USUNG IDEALISME MUSIK LEWAT RESITAL
PIANO
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Edukasi musik klasik yang
ditekuninya sejak masih kecil membawa seorang Ananda Sukarlan mendunia lewat
resital-resital pianonya yang inovatif. Berangkat dari ideliasme dan
kepeduliannya yang demikian besar terhadap budaya dan musik Indonesia, maka
lahirlah Rapsodia Nusantara yang pertama, dan diejawantahkannya dalam konser
piano tunggal di Makassar beberapa waktu lalu.
KATA HATIKU berkesempatan mendapat
wawancara eksklusif di lobi Hotel Horison Makassar saat itu, sebelum pria kelahiran Jakarta, 10 Juni 1968 ini menunjukkan
kepiawaiannya dalam pertunjukan piano tunggalnya pada malam hari.
Boleh Anda ceritakan awal karier
sebagai pianis?
“Sebagai tujuh bersaudara yang lahir
dari ayah TNI, tentu kami, khususnya saya, tidak memiliki latar belakang musik
sama sekali. Kecintaan saya terhadap instrumental piano tergolong tidak
sengaja. Ketika itu, keluarga kami membeli sebuah rumah peninggalan sahabat
orang tua, di mana masih ada beberapa perabot termasuk sebuah piano tua. Nah,
di sanalah saya mulai belajar bermain piano bersama kakak perempuan saya. Setelah
beranjak dewasa, saya memutuskan untuk sekolah musik di Deen Haag, Belanda. Di
sana saya banyak belajar kultur musik yang sesungguhnya. Bahwa musik sebenarnya
bukan pekerjaan sampingan, tetapi musik merupakan sebuah pekerjaan yang dapat
menghasilkan dan menopang hidup kita. Setelah itu, akhirnya saya lebih banyak
berkarier di luar negeri.”
Apakah hal itu yang menyebabkan Anda
lebih memilih berkarier musik di Spanyol?
“Itu memang satu-satunya alasan saya
memilih berkarier musik, bahkan tinggal di Spanyol. Terus terang, iklim
permusikan di luar negeri sangat berbeda jauh dengan di Indonesia. Di sana,
musisi sangat dihargai. Karya-karya mereka dianggap masterpiece, dan diberi
penghargaan yang layak jika berprestasi. Ketika nama saya mulai dikenal di
Spanyol, seorang Ratu Sofia pun dengan antusiasnya, lewat tangan saya, hendak
mempopulerkan lagu-lagu Spanyol. Nah, itu salah satu peran pemerintah Spanyol
memajukan budaya dan seni mereka. Di Indonesia, saya tidak melihat peran itu.
Ketika saya mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) yang berangkat
dari idealisme, secuil pun tidak ada kepedulian dari pemerintah bagi
perkembangan musik klasik di Tanah Air. “
Sebagai pianis internasional,
bagaimana Anda melihat prospek permusikan, khususnya musik klasik di Indonesia?
“Saya masih optimis permusikan di
Indonesia dapat berkembang meskipun belum mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Saya melihat antusiasme beberapa kalangan yang menunjukkan
kepedulian besar terhadap musik klasik atau musik sastra, yang bukan dianggap
hanya sekadar hiburan, tetapi lebih kepada edukasi bagi perkembangan jiwa
anak-anak mereka. Hal itu dapat dilihat dari setiap konser tunggal yang saya
gelar, pasti dipenuhi penikmat musik sastra. Dalam seminar musik yang saya adakan
beberapa waktu lalu, saya lihat sangat antuasias diikuti justru oleh remaja dan
anak-anak yang notabene merupakan cikal-bakal musisi bagus.”
Bagaimana cara Anda mengedukasi
musik sastra di Indonesia, dan apa hasil kontribusi yang lahir dari idealisme YMSI
tersebut?
“Memang dibutuhkan waktu yang lama,
telaten, dan penuh kesabaran untuk mensosialisasikan musik sastra kepada publik
musik di Indonesia. Pasalnya, persepsi terhadap musik itu sendiri sudah sangat
melenceng dari harfiah sebenarnya. Musik dipandang sebagai selingan, sementara
musisi tentu tidak dapat bergantung terhadap musik yang digelutinya lantaran
posisi musik itu sendiri bukan sebagai sumber mata pencarian. Tetapi untuk
sementara, saya hanya dapat melakukan terobosan kecil dulu dengan mendirikan
YSMI, di mana sekolah musik ini diperuntukkan bagi pengembangan jatidiri
musisi, memberi penghargaan atau beasiswa kepada anak-anak yang berprestasi di
bidang musik, serta mengajar bermain musik kepada beberapa anak kurang mampu.
Memang kerja idealisme ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, tetapi bermodal
tekad dan sumbangsih beberapa kerabat yang peduli nasib permusikan yang
memprihatinkan, maka kami berusaha membantu sebisa mungkin untuk itu.”
Bagaimana ihwal Rapsodia Nusantara
yang menjadi tajuk konser Anda di Makassar dan beberapa kota lainnya di Tanah Air beberapa
waktu lalu?
“Rapsodia Nusantara merupakan bentuk
kepedulian saya terhadap budaya dan seni yang ada di Indonesia. Seperti musik,
budaya maupun seni kurang mendapat perhatian pemerintah. Terus terang, dari
sekian banyak komponen di Indonesia yang dapat dibanggakan, selain musik, saya
melihat tinggal kebudayaan dan kesenianlah yang memiliki reputasi untuk dapat
dibanggakan. Politik dan ekonomi mengalami kisruh yang berkepanjangan, dan itu
merupakan interpretasi negatif di mata dunia. Makanya, dalam bidang yang belum
terdistorsi seperti budaya dan seni inilah, Indonesia dapat berbicara lebih
banyak. Saya melihat potensi itu, dan menciptakan resital piano dengan
menggabungkan musik sastra dengan beberapa lagu daerah, termasuk lagu Makassar.”
Boleh tahu lagu daerah Makassar yang
menjadi resital piano dalam konser Rapsodia Nusantara Anda beberapa waktu lalu?
“Anging Mammiri dan Marencong
Rencong. Lagu ini terinspirasi saat saya search lagu-lagu daerah di Google.
Memang sangat disayangkan bahwa dari sekian banyak lagu daerah yang
bagus-bagus, namun publik musik dunia tidak ada yang memainkannya lantaran lagu
daerah tersebut tidak diekspose secara serius oleh pemerintah. Itulah
pentingnya kepedulian pemerintah agar dapat memajukan musik di Indonesia.”
Apa pesan Anda terhadap musisi muda
Tanah Air?
“Menjadi musisi yang baik tidak
semudah membalik telapak tangan. Diperlukan kerja keras dan kesungguhan. Ketika
saya masih bersekolah musik di Belanda, saya meluangkan kurang lebih enam jam
setiap harinya selama tujuh tahun di depan piano. Ini merupakan kunci saya menuju
sukses. Saya kira, anak-anak muda Indonesia memiliki potensi untuk maju.
Apalagi saat ini mereka didukung oleh industri teknologi (IT) musik yang baik.”
(blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment