himpunan segala angkara dalam nisbi loba
ada jeritan terdengar di langit hitam
melengking membelah karang-karang
maka gemintang tak lagi bercahaya
meredup ditelan gulita malam
Malang meranggas di bumi ini
beberapa penyeru berkuda menyerbu
tapak-tapaknya yang menggagah
derap-derapnya yang meriuh
adalah gergasi kematian
Bao Ling
Anominitas Tanah Babur
Rindu merenda hari
ada bayang baur
pada lukisan wajah ayu
“Rindu merenda hari, ada bayang baur, pada lukisan wajah
ayu. Pendek. Bao Ling, kamu yang menulis puisi alit ini?” Fa Mulan
melambai-lambaikan kertas buram yang tengah digenggamnya.
Bao Ling mendekat. Mengambil kertas di tangan Fa Mulan.
Lalu membacanya dengan dahi mengerut. Fa Mulan masih menanti jawaban. Ia
berkacak pinggang seperti biasa.
“Rindu merenda hari….”
“Ada bayang baur,” timpal Fa Mulan.
“Pada lukisan wajah ayu,” ujar Bao Ling pelan, seolah
sedang mengeja. Ia menggeleng di ujung kalimatnya. “Bukan karya saya.”
“Jadi, puisi ini punya siapa?!”
“Dapat dari mana, Asisten Fa?”
“Di tanah, di depan tenda.”
“Puisi siapa, ya?!”
“Kalau bukan punyamu, lalu punya siapa?”
“Saya juga bingung. Selama ini saya jarang menulis puisi
cinta, Asisten Fa.”
“Lalu….”
“Selain saya, setahu saya tidak ada prajurit yang bisa
menulis puisi. Apa bukan karya Kapten Shang?”
“Tulisan dia tidak begini.”
“Aneh.”
“Mungkin diterbangkan angin hingga sampai kemari.”
“Mungkin. Tapi, kenapa jatuh di depan tenda saya?!”
“Mungkin kebetulan.”
“Mungkin. Tapi kalau membaca maknanya, seperti elegi….”
“Benar. Meresapi karya ini, kita seperti mendengar sebuah
ratapan tentang keresahan batin.”
“Makanya….”
“Puisi alit ini bagus. Selain berkaligrafi indah, makna
yang tersirat di dalam tulisannya juga menyuarakan dramatisasi hati. Pasti
bukan penyair biasa.”
“Saya pikir juga begitu kalau menyimak huruf-hurufnya yang
hidup dan tegas.”
Fa Mulan mengambil kertas bertulis puisi alit itu dari
tangan Bao Ling. Menyimaknya kembali seperti mengamati lektur tanpa tepi. Ia
berjalan tiga langkah dari daun tenda. Mencoba mencari makna yang sebenarnya.
“Hei, lihat. Di sini ada kertas lagi, Asisten Fa. Tertancap
dengan sebilah anak panah di tiang tenda!” Bao Ling spontan berteriak. “Rupanya
sengaja dikirim melalui lesatan anak panah.”
Fa Mulan mendekati Bao Ling yang tengah mencabuti beberapa
lembar kertas di tancapan anak panah pada tiang kanan tendanya. Dibacanya
kertas lembar pertama yang dipentang di telapak tangan Bao Ling.
Angin membawaku kemari
pada padang ilalang
Meski aku harus hilang
dari rimba rani
Fa Mulan mengeja huruf kanji yang ditulis dengan sentuhan
indah. “Angin membawaku kemari. Pada padang ilalang. Meski aku harus hilang….”
Bao Ling menerusi, menamatkan puisi alit yang dibaca oleh
Fa Mulan. “Dari rimba rani.”
“Masih berlantun elegi,” reka Fa Mulan, mengerutkan
keningnya.
Bao Ling mengangguk.
Ia membuka lembaran kertas kedua. Kali ini ia tidak
mendapati kaligrafi puisi. Tetapi sebuah surat biasa semacam manuskrip yang
ditujukan untuk Fa Mulan.
“Surat untuk Asisten Fa,” sahut Bao Ling, menyerahkan
kertas-kertas buram tersebut kepada Fa Mulan yang masih mengernyitkan
keningnya.
“Surat?!”
“Khusus ditulis untuk Anda, Asisten Fa,” jawab Bao Ling.
“Rupanya ada pesan penting yang hendak disampaikan oleh si Pengirim.”
“Siapa?!”
Bao Ling mengerutkan dahinya.
Disibaknya lembaran kertas terakhir yang berada di tangan
Fa Mulan. Dan ia terkesiap dengan pijar tegas yang sedari tadi melelatu dalam
benaknya. Kao Ching. Si Pendekar Danuh!
“Kao Ching!” desis Fa Mulan.
“Pantas….”
“Akurasitas bidikan anak panah ini….”
“Tidak meleset saat ditembakkan, tepat menancap di tiang
kanan bagian atas tenda Anda, Asisten Fa!”
“Luar biasa….”
“Pasti dilesatkan dari jauh. Kurang lebih seperempat mil
dari perbatasan Tembok Besar ini!”
“Pendekar hebat!”
Bao Ling mengangguk mengakuri.
Diedarkannya pandangannya ke depan. Pada hamparan padang
ilalang di bawah Tembok Besar. Jauh di sana, ia melihat lembah-lembah yang
menubir. Hanya seseorang yang memiliki kemampuan luar biasalah yang dapat
melakukan hal menakjubkan. Melesatkan anak panah dari kejauhan yang tak dapat
diterima nalar. Seperti sambaran kilat dari angkasa.
“Si Pendekar Danuh!” Fa Mulan kembali mendesiskan kalimat.
Menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa takjub dan heran dengan talenta danuh
yang dimiliki pemuda peranakan Mongol-Han itu.
“Sejak mula melihat anak panah yang menancap di tiang tadi,
seharusnya saya sudah dapat menduga kalau Si Pengirim surat ini adalah Kao
Ching, Asisten Fa!”
“Tentu. Selain Kao Ching, siapa lagi yang memiliki talenta
danuh sehebat itu?”
“Tapi, saya terlebih tidak menyangka kalau Kao Ching juga
pandai menulis puisi.”
“Bakat terpendam seorang anak dari padang gurun.”
“Ya, itulah realita kebajikan seorang Kao Ching!”
“Dia serupa manusia bijak yang dimaksud Guru Fang Wong
kepada saya semasa kanak-kanak dulu, Bao Ling.”
“Dia memiliki banyak kelebihan. Selain talenta danuh, dia
juga menguasi wushu yang tidak kalah baiknya. Tapi dia tidak pernah
menyombongkan dirinya. Dalam beberapa sayembara, dia tidak pernah ikut sayembara
adu tarung dan prosa. Padahal, dia mahir kungfu dan pandai berpuisi. Dia tidak
kemaruk dengan hadiah sayembara ketangkasan lainnya. Bukankah itu replika air
selaras Taichi Chuan seperti yang pernah Asisten Fa utarakan kepada saya?”
“Betul. Meski Kao Ching berada di pihak musuh, tapi saya
tidak merasa dia sebagai lawan.”
“Saya pun merasakan hal yang sama, Asisten Fa.”
“Surat ini pasti penting.”
“Tentu, Asisten Fa. Sepertinya, ada hal penting yang hendak
dia sampaikan sehingga mengirimnya melalui lesatan anak panah tanpa
sepengetahuan prajurit pengawas binara Tembok Besar.”
Fa Mulan segera membaca surat yang telah dipaparkannya di
telapak tangannya.
Prajurit Fa Mulan,
Maafkan saya karena lalai menyampaikan surat ini secara
santun tindak. Namun terpaksa saya lakukan karena tidak memiliki jalan lain
agar surat ini dapat sampai kepada Anda tanpa diketahui oleh prajurit pengawas
binara Tembok Besar. Saya tidak ingin bertempur dalam kebimbangan ini. Duel
kemarin sudah cukup meresahkan batin saya. Saya merasa bertemu dengan diri saya
sendiri. Bertarung dengannya. Saling menyakiti sehingga masing-masing terluka.
