Oleh
Effendy Wongso
Sebagai
jenderal
aku
menogakan titah
bahwa
mutlaklah
bagi
engkau sebagai pemimpin
mendukung
nilai-nilai luhur ini:
kebijaksanaan
ketulusan
kemurahan
hati
keberanian
dan
ketegasan
Sun
Tzu
Refleksi
Seni Rana
![]() |
Foto: Dok KATA HATIKU |
EPILOG
“Pasukan
besar Mongol tidak dapat dikalahkan hanya dengan mengandalkan tekad semata,
Kapten Shang. Banyak faktor yang mesti dipikirkan sebelum bertindak.”
“Lantas,
apakah kita hanya tinggal berdiam diri saja sampai Tionggoan benar-benar jatuh
ke dalam tangan Temujin?!”
“Bukan
begitu. Ingat, emosi yang membahang seperti yang Anda lakukan dulu bukan
merupakan tindakan yang tepat. Anda masih ingat bagaimana dengan nyawa Anda
sendiri yang hampir melayang ketika menyongsong tanpa nalar pasukan pemberontak
Han dulu. Jangan menambah masalah dengan bertindak gegabah. Penyerangan balasan
terhadap kubu Mongolia harus dipikirkan matang-matang. Mundur bukan berarti
kalah.”
“Ibukota
Da-du kritis, Kaisar Yuan Ren Zhan di ambang maut. Entah, apa yang tengah
dilakukan oleh si Birang Shan-Yu itu. Sekarang Bao Ling tengah menjemput beliau
di hutan Hwa. Beberapa pasukan elit kita tengah bersama Bao Ling untuk
menghadang pergerakan kecil pemberontak Han pimpinan Shan-Yu yang tengah
mengejar Kaisar Yuan Ren Zhan.”
“Saya
mafhum. Namun bukan demikian caranya untuk menuntaskan masalah sepelik ini,
Kapten Shan. Tugas Anda sekarang adalah memimpin sembari mengatur strategi
militer di Tung Shao. Saya sendiri akan menyusul Bao Ling ke hutan Hwa.”
“Saya
percaya kamu dapat menuntaskan setiap masalah, Mulan. Tapi saya tidak ingin
kamu menjadi tumbal di garda depan Yuan.”
“Tidak
penting memikirkan pada posisi apa kita berada, Kapten Shang. Tidak penting
dalam posisi, jabatan, dan strata apa kita sekarang. Mempertahankan negara
merupakan kewajiban setiap orang. Bukankah sedari dulu telah saya tegaskan
kepada Anda bahwa, masalah Yuan merupakan tanggung jawab kolektif. Bukan
masalah orang per orang saja.”
“Saya
mengerti. Tapi terjepit di dalam masalah besar begini, saya tidak tahu harus
berbuat apa lagi.”
“Untuk
itulah diperlukan kontemplasi.”
“Apa
itu, Mulan?”
“Meditasi,
itulah salah satu permenungan agar kita dapat berpikir jernih untuk dapat
menyelesaikan masalah sebesar ini.”
“Saya
tidak tahu seberapa besar manfaat meditasi. Hei, bukankah hal itu merupakan
salah satu ajaran Sakyamuni?”
“Sakyamuni
hanya membeberkan jalan. Beliau tidak pernah memaksakan kehendak kepada
sesiapa. Jiwa dan raga kita tergantung pada kehendak kita sendiri. Kitalah yang
menjadi majikan atau tuan atas diri dan pikiran kita sendiri. Kitalah yang
bertanggung jawab atas diri kita masing-masing. Untuk itulah diperlukan
kontemplasi. Tujuannya, agar kita dapat mengambil langkah-langkah tepat
menyiasati masalah. Bukannya mengambil langkah gegabah yang keliru.”
“Kalau
begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang untuk mengantisipasi pergerarakan
pasukan Mongolia?”
“Saya
mengerti, memang sudah sepatutnyalah kita mengambil langkah-langkah penting dan
cepat untuk menghalau pergerakan Mongolia. Jujur saja, sebenarnya pasukan
kavaleri Fo Liong kita sudah dihancurkan di perbatasan Tembok Besar. Jadi,
satu-satunya kekuatan kita sekarang hanya bertumpu di Tung Shao ini. Pasukan
elit Yuan di Ibukota Da-du sendiri sudah menyerah. Saya kira, pasukan kitalah
yang merupakan titik terakhir untuk mengadakan perlawanan sebelum sungguh-sungguh
jatuh ke dalam tangan Temujin.”
“Kalau
begitu, tunggu apalagi? Secepatnya kita harus menyerang sebelum Temujin merebut
Ibukota Da-du.”
Fa
Mulan menghela napas panjang. Sungguh, ia tak paham benar lara yang belum
mereda. Tak henti-hentinya Tionggoan dirundung maharana. Rakyat dan para jelata
jualalah yang akan menjadi korban kebiadaban.
“Kapten
Shang….”
“Maafkan
saya jika terlampau emosional.”
“Anda
tidak salah. Saya mengerti seseorang akan menjadi labil jika didera situasi
sulit seperti ini.”
“Tapi,
saya merasa bersalah. Saya merasa seperti tidak berguna sama sekali.”
“Kesalahan
tidak dapat ditujukan pada satu pundak saja, Kapten Shang. Masuknya pasukan
Mongolia ke Tionggoan tidak dapat dikatakan sebab kelalaian Anda semata. Banyak
faktor penyebab. Di antaranya euforiaritas akibat kemenangan Yuan terhadap
pasukan pemberontak Han di Tung Shao beberapa waktu yang lalu. Jadi, saya
berharap Anda tidak larut dalam penyesalan diri begitu.”
“Seperti
di sini, kalau bukan kamu, entah apa yang akan terjadi. Saya merasa benar-benar
tidak berguna. Kamulah yang berhasil mengalahkan pasukan Han Chen Tjing.”
“Bukan
saya. Tapi kemenangan kita adalah kemenangan kolektifitas. Semua prajurit di
sini turut berandil mengalahkan pasukan pemberontak Han. Jadi, bukan saya
semata.”
Pemuda
itu mengangguk. Sorot bola matanya yang serupa elang masih mematri pada wajah
tegas Fa Mulan. Sesungguhnya kegamangannya kali ini bukan lantaran runtuhnya
Dinasti Yuan, namun lebih daripada semua itu. Ada yang lebih ia takutkan
melebihi marabahaya manapun yang siap merenggut nyawanya sendiri.
Hitungan
bilangan hari, dan bulir padi pada pematang adalah ihwal kematian. Sedemikian
dekatkah gadis itu pada ujung kematian?! Makhluk manakah yang akan yang akan
menghabisi dan menyabut nyawa Bunga Magnolia itu?!
Sekali
lagi ia menggeleng tanpa sadar. Bukankah kematian merupakan awal kehidupan yang
baru?! Bukankah kematian merupakan pengakhiran derita yang seperti tak pernah
ada habisnya?! Lalu, untuk apa ia menyesalinya?!
Apakah
napasnya hanya sependek gelung tabir asap dupa yang bergeletar getas di atas
paidon?! Oh, Dedewa, meski ia bukanlah rani, namun sudilah Engkau turun ke
bumi. Mengangkatnya dari kubangan kematian. Sebab maharana ini sungguh
menyesakkan jiwa.
“Saya
akan segera berangkat ke hutan Hwa untuk membantu Bao Ling menolong Baginda.”
“Mulan….”
“Sudahlah,
Kapten Shang. Anda harus berkonsentrasi di Tung Shao ini. Jangan terlalu
memikirkan saya. Saya akan jaga diri baik-baik.”
“Saya
khawatir Shan-Yu….”
“Percayalah,
Kapten Shang. Kebatilan tidak pernah dapat mengalahkan kebajikan. Saya berjanji
akan kembali dengan selamat. Tentu saja, bersama Kaisar Yuan Ren Zhan.”
“Tapi,
Shan-Yu memiliki ilmu silat yang tinggi. Dia juga licik.”
“Saya,
beserta Bao Ling, yakin dapat mengatasinya. Lagipula, Dewata tentu tidak ingin
membiarkan kebatilan merajalela di Tionggoan ini.”
“Ya,
ya.”
“Sebentar
lagi saya harus ke hutan Hwa. Di sini, Anda harus memperkuat basis tempur. Anda
harus berhati-hati, Kapten Shang. Mongolia bukan musuh sembarangan. Mereka
memiliki kapabilitas tempur yang melebihi pasukan pemberontak Han. Temujin jauh
lebih lihai ketimbang Han Chen Tjing, yang lebih mengandalkan emosional
ketimbang logika dalam sebuah rana. Temujin adalah tokoh tipikal nomadi. Dia
merupakan petarung gurun yang hebat dan ulet. Meski saya tidak gentar terhadap
terhadap kubu lawan yang kuat, namun rasa pesimistis akan kemampuan pasukan
kita tetap saja menghantui saya.”
“Memang.
Saya sendiri sudah pesimistis, Mulan. Ibukota Da-du hanya tinggal menunggu hari
saja jatuh ke dalam tangan Temujin. Keadaaan sudah sangat genting. Perdana
Menteri Shu Yong dan Jenderal Gau Ming sudah tewas. Sementara itu jenderal-jenderal
lain sudah melarikan diri jauhjauh hari sebelum Mongolia menyerang. Sekarang,
harapan Yuan hanya terletak di pundak kita berdua. Lalu, apa yang dapat kita
lakukan dengan sisa pasukan begini?!”
Fa
Mulan menghela napas panjang.
Ya,
apa yang dapat mereka lakukan sekarang?!
Digigitnya
bibir.
Oh,
inikah karma dari kebatilan manusia atas manusia lainnya?!
Sungguh,
inilah beban terberat yang pernah ia emban. Namun selalu ada jalan keluar dari
masalah. Selalu ada sinar terang di balik kegelapan.
Dan
ia percaya, Dewata senantiasa melindunginya! (blogkatahatiku.blogspot.com)
SELESAI