ketika gulita membenderang
dengan sinarnya yang virtual
dan menyajikan sepenggal legenda
seperti lektur berenigma
yang tak terjangkau akalku
Aku menjerit pada malam
elegi ini menyakitkanku
mengiringku dalam labirin tanpa jawab
hingga jasadku hilang dalam belantara ini
Oh, kekasihku yang majas
adakah engkau atau tiada?
Bao Ling
Kekasihku yang Majas
Pertempuran di perbatasan Tung Shao masih berlangsung
sengit. Karena kehabisan dinamit, Fa Mulan terpaksa bergerak taktis dan
manualistik. Gelindingan bongkahan kristal salju yang mengarah cepat dan menurun
ke arah bawah setelah dilontarkan dari arah atas bukit, dijadikan senjata pelumpuh.
Meski sama sekali tidak efektif, namun semuanya dimaksudkan untuk menghalau dan
mengacaukan pergerakan pasukan pemberontak Han.
Tetapi hal itu tidak terlalu banyak membantu. Hanya dapat
menghambat laju musuh untuk satu-dua hari saja. Fa Mulan masih menunggu kiriman
ribuan kuda yang dimintanya dari Ibukota Da-du untuk menerapkan taktik kamuflasenya.
“Shan-Yu sudah bergerak cepat, dan kini maju lima belas mil
dari perbatasan!” te-riak Chien Po gemas. Ia masih menghimpun prajurit-prajurit
bawahannya untuk menggali terus bongkahan-bongkahan salju.
“Hambat mereka saja! Kita masih menunggu Bao Ling yang akan
membawa kuda-kuda itu!”
“Tapi, prajurit kita di garis depan sudah habis! Saya tidak
tahu apakah Yao masih hidup atau tidak, Asisten Fa!”
Hujan salju masih turun di Tung Shao. Fa Mulan merapatkan
baju hangat tebal serupa jubah dari perca kulit rubahnya. Ditangkupinya
kepalanya dengan tudung stola dari bulu binatang serupa. Sementara itu Chien
Po, sahabatnya semasa wamil masih berteriak-teriak panik, memerintah
prajurit-prajurit bawahannya yang tampak kelelahan. Prajurit Madya yang berbadan
raksasa itu turut memikul beberapa bongkahan salju yang berat-berat, mengangkutnya
dengan lori, lalu digelindingkannya dari gigir bukit.
“Yao sudah seharian di perbatasan! Saya khawatir dia….”
“Chien Pao, jangan gegabah!”
“Tapi, saya harus menyelamatkan dia!”
“Shan-Yu sangat berbahaya. Kapten Shang Weng yang
berpengalaman saja belum mampu menandinginya!”
“Tapi….”
Chien Pao membuang gelondongan salju yang tengah
dipikulnya. Ia hendak melangkah, menuruni bukit ke perbatasan Tung Shao,
menyusul Yao di zona tempur depan. Fa Mulan menghentikan langkah prajurit berbadan
raksasa itu. Rasionalitas kalimat yang berdenyar di benaknya sontak
menggerakkan tangannya meraih pundak bidang Yao. Ditahannya langkah prajurit
raksasa itu pada satu titik di tengah hamparan salju.
Prajurit Madya berbadan besar itu berbalik dengan menahan
geram yang menggemeletukkan gerahamnya. Sepasang tangannya masih mengepal
ketika Fa Mulan menarik kerah seragamnya. Ditatapnya nanar sepasang mata bola
yang memicing di hadapannya. Mungkin gadis itu benar. Memang sangat berbahaya
bila ia turun ke bawah bukit, berhadapan langsung dengan Shan-Yu. Apalagi ia
bakal dihadang oleh ratusan ribu pasukan pemberontak Han.
“Kapten Shang Weng tidak bakal terluka parah bila Shan-Yu
bukan pendekar hebat!”
“Yao….”
“Mudah-mudahan dia tidak apa-apa!”
Fa Mulan melepaskan cekalannya. Chien Po mengendur. Mundur
setindak ke belakang. Ia menundukkan kepala, seperti menyesali keputusannya
yang babur.
“Kita tunggu sampai Bao Ling datang membawa bala bantuan!”
Fa Mulan memejamkan mata.
Disesalinya Yao yang turun dari bukit fajar tadi. Prajurit
Madya berbadan kekar itu memang tidak dapat menahan emosi dirinya. Tanpa
sepengetahuannya, bersama beberapa ratus prajurit tangguh, ia turun dari bukit.
Menghadang pergerakan pasukan pemberontak Han. Semalam Fa Mulan memang
bertengkar dengan Yao.
Yao menilai Fa Mulan terlalu lamban bergerak sehingga musuh
dapat kembali menghimpun kekuatan. Ketika mereka masih memiliki banyak persediaan
dinamit, Fa Mulan tidak bertindak tangkas mengejar pasukan pemberontak Han yang
mundur beberapa mil dari perbatasan Tung Shao. Fa Mulan menolak menekan musuh
karena sama sekali belum tahu seberapa besar sebenarnya kekuatan musuh. Shan-Yu
mundur dari perbatasan bukan karena sudah melemah. Mungkin saja itu taktik
untuk menjebak prajurit-prajurit Yuan yang turun bukit mengejar dan menyusul mereka.
Apa-lagi pihak Yuan tidak memiliki data intelijen yang akurat. Data-data
intelijen yang lama bisa saja invalid. Aktualisasi di lapangan memang berbeda
dengan di atas kertas!
Karena inakurasitas data intelijen Yuan itu pulalah
sehingga Shang Weng terluka parah. Sewaktu mereka membombardir pihak musuh
dengan dinamit, beberapa data intelijen menyebutkan kalau Shan-Yu sudah kewalahan
dan mundur dari zona tempur.
Berbekal dari data
itu juga maka Shang Weng turun bukit, bermaksud mengambil alih kembali kantong-kantong
yang pernah diduduki musuh. Tujuannya adalah untuk membebaskan rakyat dari
kekangan musuh, juga agar dusun-dusun yang dulu dikuasai oleh Shan-Yu itu dapat
dijadikan lumbung logistik untuk para prajurit Yuan.
Namun pada kenyataannya, praduga itu meleset. Bahkan tindakan
Shang Weng yang turun bukit nyaris menghilangkan nyawanya sendiri. Di bawah bukit,
pasukan pemberontak Han sama sekali belum mundur. Pasukan pemberontak Han lalu
mengurung Shang Weng dan prajurit-prajuritnya. Mereka akhirnya terjebak di dalam
pertempuran-pertempuran dusun, yang pada akhirnya banyak menelan korban dari
pihak Yuan.
“Yao keras kepala!” sembur Fa Mulan gusar. Dielus-elusnya
kembali gagang Mushu-nya seperti kebiasaannya jika tengah resah.
“Bantuan dari pusat belum datang!” Chien Po turut gusar.
“Itu yang bikin kita mati di sini!”
“Betul! Jenderal Gau Ming terlalu lamban!”
“Jenderal Gau Ming terlalu menganggap remeh sebuah
masalah.”
“Hal yang banyak menghancurkan dinasti-dinasti pendahulu!”
sesal Fa Mulan berkacak pinggang, mengawasi prajurit-prajurit yang masih
mengangkuti bongkahan salju. “Rupanya Kaisar Yuan Ren Zhan tidak belajar dari
pengalaman sejarah!”
“Makanya orang jahat seperti Jenderal Shan-Yu selalu
memanfatkan kesempatan mengail di air keruh!”
“Kalau semua orang memiliki hati sebusuk Jenderal Shan-Yu,
entah apa jadinya dengan dunia ini!”
“Dan seandainya saja semua orang memiliki hati sebaik
Asisten Fa, betapa damainya dunia yang kacau-balau ini!”
Fa Mulan tersenyum mendengar sanjungan Chien Po. Chien Po
merupakan sa-habat yang bersahaja. Meskipun tubuhnya sebesar gajah, tetapi hatinya
lembut seperti salju. Halus seperti sutra. Dalam masa-masa berat pelatihan militer
di Kamp Utara dulu, Chien Po-lah yang paling banyak membantunya. Sumbangsih tenaga
besar Chien Po jugalah yang kerap meringankan beban hukumannya lantaran
dianggap membangkang perintah atasan, diam-diam Chien Po sering membantunya mengangkati
karung-karung pasir ke zona-zona tempur sebagai sanksi hukuman.
Chien Po adalah anak sulung pasangan petani di Yunan. Ia
memasuki ke-hidupan militer sesuai amanat Kaisar Yuan Ren Zhan yang berkuasa di
Dinasti Yuan, yang mengharuskan setiap keluarga mewakilkan seorang laki-laki
untuk menjalani wajib militer. Selain karena mewakili Keluarga Chien menjalani
kewajiban kenegaraan tersebut, ia juga menyimpan dendam lama terhadap Han Chen
Tjing, pemimpin pasukan pemberontak Han.
Menurutnya, Han Chen Tjing merupakan musang berbulu domba.
Ia menghasut rakyat jelata untuk memberontak terhadap Kekaisaran Yuan. Memaparkan
segala kebobrokan pemerintah yang korup dan tiran. Padahal, semua itu merupakan
ambiguitas ambisinya yang terselubung untuk menduduki takhta kekaisaran. Ia
membodohi rakyat miskin di pedesaan. Juga merampas dan merampok tanah serta
harta benda beberapa rakyat jelata melalui kaki-tangannya, Kelompok Topeng
Hitam. Keluarga Chien Po termasuk salah satu korban lelaki ambisius tersebut.
Sawah ayahnya yang hanya sepetak dirampas untuk dijadikan sangu membentuk sebuah
milisi.
Chien Po mendaftarkan dirinya sebagai prajurit di Kamp
Utara tepat bersamaan dengan Fa Mulan, Yao, dan Bao Ling. Karenanya, mereka
bagai pinang yang dibelah empat. Masing-masing bahu membahu menjalani kerasnya
kehidupan di barak militer dalam suka maupun duka, dengan karakter dan kepribadian
yang berbeda-beda.
Di dalam Kamp Utara,
selain Shang Weng, Fa Mulan-lah yang kerap dianggap sebagai pemimpin para prajurit.
Ia mewakili para prajurit menyampaikan gagasan, juga kritikan yang dianggap
merugikan mereka. Selain karena cerdas dan gigih, Fa Mulan juga dianggap jujur
menyikapi suatu masalah. Ia arif menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan
bentrok fisik di antara para prajurit. Ia juga sangat berani mengungkapkan kebobrokan
dan penyimpangan beberapa pejabat militer di Kamp Utara.
Lantaran sikap
kritisnya itulah maka Fa Mulan selalu berselisih paham dengan beberapa atase
militer. Bahkan beberapa kali pula ia berduel dengan Shang Weng karena silang
pendapat. Fa Mulan sama sekali tidak takut dieliminasi dari kemiliteran, atau
menjalani serangkaian hukuman yang tidak ringan karena dianggap indisipliner, membangkang
perintah atasan.
“Kapan bala bantuan itu tiba, Asisten Fa?”
Chien Po bertanya, menggugah lamunan Fa Mulan yang masih
terkesima melihat pasukan musuh serupa sekawanan semut merah, yang merombong masuk
ke perbatasan Tung Shao.
“Seharusnya siang ini!”
“Tapi, saya khawatir Bao Ling yang membawa kawat ke Ibukota
Da-du di hadang di tengah perjalanan oleh jasus pasukan pemberontak Han, Asisten
Fa!” Chien Po mengurai kekhawatirannya. “Kita semua akan mati kalau kawat itu
ternyata belum sampai di Istana Da-du!”
“Bao Ling prajurit tangguh.”
“Tapi….”
“Saya yakin kemampuan Bao Ling. Jangan khawatir. Dia pasti
sudah menyampaikan kawat yang saya tulis itu kepada Jenderal Gau Ming, dan tiba
dengan selamat di sini!”
Bao Ling merupakan prajurit berdeterminasi tinggi.
Pemuda bertubuh jangkung itu memiliki banyak keahlian
sebagai saka diri. Selain berilmu silat tinggi, ia juga cendekia serta memahami
banyak prosa dan epik para sastrawan di Tionggoan. Setahun mengabdi di Kamp Utara,
ia sudah diangkat sebagai kurir penghubung antara Istana Da-du dan militer.
Sudah beberapa kali eksistensi adiwidianya menggagalkan usaha pencurian paket
yang dikirim Istana Da-du untuk pihak militer Yuan di Kamp Utara. Menyelamatkan
data-data penting negara dari hadangan para jasus pasukan pemberontak Han.
Seperti juga ihwal muasal kehadiran prajurit lainnya yang
memenuhi kewajiban kenegaraan, Bao Ling pun menunaikan panggilan moral itu
mewakili keluarganya. Bao Ling merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara.
Dan hanya ia saja satu-satunya laki-laki selain ayahnya di keluarga mahardika
Bao di Ibukota Da-du.
Semula ayah Bao Ling, Bao Nang, menghubungi pihak atase
militer Yuan agar keluarga mereka diberi kompensasi untuk tidak terlibat dalam
kewajiban kenegaraan yang telah diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan.
Alasannya, ia hanya memiliki satu-satunya putra sebagai penerus keturunan
Keluarga Bao. Lagipula, Bao Ling masih berstatus pelajar. Sama sekali tidak
memiliki dasar apa-apa untuk menghadapi perang kecuali puisi dan karya sastra
yang diakrabinya selama ini, padahal diam-diam Bao Ling belajar wushu pada seorang
guru tanpa sepengetahuan ayahnya. Bahkan pengusaha kaya tersebut mencoba menyuap
beberapa atase militer tersebut.
Ketika Bao Ling mengetahui ayahnya menempuh cara kotor
begitu, ia langsung melarikan diri dari Ibukota Da-du, dan bergabung dengan
calon-calon wamil lainnya di Kamp Utara pimpinan Shang Weng. Ia malu terhadap
kelakuan ayahnya yang tidak memiliki jiwa patriotisme pada saat negara sedang
dirundung masalah.
“Saya malu atas tindakan tidak terpuji Ayah itu!” gusar Bao
Ling terhadap ayahnya ketika itu.
“Nyawa kamu lebih penting dibandingkan apapun juga, A
Ling!”
“Tapi nyawa saya menjadi tidak berharga lagi akibat kasus
suap itu, Ayah. Saya malu, Ayah!”
“Mengertilah, A Ling. Semua yang Ayah lakukan demi kebaikan
kamu juga. Ayah tidak mau putra Ayah satu-satunya gugur di medan pertempuran.
Ayah rela kehilangan semua harta-benda asal tidak kehilangan kamu. Tahukah
kamu, betapa berarti dan berharganya kamu bagi Ayah dan Ibu.”
“Saya tidak ingin dianggap anak pengecut, Ayah. Ayah boleh
saja meluputkan saya dari keharusan wamil maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan itu
dengan menyuap beberapa pejabat tinggi militer. Ayah boleh saja menggunakan bahkan
seluruh kekayaan Ayah supaya saya terbebas dari kewajiban negara tersebut.
Tapi, di manakah patriotisme kita sebagai anak bangsa?!”
“Tidak peduli apakah Ayah akan dianggap pengkhianat
sekalipun. Yang penting Ayah tidak kehilangan orang-orang yang Ayah cintai.”
“Tidak ada hal yang lebih mulia dan membanggakan apabila
mati demi negara.”
“Puih! Apa andil negara bagi kita?! Selama ini, pada
kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyatlah yang selau menjadi sapi
perah bagi pemerintah. Tidak ada manifestasi penting negara untuk perbaikan dan
perkembangan nasib rakyat. Selama ini, janji-janji kaisar-kaisar Tionggoan
selalu jauh dari harapan rakyat. Korupsi merajalela di mana-mana. Kolusi mendarah
daging di kalangan Istana. Sekarang, jangankan memikirkan negara yang di ambang
perang, bahkan tidak sedikit di antara pejabat negara kita ini tidak peduli terhadap
nasib bangsa. Tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Mereka terus saja memperkaya
diri mereka sendiri. Jadi, untuk apa lagi kamu bersikeras ingin mematuhi maklumat
wamil itu?!”
“Lalu, apa bedanya Ayah dengan pejabat-pejabat korup itu
kalau Ayah menghalalkan segala cara untuk menyelamatkan dirilari dari tanggung
jawab bela negara?! Bukankah itu egois, Ayah?!”
“Merekalah yang egois A Ling! Mumpung kita masih memiliki
kemampuan finansial, kenapa tidak kita pergunakan saja untuk mengelabui mereka?
Bukankah mereka juga selalu mengelabui rakyat?! Mereka adalah maling yang berteriak
maling!”
“Justru karena itulah saya tidak ingin menjadi seperti
mereka. Apa jadinya negara kita ini kalau semua kader dan komponen bangsa
berlaku apatis, dan selalu ingin menang sendiri. Bukannya saya sok patriotik,
Ayah. Bukan. Saya hanya ingin menjadi seseorang yang berguna. Seseorang yang,
bila tiba saatnya menutup mata untuk selama-lamanya nanti, akan dikenang sebagai
pahlawan. Bukannya sebaliknya. Sebagai penjahat!”
“Oya?! Lantas, apakah sedemikian berharganya sebuah
pengakuan itu sementara kamu hidup tersiksa di medan rana, diperalat dan
dijadikan budak perang oleh para pejabat negara yang licik itu?! Huh, betapa
ironisnya pemikiran suci-mulia yang mengisi benak mudamu itu, A Ling! Kamu
masih terlampau hijau. Dunia politik Istana sarat dengan kepicikan!”
“Justru Ayahlah yang picik. Ayah egois dan hanya mementingkan
diri sendiri!”
“Cukup, A Ling!”
Namun tidak ada kata cukup di hati dan benak Bao Ling. Ia
sudah membulatkan tekad untuk mengikuti maklumat wamil tersebut. Demi harga
diri dan rasa patriotisme terhadap nasib bangsa yang dirundung maharana.
Bao Ling merupakan pemuda yang cerdas. Sayang ia tidak
tahan banting. Kehidupan militer yang keras dan buruknya prasarana kamp nyaris
memaksanya hengkang. Sekian belas tahun hidupnya dibuai kemewahan. Sehingga nestapa
yang menjadi lafaz para prajurit tidak sanggup dijalaninya. Hidupnya yang nyaman
di rumah istananya dahulu selalu menggodanya untuk pulang.
Namun entah dari mana datangnya kesadaran moral itu.
Tiba-tiba ia membatalkan niatnya untuk kembali ke rumah istananya yang teduh di
Ibukota Da-du. Hal itu memang tidak terlepas dari refleksitas presensi patriotik
Fa Mulan yang dicermininya. Ia malu ketika bercermin. Rasanya terlalu kerdil
bila masalah sepele itu membuatnya lari terbirit-birit sebelum bertempur. Ia
tidak ingin dikatakan pengecut!
“Apa jadinya bangsa kita kalau diisi oleh manusia-manusia
berhati dangkal, Bao Ling!”
“Selama ini saya yang salah, Mulan. Ayah ternyata benar.
Pejabat-pejabat negara hanya memperalat kita untuk mencapat tujuan mereka
sendiri. Militer adalah sarana mereka menuju cita-cita inferior mereka.”
“Jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk lepas dari
tanggung jawab. Lagipula, kesimpulanmu tentang pejabat negara yang batil itu
hanyalah oknum. Kamu tidak dapat menyamaratakan semua orang. Masih banyak
pejabat negara yang baik di Tionggoan ini!”
“Mungkin. Tapi saya merasa misi militer ini tidak membawa
manfaat apa-apa kecuali kesengsaraan.”
“Prajurit dan militer Yuan serta rakyat adalah manunggalis.
Di saat rakyat di ambang maharana, maka militer akan tampil sebagai tameng
untuk melindungi rakyat itu sendiri. Militer dan rakyat harus sehati. Militer
berasal dari rakyat juga. Kita ini prajurit yang berasal dari rakyat, bukan?”
