![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST
|
Sesungguhnya
jenderal arifah
adalah sosok maharesi
dimana kala bertempur
ia maju tanpa takut mati
dan di mana kala terdesak
Ia mundur demi keselamatan
pebala
Sesungguhnya pula
Ia bertempur atas nama
cita luhur
dimana absurditas
ketenaran
jauh dari nurani
Ia adalah satria
pejiwa yang tak pernah
takut undur
dan merasa terhina
karenanya
sebab strata dan jabatan
hanyalah anominitas babur
Adalah jauhar tak tak
ternilai
jika negara memiliki
seorang jenderal luhur
yang dapat melindungi
rakyat dan Sang Kaisar
Sun Tzu
Refleksi Seni Rana
Rembang petang baru saja menyingkir diganti malam. Bukit
Tung Shao menggelap tanpa gemintang di langit. Hujan masih menyisakan partikel
salju yang menusuk-nusuk kulit dengan giris dinginnya. Rambun memaksa Fa Mulan
meringkuk, dan duduk di tempat biasa. Menghangatkan dirinya pada sebuah lidah
unggun sembari menghitung detik-detik pertarungan hidup mati yang sudah di ambang
batas.
Dihelanya napas resah.
Yao belum kembali ke barak setelah ia nekat menyongsong
musuh di perbatasan Tung Shao. Masih disesalinya keputusan emosional Yao. Sahabat
seangkatannya semasa wamil itu memang memiliki temperamental panas. Setiap permasalahan
disikapinya dengan berapi-api. Satu kebiasaan buruknya yang masih terbawa
sampai sekarang meskipun ia telah diangkat menjadi prajurit madya.
Yao merupakan anak dari pasangan gembala di dusun gigir
Sungai Onon. Meski ia berdarah Tionggoan, tetapi lingkungan dan adat istiadat
yang diakrabinya sedari kecil berbeda dengan kebanyakan orang Tionggoan lainnya.
Keluarganya hidup menomad. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya
di perbatasan Tionggoan-Mongolia. Sedari kecil pula hidupnya telah ditempa oleh
iklim dan alam yang keras di pegunungan serta beberapa gurun di daerah dekat Mongolia.
Yao tumbuh menjadi pemuda yang keras, berpendirian tegas, dan menjunjung harkat
serta harga diri setinggi-tingginya.
Karena tidak ingin berkubang terus di dalam kemiskinan,
maka Yao pun menanamkan satu tekad dalam dirinya. Bahwa tidak selamanya
keluarga mereka akan hidup menomad tanpa tempat tinggal yang tetap dan layak.
Ia lantas bekerja keras dan banting tulang, hidup dari modal otot. Setiap hari
ia mengikuti adu gulat bercapa, sebuah perjudian adu tarung yang marak dan mendarah
daging di Mongolia. Menghidupi orangtuanya yang sudah uzur dengan uang hasil
kekerasan.
Beberapa tahun kemudian ia mengelana ke Ibukota Da-du.
Menjadi centeng salah seorang tauke kelontong kaya di sana. Sampai keluarnya
amanat dari Kaisar Yuan Ren Zhan agar seluruh warga Tionggoan harus menjalani
wajib militer di Kamp Utara. Di sanalah awal mula perkenalannya dengan Fa Mulan
yang selalu dilandasi ketidakharmonisan.
Ia dan Fa Mulan sebenarnya seperti dua orang musuh yang
bertarung dalam satu selimut. Setiap hari mereka bertengkar dan adu jotos.
Itulah sebabnya di Kamp Utara, Fa Mulan dan Yao sering diganjar hukuman oleh
Shang Weng. Yao yang kelewat keras diantipati oleh Fa Mulan yang selalu ingin
membela prajurit-prajurit lemah jajahan Yao. Setiap memalaki prajurit-prajurit
lemah tersebut, Fa Mulan selalu tampil sebagai pahlawan. Menentang Yao yang
lebih besar tiga kali lipat dari tubuhnya.
