Tidak
ada mesin waktu yang dapat membawanya ke alam lain, ke suatu tempat asing yang
sangat jauh sehingga ia dapat terbebas dari neraka ini. Tidak ada lorong waktu
yang dapat mengirim tubuhnya ke dimensi lain, menyeretnya ke serangkaian kisah dari
masa lampau maupun mutakhir sehingga ia dapat terbebas dari rutinitas
kemoterapi yang menyakitkan ini.
“Nadya
Hans Sasongko!”
Lamunannya
tergebah ke langit-langit rumah sakit. Mesin waktu fiktif bentukan imajinasi
dalam benaknya melebur oleh satu panggilan nama. Ia menggigit bibir.
Tidak
ada hamparan padang rumput yang menghijau indah. Tidak ada kembang beraneka
warna dengan semerbaknya yang wangi. Tidak ada pelangi yang dititi oleh tujuh
bidadari yang hendak mandi di bumi. Tidak ada hujan meteor yang indah bak
kembang api. Dan tidak ada seribu kisah indah penawar lara!
Ia
masih duduk tepekur di salah satu bangku panjang ruangan dengan bau formalin
yang menyengat. Lalu-lalang para perawat berseragam putih-putih bagaikan birama
yang mengalun dalam hidupnya. Dua tahun diakrabinya semua itu dalam gundah
batin yang menyiksa. Sangat menyiksa!
Belum
gilirannya. Dan ia mengembuskan napas resah setiap kali mendengar nama lain
dipanggil masuk ke dalam ruangan sempit yang di benaknya seperti krematorium,
dimana kepalanya akan dibakar dengan sinar-sinar laser panas sampai menjadi
debu. Ditunggunya perawat jaga memanggil namanya. Tatiana Primeswara!
Saat
ini ia hanya dapat terpaku. Detak-detak detik yang mengirama di sepasang
gendang telinganya bagaikan litani yang akan mengantarnya sampai ke sebuah
gerbang. Dimensi lain dari Sang Waktu.
Ia
menghela napas panjang.
Ketidakrelaan
tercetus di dalam tangisnya yang sudah tak berairmata. Setiap hari. Setiap
waktu. Sampai datang seorang bocah perempuan, menyadarkannya bahwa dimensi lain
Sang Waktu bukan hal yang perlu ia takuti lagi. Dunia itu penuh warna. Dunia
lain dari dimensi lain Sang Waktu yang selayaknya disambut senyum bak semerbak
wangi bunga. Bukannya tangis dan airmata yang senantiasa mengundang bau kematian!
Waktu
itu, ada rengekan manja di sampingnya. Dilihatnya seorang ibu tengah bermain
dengan putrinya yang baru jalan enam.
“Ma,
Om Dokternya nyuntik lagi, ya?”
“Iya,
Sayang.”
“Nggak
mau, Ma!”
“Harus
mau. Biar Hani cepat sembuh.”
“Tapi….”
“Kalau
sembuh, Hani bisa main di Dufan lagi.”
“Betul
ya, Ma?”
“Betul,
Sayang. Sejak kapan sih Mama pernah bo’ongin Hani?”
“Trus
kalau habis disuntik, apa rambut Hani bisa tumbuh lagi?”
“Tentu,
Sayang. Rambut Hani bisa tumbuh panjang seperti punya Barbie.”
“Hooree…
berarti Hani nggak usah makai topi ini lagi! Berarti Hani bisa sisiran seperti
Barbie!”
Bocah
perempuan itu membuka topi kupluk bergambar Miki Tikus dari kepalanya yang
plontos. Dipeluknya wanita muda itu, menggelayut manja di kakinya yang lampai.
Ia
menggigit bibir. Setiap Senin adalah neraka baginya. Papa tengah anginkan diri di luar ruangan rumah sakit. Seperti kebiasaannya dari waktu ke waktu. Sudah
dua tahun ia menjalani proses yang seperti ritual mingguan ini. Sudah dua tahun
lelaki itu menyertai dan mengawalnya ke tempat serba putih ini. Sudah dua tahun
ia menjalani terapi kemoterapi atas repertum kanker otak dari dokter yang kala
itu dianggapnya kiamat. Sampai pada suatu ketika ia merasa tidak kuat lagi
menanggung derita yang menderanya seperti tanpa henti.
Bocah
itu tersenyum kepadanya. Naturalisasi yang entah datangnya dari mana. Ia muncul
tiba-tiba dalam kepolosan setiap anak. Dibalasnya senyum anak itu dengan
tingkah bocah. Mimik senyum yang sebenarnya dipaksakan sebagai balasan. Ia merasa
berdosa. Ketulusan dari bocah perempuan itu telah ditunaikannya dengan
sandiwara!
Ini
ruang tunggu kamar 5B. Di mana semua pasien tampak lunglai seperti bunga yang
layu. Embusan napas yang terdengar konstan dan satu-satu, seolah berlomba dengan
detak detik dari arah atas tengah bingkai pintu. Jam dinding menggentarkan hati
pasien. Mendegupkan jantung mereka. Sampai kapan buliran-buliran waktu itu akan
berhenti?!
Tidak
ada yang tahu!
Tatiana
menghela napas panjang. Alam seperti telah menghukum mereka, generasi dari para
pendosa yang terbuang dari Taman Eden setelah memakan Buah Terlarang atas
hasutan seekor ular batil!
“Kakak….”
Ia
menoleh ke arah asal suara itu. Bocah yang menyemuminya tadi kini melangkah
setindak ke sampingnya. Sebuah bangku satu setengah meter tidak terlalu jauh
untuk mengajak sepasang kaki kecil itu melangkah.
“Halo,”
sambutnya, mendelik-delikkan matanya seperti boneka mainan.