Saya tidak ingin hal itu terulang lagi.
Setelah berduel dengan Anda di bawah binara Tembok Besar,
saya akhirnya menyadari satu hal. Bahwa saya harus menentukan sikap tegas dalam
ambivalensi ini. Saya harus menentukan benar, mana kawan dan mana lawan dalam
konsekuensi apa pun. Dan ketika semuanya telah tercetus dalam hati, maka
rasanya saya terkapar lunglai tanpa jiwa. Kawan adalah lawan saya selama ini.
Dan kawan adalah lawan saya, yang tanpa saya sadari telah menelusup ke setiap
sendi dan urat nadi saya.
Duel kemarin adalah kontemplasi. Denyar subtil melelatu
dalam nurani. Batas itu telah saya sentuh. Menyakitkan memang ketika saya
mendapati diri saya terhimpit dalam dilematisasi ini. Bahwa saya tidak pernah
menganggap Anda dan pihak Yuan sebagai musuh. Justru sebaliknya. Namun alangkah
naifnya kalau menafsir hal itu sebagai skenario. Mungkin itu semua merupakan
aplikasi takdir. Entahlah.
Saya sama sekali tidak mengetahui kalau Anda sebenarnya
adalah Fa Mulan. Sebuah kembang Magnolia milik Tionggoan yang sangat berharga!
Saya ketahui semuanya itu setelah mendengar dari Jenderal Thamu Khan, seorang
panglima perang yang, entah besok atau lusa, akan menyerang negeri Anda. Ia
telah menceritakan semua kedigdayaan Anda memukul pasukan Han. Anda bukan
prajurit sembarangan.
Surat ini hanyalah pencurah lara hati. Mungkin tidak etis.
Tetapi saya tidak memiliki waktu lagi untuk mengungkap semua karena besok atau
lusa, dua negeri akan diberangsang maharana. Mungkin surat ini hanyalah
romantisme baur. Keresahan hati saya yang terpendam selama ini!
Keresahan saya bukan karena bayang kematian yang mengikuti
seorang prajurit seperti roda pedati mengikuti sang kuda. Tetapi saya galau
melihat mawadah yang raib oleh sebuah ambisi bernama takhta. Saya tidak paham
dengan segelintir Penguasa Mulia Mongolia. Mungkin juga puak terpandang di
kalangan Anda. Apakah mereka mesti menumpahkan darah di tanah untuk menduduki
Kursi Tunggal Sang Naga itu?!
Jika benar konspirasi batil yang telah meracuni otak para
rani, maka saya tidak menyesal meninggalkan semua yang telah menyertai saya
sejak lahir. Hutang-hutang jasa saya terhadap Temujin adalah belenggu terbesar
yang telah memasung saya selama ini. Saya sadar, saya tak akan mampu
melunasinya dalam kehidupan ini. Saya tidak ingin melunasi hutang-hutang jasa
itu dengan tumbal darah dalam maharana. Membantai orang-orang tak berdosa.
Saya bersumpah untuk membalasnya pada kehidupan saya yang
akan datang. Tidak pada kehidupan ini. Sebab saya tidak manda melihat tangisan
anak-anak kecil yang kehilangan kasih sayang orangtuanya. Karena saya merupakan
duplikasi dari durja itu. Nestapa yang telah dilahirkan dari rahim maharana.
Saya kehilangan Ayah. Lalu sebuah takdir langit telah menggariskan saya
dipelihara oleh Temujin. Ayah, pahlawan, sekaligus musuh saya sendiri!
Ini ironi!
Langit seolah menghukum saya. Saya dihadapkan pada sebuah
dilema babur. Dua pilihan yang sungguh sulit untuk diputuskan. Namun demi yura,
saya lebih memilih hengkang dari tanah yang telah meniupkan lafaz dalam napas
saya.
Dan menentang sikap apriori Ayah saya sendiri….