Meski kasar tetapi Yao sebenarnya memiliki sifat baik yang
jarang ditampakkannya. Ia setia kawan. Selalu menolong kaum jelata yang
tertindas puak terpandang, bahkan mengorbankan nyawanya sekalipun. Sayang ia selalu
mengambil tindakan tanpa nalar. Dan menempuh jalan kekerasan reaksi amarah yang
berkobar di dalam hatinya.
Fa Mulan masih menghangatkan tubuhnya di samping unggun.
Sejenak diisinya tadi benaknya yang lowong dengan kenangan
silam. Yao, Chien Po, dan Bao Ling merupakan sahabat terbaiknya. Dan ia tidak
ingin salah satu dari mereka ada yang gugur sia-sia. Hal itulah yang kerap meresahkannya.
Terutama Yao yang beremosi labil.
Ia mengusap wajah.
Pasukan pemberontak Han yang sudah semakin dekat dan berada
beberapa mil dari barak meresahkannya. Besok fajar pasti sudah sampai di sini.
Sementara bala bantuan belum kunjung tiba. Apa boleh buat, pikirnya. Hidup mati
manusia memang sudah ditentukan dari langit. Itulah takdir kematian seseorang
yang bernama ajal. Dapat terjadi di dalam situasi apa pun juga. Kalau ia memang
harus terbantai dalam peperangan besok, maka ia tidak akan pernah menyesali kematiannya
yang menyakitkan itu. Sebab ia merasa telah membela kebenaran. Dan tidak mati
dengan sia-sia.
Baru saja ia akan menikmati bakpaonya ketika beberapa
prajurit berjalan tertatih-tatih dengan tubuh membujur luka. Mereka adalah prajurit-prajurit
yang diperintah ikut serta ke perbatasan Tung Shao bersama Yao fajar kemarin.
Fa Mulan berdiri.
Ia mendekati prajurit-prajurit tersebut. Dan membantu
memapah seorang prajurit yang tertebas golok ke dalam tenda tabib. Beberapa
prajurit dalam tenda keluar dan turut membantu rekan mereka yang terluka.
“Mana Prajurit Madya Yao?!” tanyanya cemas pada seorang
prajurit yang tidak terluka.
“Sudah masuk ke tendanya, Asisten Fa.”
“Bagaimana keadaan kalian?”
“Hampir semua rekan-rekan yang berangkat bersama Prajurit
Madya Yao gugur di perbatasan. Kami yang selamat tidak sampai dua puluh orang.
Pasukan pemberontak Han sangat banyak, Asisten Fa! Kami tidak sanggup
mengadang mereka!”
“Baik, baik. Terima kasih. Kamu istirahat saja dulu. Kalau
luka, segera ke tenda tabib.”
Prajurit bawahan itu mengangguk.
Fa Mulan meninggalkan prajurit itu dengan wajah gusar.
Dilangkahkannya kakinya dengan gerak gegas ke tenda Yao. Meminta
pertanggungjawaban lelaki bertubuh kekar itu.
“Yao!” teriaknya keras di muka tenda Yao.
Yao menyibak daun tenda. Ia keluar dengan wajah bengis.
Tampak segar bugar, tidak mengalami luka sedikit pun. Fa Mulan sedikit lega.
Tetapi tak mengurungkan kemarahannya yang sudah mengubun sejak fajar kemarin.
“Apa-apaan kamu, Yao!” sembur Fa Mulan berkacak pinggang.
“Sok jagoan begitu!”
Yao mendekat.
Ia berdiri persis sejengkal di hadapan Fa Mulan. Ditatapnya
ke bawah dengan sikap tidak bersalah. Gadis atasannya itu mendongak, masih belum
menyurutkan tatapan matanya yang setajam pedang.
“Sudah sedari dulu saya bilang, saya ingin menghalau
Jenderal Shan-Yu di bawah bukit sebelum dia dan pasukannya mendapatkan
kekuatannya kembali, lantas menyerang kemari dan merobek-robek tubuh kita di sini!”
“Saya tahu kita semua ingin dia enyah dari muka bumi ini!
Semua prajurit di sini ingin memenggal kepalanya! Tapi belum saatnya, Yao! Dia
masih terlalu tangguh untuk ditaklukkan!”
“Kita dapat menaklukkannya, Asisten Fa!” balas Yao dengan kasar.
“Tapi selama ini Anda yang terlalu lamban!”
“Kita butuh waktu yang tepat!”
“Waktu yang tepat?!” Yao mendengus. “Sampai kapan?! Sampai
kita lengah dan dia datang dengan seabrek pasukannya yang ganas lalu mencincang
tubuh kita?!”
“Saya punya strategi lain. Bukannya dengan cara emosional
begitu, Yao!”
“Strategi apa?!” tanya Yao geram. “Strategi mengulur-ulur
waktu?!”
“Kalau itu memang merupakan strategi jitu, kenapa tidak?!”
Yao kembali mendengus keras.
Ia mengibaskan tangan dengan jumawa seolah-olah Fa Mulan
bukan atasannya. Diputarnya tumit hendak masuk kembali ke dalam tendanya.
Tetapi Fa Mulan mencekal pundaknya. Menghentikan langkahnya. Masih ingin meminta
tanggung jawab prajurit madya itu atas hilangnya hampir seratus nyawa prajurit
Yuan dengan sia-sia.
“Yao, kamu sudah bertindak gegabah!”
“Paling tidak saya memiliki keberanian daripada hanya
berpangku tangan seperti Anda, Asisten Fa!”
“Apa yang telah kamu lakukan itu sangat berbahaya, dan
mengancam keselamatan nyawa kamu sendiri!”
“Saya tidak takut!”
“Saya hargai keberanian kamu. Tapi, tindakanmu itu sama
juga dengan mengantar nyawa. Untung kamu masih dilindungi Dewata sehingga dapat
kembali ke sini. Tahu tidak, perbuatanmu yang menyongsong ke markas musuh itu
seperti anjing yang masuk ke kandang macan!”
“Saya bukan prajurit pengecut!”
“Tapi bukan dengan begitu kamu boleh bertindak gegabah.
Saya tidak ingin ada prajurit Yuan yang mati konyol!”
“Maaf, semoga prakiraan saya ini tidak benar! Bahwa apa
yang telah Asisten Fa uraikan barusan hanya sebentuk dalih untuk menutupi
sepotong rasa takut!”
Fa Mulan terkesiap.
Ia sama sekali tidak menyangka Yao dapat selancang itu. Ia
merasa tidak punya wibawa dan harga diri sebagai pemimpin. Ditariknya lengan
kokoh Yao dengan sekali entak. Lelaki berwajah keras itu terantuk. Mendekat
sejurus setelah menjauhi Fa Mulan tadi.
“Yao! Kalau saja saya sendiri memiliki kemampuan untuk
mengalahkan Jenderal Shan-Yu dan ratusan ribu pasukan pemberontak Han itu, maka
detik ini juga saya akan menantang mereka di bawah bukit! Detik ini juga saya
akan bertarung dengan mereka! Tapi, saya tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
Kita lemah, Yao. Lemah! Karenanya, saya tidak ingin bertindak tanpa melalui
seleksi otak! Kenapa?! Karena saya tidak ingin mati sia-sia. Tanpa kita, siapa
lagi yang akan membela rakyat Tionggoan?! Apa kamu mengharap para arwah di alam
baka untuk menghalau mereka?! Coba kamu renungkan hal itu, Yao!”
Namun Yao tidak mau tahu.
Ia malah menatap sepasang mata Fa Mulan dengan bias
menantang. Mencibirkan bibirnya dengan bahasa cemooh. Membuang mukanya kemudian
dengan sikap pongah. Berkacak pinggang seperti tokoh protagonis Eng Tay dalam
opera mashyur Sam Pek Eng Tay yang sering dipertunjukkan salah satu kelompok
opera keliling di Ibukota Da-du.
