Oleh Effendy Wongso
Putri bermata gemintang
biarkan dedewi menari di Langit
dan memainkan sitar bernada emas
hingga membuai engkau ke peraduan
: sungguh,
dunia ini bukan tempat yang indah
untuk memulai mimpi
Bao Ling
Elegi Mimpi
![]() |
BLOGKATAHATIKU/IST |
“Ayah!”
Pangeran Yuan Ren Qing terlonjak dari
lamunannya. Entah sudah berapa lama ia duduk menyendiri dan terpatung di
kursinya sampai suara lembut putrinya itu menyapa dari arah bingkai pintu
balairung pangeran.
“A Xie,” balasnya lemah terhadap gadis
remaja yang melangkah setengah berlari ke arahnya. “Apa yang Ayah pikirkan?”
“Oh, tidak ada apa-apa.”
Putri Yuan Ren Xie kini telah
menggelayut manja di bahu ayahnya. “A Xie tidak percaya. Ayah pasti sedang
banyak masalah. Ayo, ceritakan. Mungkin A Xie bisa kasih solusi.”
Pangeran Yuan Ren Qing tersenyum.
Binar amarah mendadak melenyap saat
menatap keteduhan di mata putri tunggalnya tersebut. Gadis itu merupakan
satu-satunya pelipur lara kala ia tengah dirundung galau. Diciuminya dahi gadis
yang baru menginjak usia enam belas itu dengan penuh kasih sayang sesaat
sebelum sepasang tangan gemulai putrinya tersebut memijiti pundaknya.
“Anak kecil tahu apa masalah
orangtua?” elak Pangeran Yuan Ren Qing, membiarkan dirinya dipijat. “Anak kecil
jangan suka mencampuri urusan orangtua. Anak kecil seharusnya hanya bermain,
bukan?”
“Ah, Ayah! Ayah selalu begitu! Ayah
selalu menganggap A Xie anak kecil!” ujar Putri Yuan Ren Xie dengan mulut
manyun, pura-pura sewot. “Kapan Ayah dapat menganggap A Xie dewasa?!”
Pangeran Yuan Ren Qing tertawa.
“Sedang memikirkan persoalan apa,
Ayah?” cecar Putri Yuan Ren Xie sembari memijit-mijit pundak serta
menumbuk-numbuk lembut punggung ayahnya. “Persoalan Istana, ya?”
Pangeran Yuan Ren Qing berdeham. “Ah,
anak kecil tahu apa soal Istana?”
“Tentu saja A Xie harus tahu,” elak
Putri Yuan Ren Xie lincah. “A Xie putri Ayah, bukan?”
“Iya. Siapa bilang Putri Yuan Ren Xie
bukan anak Ayah?”
“Makanya….”
“Makanya kamu nyinyir ingin tahu, ya?”
Putri Yuan Ren Xie menghentikan pijitannya
seolah memerotes kalimat ayahnya barusan. “Ayah jahat! Ayah suka mempermainkan
A Xie!”
Lelaki tua dengan pelipis yang
ditumbuhi uban tersebut sontak merangkul tubuh putri tunggalnya. Menariknya
kembali berdiri di sisinya setelah gadis itu protes dan pura-pura hendak
beranjak menjauhinya.
“Kamu marah sama Ayah, ya?”
“Habis, Ayah selalu mempermainkan A
Xie!”
“Baik, baik. Ayah janji tidak akan
mempermainkan kamu lagi,” bujuk Pangeran Yuan Ren Qing. “Ayah senantiasa akan
membahagiakan kamu.”
Putri Yuan Ren Xie tersenyum dengan
rupa menang, memeluk ayahnya yang sudah melingkarkan sepasang tangan
dipinggulnya.
“Jadi, Ayah berjanji akan memberikan
dan mengabulkan apa saja yang A Xie minta?”
“Ya. Apa saja,” angguk Pangeran Yuan
Ren Qing, masih menyembulkan senyum. “Apa yang tidak pernah Ayah berikan kepada
kamu?”
“Ah, Ayah pasti bohong!”
“Bohong apa?” tanya Pangeran Yuan Ren
Qing dengan suara separuh tertawa, membelai-belai janggutnya yang sedikit
melingkar di bawah dagunya seperti ekor bekisar. “Sekarang, kamu minta apa?
Bilang saja. Hm, pasti akan Ayah penuhi.”
“Benar, Ayah?!” Putri Yuan Ren Xie
bertanya, antusias dengan dengan mata membola.
Pangeran Yuan Ren Qing mengangguk
keras. “Iya, benar. Untuk kamu, apa saja akan Ayah berikan.”
“Benar Ayah tidak akan bohong?” tanya
Putri Yuan Ren Xie, mencecar. Alisnya bergerak naik-turun. Se-ulas senyum
nakal mengembang di bibirnya.
“Ayah berjanji. Nah, apa yang ingin
kamu minta?”
Putri Yuan Ren Zhan mempererat pelukan
pada bahu ayahnya. Bibirnya dicondongkan, mendekat dan nyaris menyentuh telinga
kiri salah seorang adik kandung Kaisar Yuan Ren Zhan.
“A Xie ingin ke Ibukota Da-du
menyaksikan Festival Barongsai, Ayah,” bisiknya manja.
Pangeran Yuan Ren Qing membeliak.
Senyumnya melamur perlahan. Dipandanginya lamat wajah ayu di hadapannya, buah
hatinya yang paling berharga. Satu-satunya penerus atas seluruh aset dan
pengharapan yang telah dicita-citakannya sejak lama. Tampuk tertinggi
kepemimpinan Tionggoan akan berada di tangannya, dan segala penerus yang
berasal dari darah-dagingnya sendiri!
“Tapi, tidak aman berada di Ibukota
Da-du pada saat-saat seperti ini, A Xie!” tolaknya lembut. “Di sini kamu
tenang….”
“Tapi Ayah sudah berjanji!” protes
Putri Yuan Ren Qing, turun dari pangkuan ayahnya. “Ayah tidak boleh mengingkari
janji Ayah tadi!”
“A Xie….”
Putri Yuan Ren Xie mengentakkan
kakinya. “Ayah bohong!”
“Bukan begitu….”
“Bukan begitu bagaimana?! A Xie kecewa
sama Ayah!”
Pangeran Yuan Ren Qing masih berusaha
membujuk. Dicobanya menggapai pergelangan pipih Putri Yuan Ren Xie, namun gadis
itu mengentak keras tangannya kala telapak tangan tua itu telah menggenggam
jemarinya. Dihindarinya cekalan tangan Pangeran Yuan Ren Qing dengan melangkah
mundur sedepa sehingga lelaki tua itu hampir tersuruk dari kursinya.
“Ayah melarang kamu ke Ibukota Da-du
semata-mata demi keselamatan kamu, A Xie,” urai Pangeran Yuan Ren Qing setelah
membenarkan duduknya yang sedikit melorot dari ke kursinya. “Bukannya Ayah
mengingkari janji. Bukannya Ayah mengekang hidup kamu.”
“Tapi, Ayah tidak adil!”
“Ayah akan mengabulkan apa saja
permintaan kamu asal jangan permintaanmu untuk menyaksikan Festival Barongsai
di Ibukota Da-du itu.”
“Kenapa?! A Xie bisa jaga diri. A Xie
bukan anak kecil lagi, Ayah!”
“Semua suku bangsa di Tionggoan akan
menghadiri Festival Barongsai tersebut, A Xie. Sangat tidak menutup kemungkinan
akan terjadi kekacauan di sana-sini. Lagipula, pihak musuh, khususnya kaum
pemberontak Han, pasti masih akan terus merongrong Istana. Jadi, sangat tidak
aman bila kamu hadir di sana. Apalagi kamu adalah Putri, bangsawan Yuan yang
dapat dijadikan sasaran empuk penjahat.”
“Jangan mengurai dalih, Ayah!”
“A Xie, tolong dengar Ayah. Sekali ini
saja. Ayah sangat sayang sama kamu. Ayah tidak membatasi kebebasanmu. Tapi,
situasi dan kondisi di Ibukota Da-du memang tidak aman, riskan dari bahaya.
Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap saat dapat
terjadi pertempuran. Ayah hanya mengkhawatirkan keselamatan kamu jika tetap
bersikeras berangkat ke Ibukota Da-du.”
“A Xie tidak peduli!” umpat Putri Yuan
Ren Xie, bersikeras dengan keputusannya untuk berangkat ke Ibukota Da-du.
“Pokoknya, A Xie harus pergi!”
“Ayah harap kamu dapat mengerti, A
Xie.”
“A Xie juga berharap Ayah dapat
menepati janji Ayah tadi!”
“A Xie….”
“Ayah jahat! Ayah pembohong!”
“A Xie….”
“Tidak peduli Ayah izinkan atau tidak,
A Xie tetap akan pergi!”
“A Xie!” bentak Pangeran Yuan Ren
Qing, sudah tidak mampu membendung kesabarannya. “Jangan keras kepala!”
Putri Yuan Ren Xie menderaikan airmata
karena kesal dengan ultimatum ayahnya yang tetap bersikeras melarangnya
menyaksikan pesta akbar Festival Barongsai di kawasan Istana, di Ibukota Da-du
beberapa hari lagi. Ia berlari keluar dari balairung tanpa menghiraukan
panggilan ayahnya lagi sesaat setelah menggabruk daun pintu.
Pangeran Yuan Ren Qing menghela napas
panjang. Menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai bentuk keresahannya. Putri
tunggalnya itu memang keras kepala. Mungkin ia sudah salah mendidik selama ini.
Afeksi yang berlebihan darinya semasa kanak-kanak sampai sekarang terhadap
putrinya telah membentuk sosoknya menjadi gadis manja.
(blogkatahatiku.blogspot.com)