![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Indonesia
adalah negara yang penuh potensi, namun sangat disayangkan lantaran sebagian besar orang kurang menyadari potensi tersebut. Selain kekayaan alam, penduduk
Indonesia yang berjumlah 248 juta jiwa tersebut merupakan potensi ekonomi yang
besar.
Komposisi
penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk muda hingga 130 juta orang yang
berusia produktif sebagai keluarga muda dengan anak-anak dan remaja, di mana
komposisi penduduk muda itulah yang menjadi penggerak komsumsi sektor ritel.
Pasalnya, penduduk muda inilah yang bakal membelanjakan paling banyak uang
mreka untuk berbagai barang konsumsi seperti makanan, consumer good, pakaian, elektronik,
gadget, dan alat-alat rumah tangga lainnya.
Dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan nilai penghasilan di kelas menengah, maka
Indonesia tergolong sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi lima
besar dunia setelah China, Rusia, India, dan Brasil. Indonesia juga memiliki tingkat
pendapatan domestic bruto (PDB) nomor 16 di dunia, dan karena itulah Indonesia
menjadi serbuan merek-merek global, terutama merek-merek dari negara-negara
maju.
Saat
ini di negara maju mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat lantaran
terjadinya reduksi psikologis yang lazim dialami oleh negara-negara tersebut,
khususnya di Amerika Serikat dan Eropa. Kenapa? Tidak lain karena faktor
keluarga yang diabaikan. Makin banyak orang dewasa tidak berkeluarga dan tidak
memiliki anak, sehingga pertumbuhan penduduk melambat. Alhasil, dampaknya
jumlah penduduk muda jadi sedikit, di mana penduduk “senior” bukan penduduk
yang “konsumtif”. Berbeda dengan penduduk muda yang memang memiliki tingkat
konsumsi besar dan suka mencoba produk-produk baru.
Sebab
itulah, para pengusaha Indonesia harus menjadi “pemain”, menjadi pemenang dan
tuan rumah di Indonesia. Dengan membangun jaringan yang membidik dan fokus
terhadap user muda, diharapkan dapat menghidupkan sendi-sendi bisnis mikro
seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Selain itu, dengan menyasar
segmen ini, para pelaku usaha dapat mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya
manusia (SDM) lokal sehingga juga menghidupkan kreativitas lokal.
Potensi
terhadap segmentasi ini memang sudah ditangkap oleh beberapa pelaku usaha,
terutama di industri telekomunikasi. Telkomsel misalnya, untuk melakukan
penetrasi lebih dalam ke pasar anak muda, pihaknya menambah produk yang khusus
diperuntukkan menggarap pasar tersebut. Produk tersebut di antaranya Telkomsel
Loop dengan sejumlah benefit yang ditawarkan. Sebelumnya, instansi domestik ini
memiliki tiga produk utama yang juga telah berhasil menggaet pelanggan dari
kalangan muda, di antaranya Kartu As, Simpati, dan Kartu Halo. Kartu As sendiri
diperuntukkan bagi user muda yang belum produktif. Adapun Simpati untuk kelas
menengah yang sudah berpenghasilan namun dengan budget yang terbatas untuk
komunikasi, dan terakhir Kartu Halo untuk segmen atas.
Memang,
gambaran tersebut merupakan peta segmentasi anak muda Indonesia masa kini, jika
dilihat dari geliat konsumtivisme mereka. Terlihat jelas bahwa mayoritas
konsumen anak muda di kota urban Indonesia cenderung lebih agresif dan terkesan
gila belanja atau dikenal sebagai “shopaholic”. Dari hasil riset yang dilakukan
oleh sebuah lembaga survei nasional, mereka yang berada dalam segmen ini cukup
besar, di mana jumlahnya berkisar 51,1 persen.
Mereka
juga adalah kaum urban yang simpel praktis, di mana anak muda ini mudah sekali
tergoda melakukan pengeluaran terhadap produk-produk yang menarik
perhatiannya, bahkan untuk barang yang sebetulnya tidak mereka butuhkan. Anak
muda di segmen ini tidak memiliki perencanaan pengeluaran yang baik.
Memang,
membidik segmen “empuk” ini adalah keuntungan bagi para riteler, terutama bagi
yang bergerak di dalam produk anak muda, akan tetapi di satu sisi budaya
konsumtivisme bisa menjadi biang tak sedap untuk membangun ekonomi kerakyatan
yang dicita-citakan di Indonesia. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment