Oleh
Effendy Wongso
Tak
ada derap kuda para pengelana
pada
sunyi gorong-gorong malam
dan
muram labirin batu
untuk
menjelajahi negeri berantah
Maka
bersuaralah para penyeru
dari
deru parau notasi pada jakun
menembusi
tabir lorong cadas
lalu
mengumpul pada suatu tempat
yang
jauh dari riuh
di
mana maharana telah berangus pebijak
dengan
kobar api dan nestapa tanpa gigir
Bao
Ling
Elegi
Kelana
![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
Bicara
dengan gadis itu, ia serasa berhadapan dengan sesosok teguh berpendirian keras.
Masalah gender adalah persoalan yang paling hakiki dalam hidupnya. Fa Mulan
memang idealis. Dan ia bahkan bersedia mati untuk memperjuangkan cita-cita
luhurnya tersebut. Kebenaran seperti bayang yang terpantul dari cermin nurani
sisi hatinya.
“Tidak
ada yang salah, Mulan. Tapi, kalau hal itu sudah menjadi predestinasi, apa yang
harus kamu tuntut lagi?”
“Hei,
Dewata tidak pernah memaklumatkan hakam untuk memilah-milah anak-anak manusia
di dunia ini!”
“Tapi
kenyataannya….”
“Kenyataannya
hal itu dibuat-buat. Jangan menyinggung-nyinggung nama langit untuk mengukuhkan
hakam sebagai pembenaran kalian.”
“Pembenaran
untuk kebaikan itu sahih, Mulan.”
“Tapi
sahih yang kalian putuskan adalah dosa besar bagi kemanusiaan dan peradaban!”
“Kadang-kadang,
ada kalanya cita-cita harus dibarengi dengan pengorbanan. Berkorban di satu
pihak untuk meraih kemenangan di pihak lainnya.”
“Lelucon
yang bagus.”
“Ini
bukan lelucon. Tapi memang begitu adanya. Sesuatu yang luhur dan murni harus
didapatkan dengan segenap pengorbanan. Negara yang makmur tidak dibangun begitu
saja. Banyak nyawa dan darah menjadi pondasi negara yang kuat tersebut. Tembok
Besar, misalnya. Bangunan fenomenal kebanggaan rakyat Tionggoan itu telah
mengorbankan demikian banyak nyawa sebelum dapat menjulang dan menjalar dengan
gagah di Semenanjung Kuning ini. Entah
berapa juta nyawa dikorbankan agar dapat membangun Tembok Besar itu, Mulan. Dan
kamu lihat, pengorbanan itu ternyata tidak sia-sia, bukan? Nah, itulah yang
kerap melandasi pola pikir pejabat-pejabat negara. Kamu tidak dapat menyalahkan
hal tersebut sebagai sesuatu yang naif. Terlebih-lebih lelucon!”
“Saya
tidak sependapat. Akar sejarah yang pengkar, yang dibenarkan secara sahih
turun-temurun oleh kaisar-kaisar terdahulu, akan merajut benang merah masa lalu
yang suram di masa sekarang. Kalau sudah begitu, maka yang terjadi kemudian
adalah maharana yang tak kunjung reda. Di mana-mana ada perang. Perebutan
kekuasaan. Intrik Istana. Apakah hal yang sangat menyengsarakan rakyat itu
dapat dianggap suatu kebenaran?”
“Kalau
hal itu merupakan bagian dari pengorbanan, yang bertujuan demi pengembangan
negara ke arah yang lebih baik, paling tidak demi anak-cucu kita di kemudian
hari, maka saya tidak dapat menyalahkan tindakan anarkisitas itu sebagai sebuah
dosa besar.”
“Huh,
absurditas ambisi pribadi yang menghalalkan segala cara untuk dapat mencapai
tujuan puncak kekuasaan! Sungguh sebuah keputusan yang ironis!”
“Itu
khidmat yang dapat diperoleh dari serangkaian pengorbanan. Baik atau buruk,
merugikan ataupun menguntungkan, semuanya berpulang pada pribadi masing-masing
manusia.”
“Oya?
Jadi, kamu setuju hal itu dijadikan landasan bagi negara kita ini?”
“Sebegitu
pentingkah artikulasi itu bagi kita, Mulan?”
“Berarti
atau tidak, toh kita harus peduli terhadap nasib bangsa ini, bukan?”
“Tentu.
Itulah tujuan kita menjadi prajurit wamil. Tapi, bukan berarti kita harus
mencampuri semua hal. Ada hal-hal lain yang memang tidak memerlukan partisipan
kita.”
