![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Setahun
ini, paling tidak di awal 2014 ini, Indonesia tengah dilanda euforia kehadiran
mobil murah atau yang lebih populer disebut low cost green car (LCGC).
Kebijakan pemerintah tentang mobil murah nasional, menimbulkan pro dan kontra
di dalam masyarakat. Mobil murah tersebut dikhawatirkan akan menambah volume
kemacetan di daerah perkotaan karena infrastruktur jalan yang masih belum
mumpuni, dan belum siap untuk menampung membeludaknya kendaraan yang sudah ada
sebelumnya.
Kebijakan
pemerintah tentang kemudahan mendapatkan mobil murah terus menuai kritik.
Kebijakan itu dianggap keliru dan dikhawatirkan justru akan menyebabkan
persoalan transportasi semakin ruwet, khususnya di kota-kota besar di
Indonesia. Pemerintah pusat semestinya bekerja sama dengan pemerintah daerah
memperkuat infrastruktur transportasi massal, termasuk bis umum dan kereta api.
Sejalan hal tersebut, penggunaan kendaraan pribadi juga harus dibatasi, apalagi
untuk kendaraan yang tidak ramah lingkungan.
Kampanye
mobil murah tidak akan mampu memecahkan masalah transportasi di Indonesia,
justru sebaliknya. Padahal, jika dikaji lebih dalam yang penting bagi rakyat
hak mobilitasnya terpenuhi, bisa bepergian dengan aman dan terjangkau. Sesuai
amanat konstitusi, pemerintah memiliki tugas memberikan layanan publik yang
baik. Termasuk juga di dalamnya, fasilitas dan infrastruktur yang memadai,
aman, nyaman, dan terjangkau.
Beberapa
waktu lalu, pemerintah resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
2013 tentang insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi produksi
mobil ramah lingkungan. Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas di bawah
1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter dapat
dipasarkan tanpa PPnBM.
Terlepas
dari pro dan kontra itu seharusnya pemerintah fokus pada pembangunan
transportasi masal seperti yang sedang digagas beberapa ekonom dan pejabat
teras di beberapa kota besar di Indonesia. Seharusnya, bukan malah membuat
kebijakan baru yang akan menekan laju pembangunan tersebut, di mana kebijakan
yang terlanjur dikeluarkan tersebut terkesan samar, dan melemahkan upaya
menekan angkat kemacetan di daerah perkotaan.
Padahal,
sejak dulu pemerintah selalu menganjurkan kepada masyarakat pengguna kendaraan
untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM), mengingat apa yang
disubsidi negara harus ditekan seminimal mungkin. Seharusnya pemerintah
konsisten dengan kebijakan mobil berbahan bakar nonminyak, di mana program
kendaraan berbahan bakar gas harus lebih dioptimalkan. Selain itu, pemerintah
harus kreatif menciptakan tekonologi otomotif dengan mengembangkan mobil
listrik atau kendaraan bertenaga matahari.
Sayangnya,
kebijakan pemerintah mengeluarkan regulasi terkait mobil murah sama sekali jauh
dari tujuan semula, yakni mengurangi konsumsi BBM. Pemerintah juga terkesan
setengah hati menjalani penghematan BBM bersubsidi tersebut. Mungkinkah ada
yang salah dalam program yang telah dicetuskan sejak lama tersebut?
Yang pasti memang ada yang “salah” dalam konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG)
Pasalnya, kebijakan ini tak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai,
seperti pengadaan stasiun pengisian BBG di Indonesia. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment