereka hancurkan, dijadikan markas militer dan lumbung logistik.
“Jenderal Shan, apa tidak ada cara lain untuk menghadapi
kekuatan besar mereka selain kolaborasi pasukan dari daerah perbatasan Tembok
Besar?” Ta Yun bertanya, lebih menyerupai bahan pemecah kebisuan ketimbang
pertanyaan strategi.
“Maksudmu….”
“Maksud saya, apakah kita tidak dapat bekerja sama dengan
Temujin….”
Shan-Yu sontak berdiri dari duduknya. Ditatapnya sepasang
mata sipit di hadapannya dengan tubuh membahang. Suaranya menggelegar. “Saya
tidak sudi bekerja sama dengan kaum nomad!”
Ta Yun terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Ada dalih yang
hendak diutarakannya. Tetapi urung terucap karena tergebah amarah Shan-Yu yang
sudah meledak-ledak. Tentu saja bukan bekerja sama harafiah. Namun hanyalah
bagian dari strategi pinjam tangan. Artinya, kaum barbarian Mongol dibiarkan
bertempur di garis depan dengan prajurit Yuan sampai kedua belah pihak melemah.
Dan ketika itu mereka akan masuk menyerang dari belakang memanfaatkan keadaan.
“Temujin terlalu angkuh!” damprat Shan-Yu. “Bagaimana
mungkin kita dapat bekerja sama dengan orang seperti itu! Apalagi, kita
memiliki kepentingan politik yang sama. Huh, mustahil Si Mongol Tua ingin
berbagi tanah Yuan yang gembur.”
“Maafkan atas kelancangan saya tadi, Jenderal Shan!” Ta Yun
bangkit berdiri, mengatupkan sepasang tangannya cepat di pangkal kalimat tabiknya.
“Saya memang belum berpengalaman. Mohon Anda memaklumi.”
“Lebih baik kita pikirkan strategi lain ketimbang harus
bekerja sama dengan orang yang maneris begitu!”
Ta Yun mengangguk. Diakurinya dengan terpaksa kalimat
Shan-Yu yang mangkas. Dihelanya napas. Sebaiknya ia tutup mulut saja. Para
perwira tinggi selalu merasa tinggi. Jarang mau menerima masukan dan usul bawahannya.
Sifat laten Shan-Yu itu setali tiga uang dengan pemimpin tertingginya, Han
Cheng Tjing. Selain keras kepala, mereka juga sama-sama ambisius!
“Maaf, Jenderal Shan,” sapa seorang serdadu yang membungkuk
dalam-dalam. “Barkas untuk Anda sudah siap. Apakah kita dapat berangkat
sekarang?”
Shan-Yu mengangguk.