“Kenapa
kamu bisa bilang begitu?”
“Masing-masing
individu mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Kaisar adalah
kaisar. Jenderal adalah jenderal. Prajurit adalah prajurit. Petani adalah
petani. Kalau tugas dan tanggung jawab tersebut saling bersilangan, maka fungsi
individu itu akan kacau-balau. Lalu, pada akhirnya negara akan mengalami
instabilitas politik. Negara tidak memiliki tatanan yang kuat karena
masing-masing individu rancu dengan tugas dan tanggung jawab mereka
masing-masing.”
“Rasanya
terlau picik bila kamu menilai aspirasi dan kepedulian kita sebagai rakyat yang
menggugah kepemimpinan seorang kepala negara sebagai sesuatu yang balau.”
“Kenapa?”
“Justru,
saya melihat hal tersebut sebagai tiranisasi yang membelenggu aspirasi rakyat.
Itu pembodohan buat rakyat. Pemilah-milahan dan pengkotak-kotakan individu ke
dalam tugas dan fungsinya masing-masing merupakan politisasi para pengusa
lalim. Rakyat dibiarkan berjalan pada pola yang telah ditentukan. Kaisar tetap
kaisar. Jenderal tetap jenderal. Prajurit tetap prajurit. Petani tetap petani.
Dan kalau sudah terstigma begitu, seorang kaisar akan memenggal kepala seorang
petani yang sesungguhnya berpotensi menjadi kaisar dibandingkan kaisar penguasa
yang diuntungkan stigma tersebut.”
“Politik
Istana itu rumit, Mulan. Bila kita terlampau jauh mencampuri, maka yang terjadi
adalah kekisruhan. Semuanya akan membabur. Bukannya solusi pemecahan suatu
masalah.”
“Ini
presedensi yang salah. Tujuan negara, perang misalnya, adalah semata-mata demi
rakyat. Bukan demi segelintir orang. Bukan hanya untuk kepentingan kalangan
Istana dan kroninya. Pada Kenyataannya, justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Banyak di antara penguasa negeri menggunakan militer dan perang untuk
mempertahankan aset-aset serta kekayaan mereka sendiri. Bahkan untuk merampas
harta-benda dan tanah orang lain.”
“Itu
hanya presensi batil segelintir Sang Penguasa Tionggoan. Tapi sesungguhnya
keputusan negara adalah stempel sahih dan kebenaran, karena kaisar adalah
keturunan Dewata dan Naga dari langit. Mereka adalah totemis. Namun keputusan
itu pada akhirnya membabur bila terlampau direcoki oleh absolutisme rakyat yang
pluralis. Nah, kalau sudah begitu, maka kekisruhan akan menjadi-jadi. Rakyat
akan jadi tiran. Dan pemerintah adalah boneka yang setiap saat dikendalikan
untuk menjalankan misi pluralistis tersebut.”
“Hei,
bukan sebaliknya?! Amanat rakyat tidaklah seinferior sangkamu, Bao Ling.
Absolutisme dan tirani dapat terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang di
dalam roda pemerintahan. Penyelewengan dari asas-asas hakiki langit, bahwa
kaisar adalah keturunan Dewata dan Naga di langit serta analisis totemis itu, justru
membawa kaidah tersebut sangat melenceng jauh dari tatanan moralitas dan
kebenaran itu sendiri.”
“Tapi,
dalam kenyataannya rakyat akan menjadi anarkis dan tiran saat tidak
terpenuhinya keinginan-keinginan mereka yang ambigu. Kerusuhan, penjarahan, dan
banyak hal merusak lainnya lagi ketika mereka menjelma menjadi serigala yang
memangsa kaumnya sendiri.”
“Lalu,
siapa yang salah kalau sudah begitu?! Seharusnya pejabat-pejabat negara
berintrospeksi. Bukannya malah menggunakan kelebihan dan kekuatan mereka, militer
dan bala prajurit, untuk balas memukul, bahkan memusnahkan rakyat tersebut, yang
kelaparan dan tidak puas terhadap kepemimpinan mereka?! Bukankah kesalahan itu
bermuasal dari kalangan Istana?! Apakah bukan karena tindakan tak bermoral
pejabat-pejabat negara yang batil dan korup itu?! Mereka merampok dan mencuri
harta-benda rakyat, Bao Ling! Dan mestikah rakyat yang disalahkan apabila
mereka berbalik membobol gudang-gudang beras, dan mencuri berton-ton beras
negara karena sebutir nasi pun sudah menjadi barang yang langka di negeri ini?!
Apakah salah bila mereka kelapara karena ulah jahat pejabat-pejabat korup itu?!”
“Rasanya
tidak etis membenarkan tindakan anarkis hanya atas nama perut rakyat yang
kelaparan!”
“Terlebih
tidak etis lagi tindakan pejabat-pejabat negara yang batil itu terhadap apa
yang telah mereka lakukan kepada rakyat. Korupsi telah menyebabkan rakyat
merana. Lumbung-lumbung padi habis digerogoti oleh tikus-tikus koruptor itu.
Rakyat semakin miskin.”
“Saya
kira, tak ada satu pun negara yang makmur apabila tengah dirundung maharana.
Itu bagian dari konsekuensi perang.”
“Siapa
bilang tidak begitu?! Perang adalah salah satu bentuk tiran dan absolutisme
babur dari penguasa-penguasa batil sebuah negara. Lalu yang terjadi adalah
kekacauan dan bencana. Rakyat kelaparan. Semuanya terberangus hanya oleh satu
kata. Ambisi!”
“Hahaha….”
“Kenapa
tertawa?”
“Saya
sama sekali tidak menyangka kalau seorang Fa Mulan bisa seidealis begitu.”
“Idealis
atau bukan, yang saya tahu, saya hanya mengungkapkan kenyataan yang saya lihat
dengan mata dan kepala saya sendiri.”
“Tapi,
kamu cerdas, Mulan.”
“Cerdas?
Kamu keliru. Saya tidak cerdas. Seperti yang telah saya katakan tadi, semua hal
itu merupakan kejadian riil dan kasat yang dapat kita saksikan setiap hari.
Jadi apa yang saya ketahui hanyalah mualamat. Semua juga rakyat tahu kalau
kebanyakan pejabat negara itu kotor. Bukankah begitu, Bao Ling?”
“Saya
tidak berani berasumsi dengan mengatakan sependapat.”
“Kenapa?”
“Semuanya
relatif. Hati manusia tidak dapat ditebak. Hitam dan putih sisi hati hanya
dipisahkan oleh segaris tipis nurani. Siapa yang tahu kalau Kaisar Yuan Ren
Zhan yang kita anggap baik dan bijak, sehingga kita rela mengorbankan jiwa dan
raga menjadi prajurit wamil di era kepemimpinan beliau sekarang, suatu saat
kelak, entahlah, dapat lebih kejam ketimbang ayahandanya, mendiang Kaisar Yuan
Ren Xing?”
“Justru
karena itulah diperlukan masukan-masukan dari suara rakyat. Agar kaidah tetap
terjaga, dan Sang Kaisar tidak lari dari norma-norma kebajikan.”
“Nah,
itulah yang sulit, Mulan.”
“Sulit
bagaimana?”
“Kamu
tahu, kenapa rakyat Tionggoan diharuskan menjalani kewajiban militer?”
“Tentu
saja saya tahu.”
“Apa
itu?”
“Untuk
apa kamu tanyakan hal itu?”
“Sebagai
prajurit kita harus memiliki banyak wawasan.”
“Itu
sudah pasti. Tapi, sebagai prajurit pun kita mesti memiliki gagasan. Bukan
hanya wawasan.”
“Gagasan?
Untuk apa?”
“Karena
itulah aspirasi. Itulah suara kita. Suara rakyat.”
“Kalau
begitu, intisari wamil itu untuk apa?”
“Wamil
ada karena ada masalah. Masalahnya adalah, karena Tionggoan terus-menerus
dirongrong oleh pemberontakan-pemberontakan di daerah perbatasan. Militer Yuan
kesulitan menghadapi mereka. Negara di ambang bahaya. Itulah sebabnya Kaisar
Yuan Ren Zhan segera mengeluarkan maklumat agar rakyat Tionggoan harus
mengikuti wamil. Bukankah begitu, Bao Ling?”
“Akar
masalahnya memang di situ. Tapi….”
“Tapi
apa?”
“Tapi
tahukah kamu kalau musuh-musuh yang menyerang di daerah perbatasan itu, di luar
pemberontakan kaum nomad Mongol, juga merupakan rakyat Tionggoan sendiri!”
“Maksudmu,
pasukan pemberontak Han?”
“Siapa
lagi? Bukankan mereka merupakan salah satu suku bangsa Tionggoan juga?”
“Maksudmu,
berarti….”