“Kalau takut bilang saja!”
Yao sudah mengarah kasar.
Kalimat-kalimatnya sudah tidak terkontrol. Fa Mulan tidak
dapat membendung amarah yang mengubun di kepalanya. Diterjangnya Yao yang
memiliki tubuh tiga kali lebih besar darinya dengan wushu tingkat dasar.
Yao mengelak.
Tangan kanannya menangkis satu tendangan ke arah dadanya.
Ia terundur sedepa menahan tendangan Fa Mulan yang bertenaga. Sedikit terkesiap.
Sama sekali tidak menyangka tubuh sekecil itu memiliki chi sekuat kuda. Dikembangkannya
otot-ototnya. Tubuhnya memekar seperempat kali lipat dari ukuran tubuhnya yang
biasa. Mengangkang dengan tubuh sedikit membungkuk. Siap menangkap tubuh lawan,
serta meremukkan tulang-tulangnya saat berada dalam pelukan dan telikung kedua
tangannya yang sekokoh baja. Gulat Mongolia memang mengerikan.
Fa Mulan mencecar dengan tusukan-tusukan telapak tangannya.
Sambil melompat-lompat dan sesekali bersalto menghindari kaitan kaki Yao, dihujaninya
tubuh kekar lawannya itu dengan pukulan telapak. Beberapa menerpa dada dan
pundak. Tetapi tubuh besar itu tak bergeming. Kokoh seperti tembok. Yao tetap
berdiri memaku pada tanah. Hanya sesekali menggebah pukulan-pukulan telapak Fa
Mulan dengan kibasan-kibasan cakarnya.
Suasana di barak
Kamp Utara mulai meriuh. Para prajurit keluar dari tenda masing-masing. Keheningan
malam yang dipecahkan oleh suara pertarungan menyita perhatian mereka.
Shang Weng menyimak suara gaduh di luar. Ia terbangun dari
amben tenda. Berjalan dengan langkah rangkak, tidak dapat sepenuhnya bangun karena
lukanya yang belum purna sembuh. Disibaknya daun tenda dari dalam. Di balik api
unggun yang meranggas, dilihatnya sepasang prajurit yang berkelahi. Perseteruan
masih berlangsung sengit. Api unggun yang terletak tidak jauh dari arena pertarungan
tampak melelatu, memercikkan bunga-bunga api akibat embusan angin hasil perkelahian.
Yao masih berusaha menangkap tubuh mungil lawannya. Satu
pelukannya yang secepat lesatan anak panah meleset. Fa Mulan merunduk, dan
berdiri dengan kedua belah telapak tangannya di tanah sebagai penyangga tubuh
kala kakinya mengentak, menendang kepala Yao yang sekeras batu di atas. Yao terundur
tiga tindak dengan langkah sempoyongan. Tetapi kakinya masih terlalu kuat untuk
dibuat terkulai. Ia masih berdiri dengan sikap kuda-kuda setelah pusingnya hilang.
Pemuda kekar bercambang itu semakin kalap.
Ia berteriak menghimpun tenaga. Ditubruknya tubuh Fa Mulan
yang baru saja mendaratkan sepasang kakinya yang menendang tadi. Fa Mulan
nyaris terjatuh ke belakang, tetapi satu kakinya menumpu seperti tongkat pada
tanah bersalju, kemudian mendorong sekuat tenaga tubuh kekar yang menelikungnya
dari depan itu dengan dengan bahu kanan dan kiri bergantian.
Taichi chuan yang
dipergunakan Fa Mulan mampu mendorong tubuh besar itu sehingga terlepas, lalu
satu lesatan tendangan putarnya yang mengarah ke dahi Yao pun telak mengena.
Yao tersepak tumit Fa Mulan dari jurus Kibasan Ekor Hong, salah satu gerakan dari
kungfu ciptaannya, Tinju Hong Terbang. Ia pun terempas dan jatuh ke tanah
dengan pandangan melamur.
Yao berusaha bangkit.
Tetapi kepalanya memening. Disekanya bibirnya yang
berdarah. Fa Mulan menghampirinya. Menyudahi pertarungan dengan melontarkan
kalimat-kalimat bijak.
“Yao, saya tidak bermaksud bertarung denganmu. Saya tidak
bermaksud melukaimu. Kamu bukan musuh saya. Kamu adalah sahabat saya. Tapi,
saya terpaksa melakukan semua itu tadi karena tidak ingin dianggap lemah. Saya
ingin kamu sadar bahwa pertempuran itu tidak hanya melawan musuh jasadi. Tidak
hanya dengan pedang dan tombak. Tapi pertempuran itu juga dilakukan untuk
melawan angkara murka yang berasal dari dalam tubuh kita sendiri. Emosi dan amarah
yang berasal dari dalam hati dan pikiran kita itu juga merupakan musuh yang
harus dilawan dalam sebuah pertempuran!”
Yao meringis kesakitan.
Ia menggoyang-goyangkan kepalanya seolah-olah hendak
mencari keseimbangan, menumpu kalibrasi pandangannya yang mengganda akibat
tendangan sekeras godam Fa Mulan barusan.
“Yao, andai saja saya ingin membunuhmu, sedari tadi pedang
Mushu ini sudah menancap di dadamu!” Fa Mulan mengelus-elus gagang pedang Mushu-nya
seperti kebiasaannya. “Tapi tidak saya lakukan karena kamu sebenarnya tengah
bertempur dengan amarahmu sendiri. Bukan dengan saya. Amarahmu itu merucahmu,
Yao. Kalau tidak lekas kamu singkirkan dalam sebuah pertempuran batin, maka
musuh dalam hati dan pikiranmu itu akan membunuhmu!”
Yao terduduk memeluk lutut di tanah.
Ia diam menyimak. Menundukkan kepala dengan hati berkecamuk
malu. Ia memang harus memboko rasionalitas dalam benaknya yang hilang tercuri
oleh musuh muasal diri. Dan ia harus bertempur dengan musuh yang berasal dari
dalam dirinya sendiri itu. Membelasahnya sehingga kabur dari batinnya.
“Cepat ke tenda tabib, Yao. Basuh lukamu dengan obat.
Beristirahatlah setelah diobati. Besok fajar kita pasti bertempur lagi dengan
musuh yang sudah menapaki Tung Shao. Lupakan kejadian barusan. Anggap saja kita
sedang berlatih kungfu!”
Fa Mulan melangkah ke arah tenda Shang Weng untuk
mengontrol keadaan atasannya itu. Lima tindak melangkah ia menoleh ke belakang.
Yao masih terduduk memeluk lutut. Lelaki kekar yang telah ditundukkannya tadi
mengangkat kepala. Mendongak menatap hampa pada langit tak berbintang.
Yao menghela napas panjang.
Samar dilihatnya punggung gadis yang telah mengalahkannya
tadi menirus, lalu menghilang di balik daun tenda setelah mengalihkan pandangan
dari layar lebar langit.
Ia menggigit bibir.
Gadis itu memang tangguh. Ia seperti perempuan jelmaan para
dewa, dirida segala purna yang tidak diradi pada sembarang orang. Kekalahannya
ini bukan birang. Bukan sesuatu yang pantas disesali.
Gadis itu telah menyadarkannya.
Musuhnya memang bukan hanya pasukan pemberontak Han. Bukan
hanya Shan-Yu. Bukan hanya sebentuk musuh-musuh jasadi. Tetapi juga jahiliah
yang bermuasal dari dalam dirinya sendiri.
Diam-diam ia bersyukur memiliki sahabat sekaligus pemimpin
seperti Fa Mulan.
Gadis itu memang prajurit jelmaan Dewata, prajurit garda
langit!