“Tapi, saya merasa kita sebagai rakyat kecil hanya
diperalat. Masuk militer menjadi prajurit hanya untuk menjadi jongos
pejabat-pejabat negara.”
“Jongos atau bukan, kalau seseorang memiliki kontribusi
yang besar bagi negara, maka mati sekalipun dia akan tetap dikenang sepanjang
masa. Sebagai pahlawan. Ya, sebagai pahlawan.”
“Hah, sebagai pahlawan?!”
“Ya, sebagai pahlawan. Pahlawan yang memiliki reputasi nama
seharum semerbak bunga. Pahlawan yang akan terus menerus hidup di sanubari
bangsa. Bukankah hal tersebut merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya?
Jauh melebihi jauhar yang ada di muka bumi ini.”
“Kamu mirip saya sewaktu bersikeras mematuhi maklumat wamil
itu. Saya menyampaikan aspirasi yang seperti kamu katakan barusan ketika menentang
Ayah, yang selalu berusaha membujuk saya agar melalaikan kewajiban negara
tersebut. Namun, apa yang telah kita peroleh dari serangkaian pengorbanan yang
telah kita berikan?! Huh, jangankan menjadi pahlawan, jangan-jangan bila kita
meninggal kelak, kita hanya akan menjadi bangkai yang membusuk dipenuhi belatung.”
“Saya tidak menyalahkan pendapatmu, Bao Ling. Tapi rasanya
terlalu picik kalau di saat rakyat membutuhkan kita, kita justru lari karena
tidak mampu meneruskan perjuangan yang semakin berat ini.”
“Jangan membujuk saya untuk tinggal lebih lama di sini,
Mulan. Percuma. Kamu hanya membuang-buang waktu saja. Bagaimanapun, saya sudah
memutuskan untuk meninggalkan tempat ini!”
“Saya tidak berhak melarang kamu. Kalau kamu memang mau
meninggalkan Kamp Utara ini, ya silakan saja. Saya hanya memberi saran dan
pandangan. Saya tidak memiliki legitimasi melarang kamu pergi.”
“Terima kasih.”
“Tapi, cobalah renungi sekali lagi. Rakyat sangat membutuhkan
kita. Siapa lagi yang dapat membela mereka kalau bukan kita? Kamu pikir apa
arwah para leluhur kita akan hidup kembali dan bertempur dengan musuh-musuh
itu?”
“Tapi….”
“Coba enyahkan kecengengan kita itu, Bao Ling. Dulu, saya
juga seperti kamu. Saya sempat dilemahkan oleh naifnya kekerdilan-kekerdilan
hati. Saya bahkan pernah menyesali mengapa harus terlibat di dalam misi kemiliteran
ini. Kenapa harus mematuhi kewajiban kenegaraan itu. Bukankah lebih baik kalau
saya menuruti perintah ibu saya yang menginginkan saya menikah dan bersuami
saja. Bukankah merupakan hal yang menggembirakan kalau memiliki anak-anak yang
lucu dan montok. Bukankah hal itu jauh lebih menyenangkan ketimbang harus terlibat
dalam perang terkutuk ini? Tapi, pada akhirnya saya sadar. Perasaan-perasaan semacam
itu merupakan hal yang sangat manusiawi. Kita tidak boleh larut dalam sentimentil
semacam itu.”
“Ta-tapi saya….”
“Tegarlah, Bao Ling. Inilah masa-masa suram dalam hidup
kita yang mesti dilalui dengan tabah.”
“Tapi, saya hanya orang biasa, Mulan.”
