![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Barongsai
adalah tarian tradisional asal Tiongkok dengan pemain yang menggunakan kostum
menyerupai singa. Ihwal barongsai merunut pada sejarah ribuan tahun, di mana
catatan pertama tentang tarian ini dapat ditelusuri pada masa Dinasti Ching
yang berkuasa di Tiongkok sekitar abad ketiga sebelum Masehi.
Kesenian
barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) pada tahun 420-589
Masehi. Kala itu pasukan dari Kaisar Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan
pasukan gajah Kaisar Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang
bernama Zhong Que membuat tiruan manekin singa untuk mengusir pasukan Kaisar
Fan tersebut. Ternyata upaya itu berhasil sehingga tarian barongsai akhirnya melegenda
hingga sekarang.
Tarian
Singa terdiri dari dua jenis yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan
berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa
ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi
antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadang
menyerupai seekor hewan aneh dalam mitologi Tiongkok yang kerap disebut
“Kilin”.
Gerakan
antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal
dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring tabuhan gong
dan tambur, maka gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika
karena memiliki empat kaki.
Secara
umum, gerakan utama tarian barongsai sama saja, di mana keduanya melakukan gerakan
menerkam kertas angpau berisi uang yang disebut dengan istilah “Lay See”. Di
atas angpau tersebut biasanya ditempeli sayuran selada air yang melambangkan
hadiah bagi sang Singa. Proses memakan Lay See ini berlangsung sekitar separuh
bagian dari seluruh tarian Singa.
Kesenian
barongsai diperkirakan masuk di Nusantara pada abad ke-17, ketika terjadi
migrasi besar orang Tionghoa dari Tiongkok Selatan. Barongsai di Indonesia
mengalami perkembangan pesat ketika masih terdapat perkumpulan Tiong Hoa Hwe
Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia
hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai.
Perkembangan
barongsai kemudian berhenti pada 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI.
Karena situasi politik yang tidak kondusif pada waktu itu, segala macam bentuk
kebudayaan Tionghoa di Indonesia pada Orde Baru dicekal dan dibungkam. Barongsai
yang merupakan salah satu kebudayaan Tionghoa pun diberangus dan tidak boleh
dimainkan lagi.
Namun
perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah reformasi di 1998,
membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya.
Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dulu,
sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi saat ini
bahkan lebih banyak dimainkan suku non Tionghoa. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment