Mencari
Karya Tenun ke “Nusa Bunga” Flores
![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
BLOGKATAHATIKU - Bagi pecinta kain,
tenun merupakan salah satu daftar wajib koleksi lantaran terhitung eksklusif
dan tidak “mainstream”. Selain itu, belakangan ini beberapa desainer terkenal
juga mulai melirik kain tenun. Berbanggalah, sebab Indonesia merupakan negeri
yang dianugerahi motif kain tenun yang sangat kaya, terbentang dari Sabang
sampai Merauke.
Menyoal
penghasil kain tenun berkualitas, Flores atau dikenal sebagai “Nusa Bunga”, termasuk
dalam daftar unggulan. Untuk mencari tenun berkualitas, traveler dapat
menyusuri lima desa yang tersebar di pelosok Flores untuk mengagumi kekayaan
motif kain tenunnya.
Adalah
Ende, kota yang lokasinya di wilayah pesisir, persis berada di bagian tengah
Pulau Flores, di antara Labuan Bajo dan Maumere. Kota ini terhitung belum
terlalu ramai, jalan raya masih belum terlalu padat, belum ada mal besar, hanya
satu-dua minimarket dan toko-toko yang menyediakan barang kelontong.
Meskipun
terhitung kota kecil, Ende menyimpan keragaman. Dari depan hotel wisatawan menginap,
yang lokasinya dekat Bandara Hasan Aroeboesman, terhampar pemandangan Gunung
Meja, yang meskipun bukan gunung aktif,
tampak perkasa dan menakjubkan. Legenda gunung itu mengukuhkan karakter
sebagian besar masyarakat Ende yang menjunjung tinggi kemajemukan dan
menghargai sesama.
Delapan
kilometer di sebelah timur Kota Ende, dengan perjalanan sekitar 20 menit
kendaraan bermotor, terdapat sebuah desa atau kelurahan bernama Onelako, Ndona.
Desa ini mendiami wilayah datar yang ditumbuhi banyak pohon kelapa, tanaman
kopi, dan kakao. Tak heran, meski termasuk wilayah pesisir, udaranya masih
terasa sejuk dan asri. Apalagi, di desa ini juga terdapat sumber mata air
Wolowona. Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kota, memungkinkan desa ini
dihuni warga berbagai suku, etnis, dan agama. Kemajemukan menyebabkan motif
kain tenun yang dihasilkan juga lebih kaya dan beragam.
Desa
Onelako merupakan kawasan sentra kelompok tenun ikat tradisional yang masih
mempertahankan penggunaan pewarna alami. Biasanya, traveler disambut dengan
ramah di rumah warga setempat. Kebanyakan, warga memang bekerja sebagai
penenun. Jika sudah bertandang ke salah satu rumah warga, biasanya traveler
juga akan diperlihatkan beberapa helai kain tenun ikat hasil karya mereka yang
sangat indah.
Kain-kain
itu didominasi warna coklat dan merah bata dengan bahan dasar warna hitam.
Warna inilah yang menjadi ciri khas dari Desa Onelako dan Kota Ende pada
umumnya. Ciri khas lainnya, penggunaan hanya satu jenis motif di tengah-tengah
kain.
Selain
khas, kebanyakan kain tenun itu memiliki motif, antara lain jara nggaja (kuda dan gajah),
sinde ular kobra, mata pea, mata rajo, mata ria (daun sukun), dan karara (buah
sukun). Sukun memang identik dengan masyarakat Ende. Bahkan, pendiri negeri
ini, Soekarno, menemukan ide sila-sila Pancasila saat tengah merenung di bawah
pohon sukun yang bercabang lima.
Bertandang
ke Desa Adat Megalitikum
Jika
sudah terlanjur menjejakkan kaki di Ende, jangan sampai melewatkan perjalanan
menuju Desa Wolotopo. Pasalnya, desa ini menyimpan pesona tersendiri, dan merupakan
pengalaman yang luar biasa bagi wisatawan karena dapat menikmati hamparan indah
hasil kolaborasi dari pemandangan tebing berbatu, pepohonan, dan tepian Pantai
Nanganesa.
Beberapa
wisatawan mancanegara biasanya sengaja berjalan kaki menempuh jarak lima
kilometer. Menurut mereka, dengan berjalan kak, tak akan kehilangan sedetik pun
momen yang mempesona di Desa Wolotopo.