“Saya pun orang biasa, Bao Ling. Saya bukan manusia yang
luar biasa. Pada dasarnya, saya bukan orang yang tahan banting. Saya bukan
gadis bermental baja. Saya juga merasakan betapa beratnya beban kita sebagai
prajurit wamil. Gemblengan-gemblengan keras di Kamp Utara ini, pada mulanya
serasa tak memiliki makna apa-apa selain pembentukan budak perang. Saya juga
sempat beranggapan kalau semua yang kita lakukan di sini merupakan kesia-siaan
belaka. Kenapa?! Karena kita adalah tameng Yuan! Kenapa?! Karena kita adalah
tameng yang notabene merupakan alat perang semata. Tapi, sudahlah. Saya sadar,
saya dan kamu, juga sahabat-sahabat kita hanyalah orang biasa yang, memiliki
banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan sehingga tidak dapat mencerapi makna
sesungguhnya di balik apa yang telah kita lakukan selama ini. Kita tidak pernah
tulus beraltruisme. Kita terlalu egois dan anani, itu masalahnya. Tapi, bukankah
dari kekurangan dan ketidaksempurnaan itu kita dapat belajar supaya kelak menjadi
lebih baik dan sempurna? Bukankah kita dapat memetik hikmah dari kekurangan dan
ketidaksempurnaan tersebut?”
“Tapi….”
“Lepas dari semua itu, saya sadar ada makna hakiki yang
dapat kita peroleh suatu saat. Bukan untuk Yuan, tapi untuk diri kita sendiri.
Tahu tidak, Bao Ling. Setiap saya bercermin, saya selalu ingin melihat ada seraut
wajah orang yang berguna. Bukannya seraut wajah asing yang tidak mampu
menghadapi kenyataan hidup ini. Seraut wajah asing yang lari dari tanggung
jawab. Itulah yang memotivasi saya sehingga sampai sekarang masih bertahan
sebagai prajurit wamil. Nah, sejujurnya saya pun ingin kamu dapat bercermin.
Bercermin untuk melihat seraut wajah yang, su-atu saat kelak dapat menjadi
orang yang berguna bagi nusa dan bangsa! Yah, saya ingin melihat Bao Ling yang
tangguh!”
Ketika itu Bao Ling tersentak.
Tanpa terasa airmatanya menitik. Diresapinya serentetan
kalimat Fa Mulan sebagai sebuah kontemplasi. Sebuah renungan panjang yang pada
akhirnya mengubah dirinya menjadi manusia yang terlahir dengan jiwa baru. Dan
memutuskan untuk tetap meneruskan perjuangan membela Kekaisaran Yuan.
Fa Mulan tersenyum.
Lintas kenangan semasa wamil itu melamur dari benaknya
bersamaan dengan menguncupnya bibirnya sesaat setelah Chien Po bertanya, dan
menggugah semua kisah silam yang sarat dengan kenangan itu.
“Berapa pasukan yang akan dibawa Bao Ling, Asisten Fa?”
“Tidak tahu. Jenderal Gau Ming tidak menyebutkan berapa
ribu prajurit Divisi Kavaleri Danuh yang akan mereka kirim,” jawab Fa Mulan
sembari mengedikkan bahu.
Wajah Chien Po mengerut. “Melihat besarnya jumlah musuh di
bawah sana, saya pesimis kalau prajurit Divisi Kavaleri Danuh yang hanya
segelintir itu dapat mengalahkan mereka, Asisten Fa!”
Fa Mulan membeliak. “Jangan menakar kekuatan dari besarnya
jumlah prajurit!”
“Tapi….”
“Kita harus belajar dari Sun Tzu . Kekuatan itu ada pada
semangat. Bukan pada sejumlah armada perang.”
“Mungkin. Tapi kenyataannya kita memang sudah terdesak
mundur karena tidak memiliki prajurit sebanyak mereka!”
“Prajurit-prajurit itu tidak mesti berupa orang. Orang per
orang, atau manusia….”
“Maksud Asisten Fa?!”
Fa Mulan kembali berkacak pinggang. Keyakinannya untuk
mengalahkan musuh terbit kembali. Dielus-elusnya gagang Mushu, pedang berukir
naga di pinggangnya. Sebenarnya, Mushu bukan pedang istimewa. Hanya pedang
biasa temurun dari para leluhurnya, yang memiliki sugesti kemenangan pada
setiap pertempuran. Selama ini Mushu memang seperti belahan jiwanya. Seolah pusaka
beroh para arwah Fa yang setiap saat melindunginya dari mara bahaya.
“Chien Po, kunci sebuah kemenangan sejati terletak pada
dedikasi dan loyalitas. Bukan pada kemenangan itu sendiri. Kemenangan yang
lazim kita kenal semisal; membunuh musuh-musuh, merebut benteng lawan, atau
mengusai dan menduduki daerah kekuasaan mereka. Bukan itu. Kemenangan itu
sebenarnya fiktif. Untuk sementara mungkin kamu dapat mengalahkan musuh, mengusainya.
Tapi, sampai kapan kamu dapat bertahan? Besok atau lusa, mereka akan datang
dengan segenap kekuatan baru untuk melumpuhkan kamu. Begitu seterusnya.”
“Jadi, maksud Asisten Fa kita harus bertindak bagaimana
untuk dapat mengalahkan pasukan pemberontak Han itu?!”
“Gunakan hati dan pikiran!”
“Gunakan hati dan pikiran?!”
“Ya. Di dalam sebuah pertempuran, musuh itu tidak hanya
berupa pasukan lawan, tapi juga ketakutan-ketakutan yang berasal dari dalam
hati. Juga kecemasan, kekhawatiran, pesimistis, dan masih banyak lagi hal sepele
lainnya.”
“Jadi….”
“Jadi segenting apa pun situasi dan keadaan di medan
pertempuran, kita tetap harus tenang.”
“Ta-tapi, bagaimana saya bisa tenang kalau melihat jumlah
pasukan pemberontak Han yang begitu besar seperti semut merah!”
“Nah, itulah salah satu musuh majasi yang harus kamu
lawan.”
“Tapi….”
“Chien Po, kadang-kadang musuh majasi itu jauh lebih
berbahaya dibandingkan musuh jasadi itu sendiri.”
Chien Po diam menyimak.
Titik-titik salju yang tertiup semilir angin dari puncak
bukit menusuk-nusuk kulit arinya. Kematian yang sudah di ambang napas
menggamangkan hatinya. Tetapi gadis bertubuh ringkih di hadapannya tak sedikit
pun merasa gentar. Ia laksana gergasi yang menghadang musuh tanpa rasa takut.
Patriotismenya memang seteguh karang!
“Seperti juga musuh majasi, prajurit sebagai sebuah
personil pun juga begitu.”
“Maksud Anda….”
“Jangan takut tidak memiliki prajurit! Semua lanskap alam
yang ada di sini dapat menjadi prajurit majasi yang akan melindungi kita dari
maut! Batu, pepohonan, salju, iklim, dan masih banyak lagi faktor alam lainnya.
Semuanya itu menjadi prajurit kita. Dan musuh bagi mereka.”
“Maafkan kelancangan saya, Asisten Fa! Mungkin Anda terlalu
mengada-ada bila mengingat kekuatan musuh yang sebenarnya!”
“Saya tahu, Chien Po! Saya tahu seberapa besar kekuatan
musuh. Saya tahu berapa jumlah pasukan pemberontak Han itu. Jumlah prajurit
kita tidak lebih dari seperempat pasukan mereka. Tapi ingat, musuh yang seperti
saya bilang tadi bukan hanya terdiri dari prajurit majasi dan pasukan jasadi.
Namun, juga problema-problema batin. Ambisi mereka yang menggebu-gebu untuk segera
menaklukkan Ibukota Da-du juga merupakan musuh dalam selimut. Yang tanpa mereka
sadari akan melumpuhkan kekuatan mereka sendiri.”
“Tapi….”
“Sudahlah, Chien Po. Kekompakan kita, serta kesatuan
prajurit kita yang solid ini juga merupakan armada perang yang tangguh untuk
memukul mundur musuh. Yakinlah!”
Chien Po melanjutkan mengangkuti bongkahan-bongkahan salju.
Fa Mulan masih berdiri dengan rupa baur. Ia cemas karena bala bantuan dari
Ibukota Da-du belum pula kunjung tiba. Dari kejauhan, di bawah bukit perbatasan
Tung Shao, dilihatnya noktah-noktah hitam yang menyemut merayapi dinding-dinding
salju. Waktunya hanya dua puluh empat jam. Besok fajar, jika bantuan yang diharapkan
belum juga kunjung tiba, maka hampir dipastikan pihak Yuan akan hancur menjadi
abu!