“Berarti
Kaisar Yuan Ren Zhan ditentang oleh rakyatnya sendiri. Jadi kalau direnungi,
jangankan menjadikan rakyat sebagai parameter pengendali kekuasaan, tapi
mengakui secara aklamasi Sang Penguasa itu sebagai satu-satunya pemimpin
tertinggi mereka saja sangat jauh dari harapan. Lantas, bagaimana mungkin
Kaisar Yuan Ren Zhan dapat menjadi stigma, dan bersatu dengan rakyatnya? Nah,
bukankah hal itu termasuk di dalam absolutisme pluralis rakyat?”
“Kamu
menyalahkan rakyat lagi?”
“Saya
tidak mengatakan begitu.”
“Lalu?”
“Saya
mengatakan bahwa, rakyat pun dapat menjadi serigala. Rakyat tidak selamanya
dapat dianggap suara kebenaran. Saya tidak mendiskreditkan rakyat dalam hal
ini. Tapi kadang-kadang rakyat dapat menjadi tiran, melebihi kaisar yang paling
lalim sekalipun.”
“Kamu
terlalu dangkal menilai rakyat, Bao Ling!”
“Tapi
kenyataannya….”
“Kenyataannya
rakyat tidak begitu. Pasukan pemberontak Han memang merupakan salah satu suku
bangsa di Tionggoan. Mereka sama dengan kita. Tapi, kamu mesti melihat inti
permasalahannya. Belum tentu ketidakpuasan mereka, yang kamu anggap absolutisme
pluralis dan tiran itu, disebabkan oleh ambigu kolektif, sekelompok orang yang
bernama rakyat, untuk menggulung pemerintahan yang sah. Meskipun saya belum
tahu pasal yang sebenarnya, tapi saya kira ada hal-hal lain yang
melatarbelakangi anarkisme mereka itu.”
“Apa
itu, Mulan?”
“Yah,
mungkin saja mereka terpengaruh dan termakan oleh seseorang yang dianggap
figur. Figur yang dapat mengubah falsafah pandang mereka terhadap pemerintahan
yang sudah ada. Nah, setelah terindoktrinasi, mereka akan menyatukan kata
sepakat untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah, meskipun mereka sebenarnya
tidak tahu jelas sosok Sang Penguasa Tionggoan, dan keliru menilai pemimpin
mereka yang sekarang. Bisa pula mereka telah termakan isu, pembodohan yang
dianggap sebuah kebenaran.”
“Boleh
jadi. Tapi apakah semudah itu mengubah pikiran yang sederhana rakyat menjadi
sebuah bentuk anarkisme?”
“Apa
pun dapat terjadi, Bao Ling. Janji dan iming-iming adalah majas yang paling
berbahaya. Majas tersebut dapat membius kesadaran manusia. Yah, itulah salah
satu bentuk kekhilafan makhluk hidup yang bernama manusia.”
“Maksudmu,
mereka dipengaruhi oleh seseorang untuk melakukan pemberontakan?”
“Itu
merupakan satu-satunya alasan yang paling masuk akal.”
“Masuk
akal. Tapi, siapa?”
“Tentu
saja lawan-lawan politik Kaisar Yuan Ren Zhan. Manusia-manusia yang penuh
dengan ambisi majas. Manusia-manusia serigala berbulu domba. Manusia-manusia
yang senantiasa diliputi angkara. Penebar maharana. Biang bencana.”
“Sedari
dulu, puncak kekuasaan dan Kursi Tunggal Sang Naga selalu menjadi obyek
pertumpahan darah. Kaisar demi kaisar akan dijatuhkan secara bergantian. Begitu
seterusnya. Kalau sudah begitu, maka mana ada klemensi dalam lingkungan
Istana?!”
“Dan
kalau begitu seterusnya, bagaimana rakyat Tionggoan dapat hidup tenang?”
“Ah,
saya juga resah, Mulan. Sejarah kelam Tionggoan seolah tak ada habis-habisnya.
Dari masa ke masa, perang dan kezaliman sudah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari negeri ini.”
“Manusia
memang terlalu dangkal menyikapi anugerah yang telah diberikan oleh Dewata di
langit. Alam yang berlimpah-ruah dengan keanekaragaman isinya telah memenuhi
segala kebutuhan manusia. Biji-bijian tumbuh menjadi makanan. Hujan. Air.
Matahari. Semuanya itu adalah karunia mahabesar yang tak dapat diucapkan dengan
kata-kata. Tapi, coba lihat keegoisan manusia. Mereka tidak pernah merasa puas
dengan apa yang telah diberikan alam pada mereka. Tetap saja mereka menjazam
sesamanya. Membunuh. Merampok. Merampas. Memusnahkan.”