Desa
yang merupakan kawasan desa adat megalitikum itu lokasinya di perbukitan,
sehingga untuk sampai ke sana harus melewati jalan setapak yang menanjak.
Sambil menaiki anak tangga, traveler harus menyusuri jalan-jalan sempit di
antara rumah-rumah warga yang padat dan saling berimpitan.
Saat
kaki traveler menyelesaikan pijakan anak tangga terakhir, berarti sampailah di
depan rumah adat Wolotopo. Pemandangan dari lokasi paling atas memang sangat
indah. Di depan, tampak rumah-rumah adat yang menghadap ke altar tempat
dilaksanakan upacara adat dan pemujaan para leluhur. Uniknya, rumah-rumah adat
ini dibangun di pinggir tebing yang terdiri dari tumpukan batu yang tinggi dan
kokoh.
Biasanya
traveler akan disambut ramah beberapa warga, mempersilakan duduk di teras
rumah. Mereka akan menjelaskan apa makna simbol dan ukiran yang ada di rumah
mereka. Salah satunya, ukiran “payudara” yang menempel di dinding luar dekat
pintu. Ternyata, payudara yang kecil melambangkan wanita yang belum menikah,
sementara payudara yang panjang melambangkan wanita yang sudah menikah. Bagi
warga Wolotopo, payudara seorang ibu dianggap sebagai sumber kehidupan dan
lambang kesuburan.
Kondisi
alam yang dominan kering dan menantang di sekitar Desa Wolotopo membentuk masyarakatnya menjadi pribadi yang
sangat gigih dan pantang menyerah. Terbukti, mereka terkenal sebagai penghasil
bengkuang terbesar di wilayah Ende.
Hal
lain yang paling menonjol, desa ini merupakan pusat penghasil tenun ikat. Kekhasan
motif kain tenun di Desa Wolotopo cenderung kecil-kecil dan abstrak. Sementara,
dilihat dari warna, tampaknya kuning emas menjadi kekhasan mereka. Mungkin
karena kepercayaan nenek moyang mereka, suku Lio, yang menganggap kuning emas
melambangkan rezeki.
Jika
masih belum puas menikmati keindahan “Nusa Bunga”, wisatawan dapat melanjutkan
perjalanan menuju daerah lain seperti Desa Bena, Bajawa. Perjalanan darat dari
Ende ke Bajawa, ibu kota Ngada, Flores, memakan waktu sekitar empat jam.
Melewati jalanan berkelok-kelok yang tidak terlalu lebar dengan sisi kiri-kanan
jurang. Desa Bena sendiri tidak terlalu jauh, karena hanya butuh waktu sekitar
setengah jam berkendara dari Bajawa.
Perkampungan
Bena terkesan teduh dan damai lantaran dikelilingi pohon besar. Selain itu, Gunung
Inerie yang menjulang tinggi, kokoh, sekaligus angkuh, seolah mengayomi desa
ini. Di sini, terhampar rumah tradisional yang arsitekturnya tampak seragam dan
berderet rapi saling berhadapan. Deretan rumah di sisi kiri-kanan dipisahkan
sebuah lapangan luas dengan batu-batu megalitikum yang tersusun sederhana. Di
situlah lokasi makam nenek moyang, sekaligus menjadi lokasi upacara adat warga
Desa Bena.
Unik
memang, karena setiap unsur di desa ini sungguh menarik diamati. Misalnya, tanduk
kerbau, taring babi, ukiran, lukisan, dan seluruh ornamen yang terpasang di
rumah-rumah kayu beratapkan ilalang, yang pasti menyiratkan simbol dan nilai
penting tersendiri.
Menenun
merupakan pekerjaan yang lazim dilakukan warga setempat di teras rumah. Sejauh
mata memandang, hanya terlihat hasil kerajinan tenun yang dipajang di teras
rumah. Kain tenun di desa ini motifnya cenderung sederhana, terdapat gambar
rumah adat dan kuda yang berada di tengah garis-garis horizontal. Selain itu,
warnanya juga lebih cerah dan berwarna-warni. Meskipun hanya kain tenun, namun
semua itu telah menggambarkan betapa kayanya budaya Indonesia.