BLOGKATAHATIKU - Dua tahun
terakhir, industri film lokal Makassar mulai bergairah. Beberapa rumah produksi
daerah telah berhasil membawa hasil produksi mereka ke kancah persaingan
industri perfilman nasional.
Secara
umum, dalam lima tahun terakhir, produksi film Indonesia terus mengalami
peningkatan. Peningkatan jumlah layar lebar menjadi bukti peningkatan jumlah
daya serap penonton, meskipun harga tiket bioskop mengalami kenaikan. Semakin
besar akses untuk ke bioskop, semakin besar probabilitas orang untuk pergi ke
bioskop.
Seiring
hal tersebut, produksi film Indonesia juga terus meningkat. Bagi produser film
Indonesia, faktor penambahan jumlah layar menjadi faktor terbesar dalam
mendorong peningkatan pendapatan, dibandingkan kenaikan harga tiket bioskop.
Bagi bioskop, penambahan jumlah layar pada sebuah film, akan meningkatkan
pendapatan. Film yang ditayangkan akan mengalami penambahan layar, apabila diprediksi
bakal laris dijual.
Berdasarkan
dinamika pertumbuhan pasar film nasional, film produksi lokal daerah juga mulai
bertumbuh. Itu tidak lepas dari dukungan pemerintah untuk memajukan industri
film nasional yang dimulai dari daerah. Pada acara Malam Nominasi Festival Film
Indonesia 2015 di Plaza Indonesia Jakarta, beberapa waktu lalu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menyatakan dukungan terhadap
kemajuan film Indonesia.
Ia
menyampaikan, kini pemerintah sangat mendukung segala aktivitas perfilman.
Menurutnya, ikhtiar memajukan dunia perfilman menjadi tanggung jawab masyarakat
pelaku industri film. Tetapi yang tidak kalah penting adalah pemerintah tidak
boleh lagi hanya duduk di belakang dan menonton. Pemerintah berkomitmen untuk
mendukung semua langkah yang dilakukan.
Untuk
memenuhi kebutuhan sineas lokal, Anies berjanji ingin membantu pengembangan
infrastruktur, supaya bisa muncul karya film Indonesia yang tidak harus
dikerjakan di luar negeri. Selama ini dalam pembuatan film, ada sejumlah proses
yang harus diurus di luar negeri, meskipun isi filmnya menggambarkan kehidupan
dan panorama lokal. Biasanya, ini terjadi pada proses akhir seperti editing,
karena fasilitas yang dibutuhkan di Indonesia masih sangat minim.
Tidak
dapat dipungkiri, tonggak kebangkitan film lokal Makassar ke kancah perfilman
nasional adalah Bombe yang tayang 2014 lalu. Film tersebut diproduksi Paramedia
Pictures Indonesia. Film ini cukup fenomenal, karena ditonton lebih dari 50
ribu orang, meskipun pada saat itu baru tayang di tiga bioskop lokal Makassar,
XXI Mal Panakkukang (MP), XXI Mall Ratu Indah (MaRI), dan XXI Trans Studio Mall
(TSM). Paling tidak, film lokal sudah bisa mendapat hak tayang di bioskop
jaringan 21 Cineplex, dan untuk dapat menggapai itu bukan hal mudah.
Setelah
itu, Paramedia Pictures Indonesia kembali membuat kejutan saat mengeluarkan
film berjudul Sumiati. Film yang diangkat dari legenda rakyat tentang sosok
hantu gentayangan bernama Sumiati ini, sangat sukses untuk sebuah film yang
diproduksi production house (PH) lokal Makassar. Bukan hanya di kota Makassar,
Sumiati bahkan tayang di bioskop milik jaringan 21 Cineplex, yaitu Cinema 21
dan Cinema XXI. Selain itu juga tayang di bioskop berlabel Cinemax, yang sampai
sekarang belum dibuka di Kota Makassar.
Kesuksesa
film Sumiati dapat dilihat pada jumlah penontonnya. Sampai tulisan ini dibuat, sutradaranya
Syahrir Arsyad Dini, mengungkapkan, jumlah penonton sudah mencapai 81 ribu
untuk data nasional. Dari sekian banyak penonton tersebut, Makassar memberikan
kontribusi sangat besar, 57 ribu penonton. “Pada pemutaran perdana, banyak
pecinta film yang kecewa karena kehabisan tiket,” tutur pria yang akrab disapa
Rere.
Melihat
animo dari pecinta film Makassar yang sangat besar, pihak manajamen Panakukang
21 bahkan berani menurunkan film populer Mockingjay, dan menggantinya dengan
Sumiati. Film tersebut berhasil memaksa bioskop tersebut memasang dua layar
agar dapat memenuhi keinginan calon penonton.
Setelah
melihat kesuksesan dua film yang telah dibuatnya, Syahrir berani mengklaim,
kesuksesan sebuah film tidak semata diukur dari aktris dan aktor yang berperan
di dalamnya. Untuk bisa sukses, film lokal tidak mesti menggunakan pelakon dari
ibu kota dengan modal ketenaran nama. Film Bombe dan Sumiati semuanya
menggunakan aktris dan aktor lokal Makassar.
Awal
2016 mendatang, Paramedia Pictures Indonesia kembali akan mengeluarkan film
terbarunya, yang merupakan sekuel dari Bombe, Dumba Dumba. Nuansa lokal masih
menjadi ciri khas film yang memakan waktu syuting sekitar dua bulan ini. Hampir
keseluruhan adegan memakai dialog khas Makassar. Biaya produksi untuk film
Dumba Dumba sebesar Rp 3,5 miliar. Belajar dari pengalaman sebelumnya, ia menargetkan
jumlah penonton untuk Dumba Dumba sebesar 150 ribu orang.
“Untuk
menjadi aktris maupun aktor ternama, warga Makassar tidak perlu lagi ke
Jakarta. Cukup berkarya di Makassar dan memiliki kemauan kuat, pasti bisa
berhasil,” ujar Syarir penuh semangat.
Tayang
Sampai Luar Negeri
Eksistensi
rumah produksi lokal ke kancah persaingan industri film nasional, juga mampu
dibuktikan Qia Film, yang memproduksi film Harim di Tanah Haram. Bukan hanya di
Indonesia, menurut Sutradaranya, Ibnu Agha Iwan, film ini juga akan tayang di
sejumlah bioskop di Malaysia dan Brunei Darussalam. Qia Film merupakan bagian
dari anak perusahaan Abu Tour Group, dengan founder bernama Abu Hamzah.
Ibnu
memaparkan, film Harim di Tanah Haram mengambil lokasi syuting di sejumlah
daerah Sulsel, juga di Jakarta, Maroko, dan Madrid. Sederet nama besar
perfilman nasional pun dilibatkan, di antaranya Irwansyah, Sylvia Fully, dan
Tio Pakusadewo. Untuk sountrack dipercayakan kepada Opick dan Melly Goeslaw.
Pembuatan
film yang diproduksi Qia Film ini, tidak bisa dipandang sebelah mata. Untuk
menyelesaikan proses produksi, pihaknya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 9
miliar. Melalui film pedana produksi mereka, ia berharap dapat sambutan yang
baik dari para pecinta film. Minimal bisa ikut memberikan kontribusi bagi
kemajuan film nasional.
Biaya
produksi yang besar, tentu juga akan mengharapkan target yang juga tidak kalah
besarnya. Ibnu berharap, Harim di Tanah Haram bisa menggaet jumlah penonton
sebanyak lima juta orang selama masa penayangan. Meskipun demikian, apapun
hasil yang didapatkan nanti, tetap diterima dengan lapang dada. Menurut
informasi terakhir, pada penayangan perdana, sebanyak 1.500 tiket telah habis
terjual.
Film
yang tayang perdana 10 Desember tersebut, menyuguhkan cerita berbeda dari drama
religi yang ada selama ini. Film menyuguhkan cerita pertobatan seorang PSK yang
ingin mengubah jalan hidupnya. Meskipun mengisahkan tentang PSK, namun tidak
menampilkan lokasi pelacuran dan hal-hal yang bersifat vulgar.