Oleh Effendy Wongso
![]() |
Foto: Effendy Wongso |
Dahulu kala di Negeri
Tiongkok, hiduplah seorang ibu yang sudah tua. Dia tinggal bersama anak
laki-laki satu-satunya. Kehidupan mereka sangat miskin sehingga hanya menempati
sebuah gubuk tua yang terbuat dari kayu. Dulu, sewaktu masih kuat, si Ibu Tua
itu setiap hari mencari kayu dan ranting-ranting kering dari pepohonan di hutan
untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk memasak maupun untuk memanaskan diri
saat cuaca sangat dingin.
Selain untuk dijadikan
kayu bakar bagi dia dan anaknya, si Ibu Tua itu juga menjualnya di pasar dusun
mereka untuk ditukarkan dengan makanan. Tetapi karena sudah sangat tua dan
sakit-sakitan, si Ibu Tua itu sudah tidak dapat memikul beban kayu atau
ranting-ranting dari pepohonan lagi di pundaknya. Lama kelamaan, dia pun tidak
dapat berjalan lagi. Anak laki-lakinya yang pemalas selalu saja mengeluh dan
memarahi ibunya tersebut, karena sejak sakit-sakitan ibunya tidak dapat lagi
menyediakan kayu bakar lagi di gubuknya tersebut.
Pada suatu hari, si Anak
sudah tidak tahan lagi karena ibunya itu sudah menjadi beban hidupnya. Dia
sudah tidak sanggup memberinya makan karena makanan untuk dirinya sendiri tidak
cukup. Ibunya yang sudah tidak dapat berjalan dan rabun matanya itu, setiap
kali dimarahi oleh putranya, hanya dapat menangis diam-diam, tetapi dia tidak
pernah memperlihatkan airmatanya itu kepada anaknya, apalagi menyimpan dendam
terhadap putra kandungnya tersebut.
Maka berkatalah si Anak
kepada ibunya itu. “Ibu, mulai saat ini saya tidak dapat menghidupi dan memberi
makan kepada Ibu lagi. Ibu tahu, saya sangat miskin sehingga tidak dapat
berbagi makan dengan ibu lagi. Ibu akan saya tinggalkan di hutan.”
Si Ibu Tua yang sudah agak
tuli pendengarannya itu hanya terdiam dan tidak berkata apa-apa lagi ketika si
Anak menggendongnya di belakang punggungnya untuk membawanya ke dalam hutan.
Saat dalam perjalanan jauh ke dalam hutan, setiap langkah si Anak, si Ibu Tua
tua mencabuti daun-daun kering berwarna merah kecoklatan di atas kepalanya.
Setelah berjalan cukup
jauh di hutan yang lebat tersebut, si Anak pun mendudukkan ibunya di tanah.
Dengan tersenyum penuh rasa puas, si Anak pun berkata kepada ibunya, “Nah, Ibu,
sekarang Ibu tidak menjadi beban saya lagi. Saya harap Ibu mengerti dan mau
memaklumi keputusan saya meninggalkan Ibu di dalam hutan ini.”
Si Ibu Tua itu hanya
mengangguk, tidak marah ataupun kelihatan mendendam. Dia hanya berkata, “Anakku
yang baik, jangan khawatirkan keadaan Ibu di sini. Ibu akan baik-baik saja.
Pulanglah segera karena hari akan gelap. Jangan sampai tersesat, ikutilah tanda
daun-daun kering yang berwarna merah kecoklatan, yang telah Ibu taburkan di
tanah sebagai petunjuk jalanmu. Semoga kamu tiba dengan selamat di rumah.”
Mendengar perkataan
ibunya, si Anak tiba-tiba menangis meraung-raung menyesali perbuatannya. Dia
pun kembali menggendong ibunya itu di atas punggungnya dan pulang bersama
kembali ke rumahnya. (blogkatahatiku.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment