 |
MASIH
TREN - Konsep hotel yang terjangkau dan nyaman atau lebih dikenal dengan
sebutan “hotel budget”, masih diproyeksi menjadi tren bisnis perhotelan pada
2016 mendatang. Sebelumnya, pada 2014 hotel ini sempat melaju sumringah hingga
awal tahun ini. BLOGKATAHATIKU/IST
|
BLOGKATAHATIKU - Konsep hotel yang
terjangkau dan nyaman atau lebih dikenal dengan sebutan “hotel budget”, masih
diproyeksi menjadi tren bisnis perhotelan pada 2016 mendatang. Sebelumnya, pada
2014 hotel ini sempat melaju sumringah hingga awal tahun ini.
Sayang,
depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi memasuki
Tahun Kambing Kayu dalam mitologi Tiongkok, memukul laju perkembangan hotel
budget. Hal tersebut juga diperparah beleid pelarangan pegawai negeri sipil (PNS)
mengadakan kegiatan di hotel-hotel beberapa waktu lalu.
Kendati
demikian, penurunan yang terbilang signifikan tidak terjadi pada hotel budget.
Pasalnya, konsep hotel dengan tarif terjangkau itu semakin diminati wisatawan
yang menginginkan kecepatan dan kemudahan akses menuju lokasi wisata.
Hal
tersebut diungkapkan President of Indonesia Travel and Tourism Awards (ITTA),
Panca R Sarungu, seusai konferensi pers penganugerahan ITTA kelima, beberapa
waktu lalu di Jakarta.
Menurutnya,
ada sekitar 30 brand hotel “murah” di Indonesia, baik yang berada di bawah
manajemen hotel multinasional maupun lokal. Sebagai contoh, sebut Panca, Grup
Aston meluncurkan Hotel Fave dan Accor dengan Ibis-nya.
“Maraknya
kehadiran hotel budget, berawal dari Hotel Amaris di bawah manajemen Hotel Santika,
sekitar tiga tahun lalu. Hotel berbintang tiga itu menawarkan harga terjangkau
dengan kualitas layanan prima, nyaris setara kelas bintang lima. Sebelumnya, sebagian
besar masyarakat meragukan konsep itu. Akan tetapi, melihat pertumbuhan
pendapatannya makin lama meningkat, hotel budget semakin dilirik pelaku
perhotelan di Tanah Air,” bebernya.
Dalam
ITTA 2015, misalnya, Amaris termasuk calon peraih penghargaan Indonesian
Leading Local Hotel Chain. Beberapa tahun lalu, hotel ini pernah meraih ITTA.
Sementara
itu, Board of Advisor ITTA Singapura, Gunalan, mengungkapkan, di negaranya tren
tersebut sudah terjadi sejak enam hingga delapan tahun lalu. Jumlah hotel murah
sudah lebih 100 dengan 60-70 merek atau manajemen. “Mayoritas pemiliknya adalah
pengusaha lokal. Ada pula yang berada di bawah naungan manajemen hotel
multinasional seperti Accor,” ulasnya.
Dijelaskan,
hotel-hotel tersebut tersebar di dekat bandara, stasiun, dan tempat wisata
ternama seperti China Town dan Little India. Jika dihitung dengan dolar
Singapura, harga yang ditawarkan kurang dari Rp 1 juta hingga maksimal Rp 1
juta. Ini tergolong murah di sana. “Jangan bandingkan pelayanan konsep hotel
ini dengan hotel kelas melati dan bintang dua. Meski murah, layanan mereka
sangat berkelas,” urai Gunalan.
Dipaparkan,
sebagian besar pengunjung hotel budget adalah pelancong atau dikenal dengan “backpacker”.
Akan tetapi, semakin hari kalangan pebisnis asing juga menyukai hotel murah. Menjamurnya
hotel budget, membuat pemerintah Singapura membatasi pembangunan hotel bertarif
murah agar tidak mematikan hotel-hotel berbintang lima dan empat yang sudah ada.
Selama
ini, ceruk bisnis hotel budget sempat menjadi idola pengembang properti setahun
silam. Namun, saat kondisi ekonomi makro melemah, banyak pengembang yang
mengerem laju pembangunan.
“Pengembang
besar mengerem pengembangan hotel budget, namun kami tetap menganggap bisnis
ini prospektif, sebab lebih tahu bagaimana mengoperasikan hotel budget hotel,”
terang Presiden Direktur PT Red Planet Indonesia, Suwito, saat melansir
perkembangan terkini saat mengakuisisi Tune Hotels Indonesia belum lama ini.
Menurut
Suwito, bisnis hotel budget memiliki pertumbuhan paling besar, karena masih
baru di Tanah Air. “Secara keseluruhan, kontribusi hotel budget saat ini hanya
sekitar lima persen,” jelasnya.
Dibanding
hotel berbintang empat atau lima, imbuh Suwito, hotel budget memiliki beberapa
keuntungan, pertama, investasi tidak terlalu besar, yakni sekitar Rp 100 miliar
per hotel termasuk tanah. Lahan yang digunakan pun tak terlalu besar, sekitar
1.000-1.200 meter persegi.
Kedua,
payback time berkisar lima tahun sejak mulai beroperasi, lebih cepat dibandingkan
hotel berbintang empat atau lima. Ketiga, tingkat hunian atau okupansi rata-rata
lebih tinggi, berkisar 80 persen hingga 90 persen. Hal ini dipengaruhi room
rate yang hanya berkisar Rp 200 ribu-Rp 300 ribu per malam.
Kendati
demikian, papar Suwito, lokasi strategis menjadi faktor utama dalam membangun
hotel budget. “Lokasi harus mudah dijangkau dan dekat dengan kawasan komersial,
karena hotel budget tidak menyediakan food and beverage. Selain itu, Jumlah
kamar tidak boleh kurang dari 150 unit, karena di bawah 150 unit kurang
efisien,” tutur Suwito.
Ditambahkan,
kawasan paling prospektif untuk bisnis hotel budget adalah kota-kota yang
sedang menggeliat dengan pembangunan infrastruktur. “Untuk wilayah kawasan
timur Indonesia (KTI), Makassar dan Manado adalah kota-kota potensial
mendirikan hotel budget,” tandasnya.
Hotel
budget yang ramah anggaran masih saja menjadi daya tarik banyak pelaku bisnis
perhotelan di Indonesia. Tak hanya pengembang properti raksasa yang melirik
potensi bisnis hotel budget ini, tetapi juga perusahaan badan usaha milik
negara (BUMN) ikut terpikat menggeluti bisnis sektor wisata ini.
Uniknya,
BUMN yang tertarik di bisnis hotel budget itu bukanlah BUMN yang sudah memiliki
latar belakang bisnis hotel, seperti PT Hotel Indonesia Natour. Malah, yang
melirik bisnis hotel budget ini adalah perusahaan operator bandara, PT Angkasa
Pura I.
Perusahaan
yang mengurus lalu lintas pesawat udara ini berani menggelontorkan investasi Rp
68 miliar guna membangun dua hotel berkonsep sederhana di Bandara Internasional
Juanda, Surabaya dan Sultan Hasanuddin, Makassar.
Lantaran
tak berpengalaman di bisnis hotel, Angkasa Pura I menggalang kerja sama dengan
perusahaan operator hotel, yaitu Accor Asia Pacific Indonesia. Dalam berbisnis
hotel ini, Angkasa Pura mengusung merek hotel, Ibis Budget Angkasa Pura Hotel.
Widodo Warmer,
Direktur Utama PT Angkasa Pura Hotels selaku anak perusahaan bentukan Angkasa
Pura I, bahkan berani mematok target miliki 2.022 unit kamar hotel budget hingga
2016 mendatang. “Setelah membangun di Surabaya dan Makassar, kami juga akan
membangun hotel di bandara-bandara lain,” ujarnya.