“Kakak,
siapa ya nama tokoh kartun di dalam gambar baju Kakak ini?”
Ibu
dari bocah perempuan itu tersenyum, mengangguk padanya. Mengawasi anaknya
dengan mawas. Tatiana membalasnya juga dengan satu anggukan pada kepala.
“Oh.
Namanya, Winnie The Pooh.”
“Winnie
The Pooh?”
“He-eh.
Tokoh beruang yang lucu. Eh, nama kamu siapa?”
“Hani.”
“Udah
sekolah Hani?”
“Udah.
Nol Besar.”
“Wah,
pinter.”
“Iya.
Tapi, Hani nggak suka sama temen-temen cowok!”
“Kenapa?”
“Nakal-nakal.
Usil. Suka gangguin Hani.”
“Nakal
bagaimana?”
“Masa
mereka suka ledekin Hani Botak, Kak! Hani kan malu! Hani sedih! Padahal, Hani
kepingin banget punya rambut panjang seperti Barbie!”
Tatiana
terkesiap. Apakah semua ini, nasibnya dan nasib yang dialami oleh bocah perempuan
bernama Hani itu merupakan predestinasi dari langit untuk mereka?!
Ia
menggeleng. Ia sendiri tidak tahu!
***
“Kakak
kok diam, sih?”
“Ah,
nggak kok!”
“Kakak
juga pakai topi?”
Tatiana
mengangguk. “Iya, tapi bukan topi seperti punya Hani. Topi Kak Tatiana ini
lain. Seperti rambut. Namanya wig.”
“Wig?”
“He-eh,”
angguk Tatiana, lalu menggeraikan sebagian rambutnya ke depan. “Ini. Jadi wig
ini adalah rambut palsu.”
“Hah?”
Bocah perempuan itu ternganga. “Kalau begitu, Kakak nggak pernah diledekin
botak, dong?”
“Nggak
pernah. Karena wig ini menutupi kepala Kakak yang gundul.”
“Kalau
begitu, Hani boleh juga dong pakai wig!”
“Boleh.
Tapi, nanti ya kalau Hani sudah besar dan dewasa.”
“Ta-tapi….”
Bocah perempuan itu memberengut. “Hani mau pakai sekarang! Hani nggak mau
tunggu sampai dewasa. Kalau dewasa, kepala Hani yang botak sudah ditumbuhi
rambut. Jadinya percuma!”
Tatiana
mengusap wajah. Ia tercenung mendengar kalimat lugu bocah perempuan itu. Ada
pengharapan dan semangat hidup yang terpancar dari sana, meski sebenarnya Sang
Waktu hanya menyisakan hembusan-hembusan napas yang kian hari memendek bagi
mereka.
Dibukanya
lembaran silam masa lalu dalam ingatannya. Ia seperti tidak pernah lepas dari
prahara. Setelah Mama meninggal dalam sebuah insiden tabrak lari tiga tahun
lalu, satu tahun kemudian setelah kejadian tragis itu, ia kembali dihadapkan
pada kenyataan getir. Kanker in situ pada otaknya yang divonis dokter setelah
beberapa kali terkulai pingsan di kelas, baginya tidak lebih dari kiamat. Dunianya
sudah hancur!
Dari
hari ke hari kankernya menjalar dan mengganas. Lalu serangkaian kemoterapi pun
dijalaninya. Mengorbankan mahkota di kepalanya. Dari menipis, rontok, hingga
plontos sama sekali. Ia pasrah. Tidak ada gairah untuk melanjutkan hidupnya
lagi. Kadang-kadang setelah menguras seluruh airmatanya, ia berpikir untuk
bertindak irasional. Menghabisi nyawanya sendiri!
Namun,
ajal yang diinginkan rupanya belum menjemput. Takdir belum menghendaki ia
berbuat begitu. Berkali-kali ia gagal melakukan niatnya yang babur jika
mengingat betapa hancurnya hati Papa bila putri tunggalnya pun pergi meninggalkannya
untuk selama-lamanya!
Karenanya,
diurungkannya niatnya itu. Dan lebih memilih menjalani sisa hari-harinya dengan
lelaki baik hati yang telah diakrabinya bahkan sejak bayi. Tumbuh bersamanya,
menjalani rangkaian hidup yang terasa sangat menyiksa dan melelahkan.
Ia
berusaha bersikap tabah. Namun tak urung rasa gentar menggerogoti hatinya.
Dimensi lain dari Sang Waktu demikian menakutkannya. Dinantinya ajal menjemput
dengan sejumput ragu. Ia ingin memberontak. Ia ingin terbebas dari kekangan
derita yang sudah hadir dalam kehidupannya sejak kehilangan Mama tiga tahun
yang lalu.
Ia
ingin menghentikan semua itu. Karena ia gamang. Takut terhadap dimensi lain
dari Sang Waktu yang sudah mendekat. Yang akan memendekkan perjalanan usianya.
Entah
kapan.
***
Bocah
perempuan itu terus merengek. Dan ia menangis meraung-raung sampai menyita
perhatian beberapa pasien kanker yang sedang menunggu giliran untuk menjalani
kemoterapi. Serangkaian pengobatan yang kadang-kadang lebih mengerikan dan
menyakitkan ketimbang penyakit kanker itu sendiri.
“Hani,
nggak boleh rewel! Nanti Om Dokternya marah!”
“Tapi,
Hani mau wig seperti punya Kakak, Ma!”
“Iya,
iya. Nanti Mama belikan di mal. Sekarang, Hani diam. Jangan menangis lagi.”
Bocah
perempuan itu terdiam. Ia kembali mendekati gadis ringkih di sampingnya. Naik
ke atas bangku kayu rumah sakit, lalu membelai rambut palsu Tatiana.
“Hani!”
Ibu gadis cilik itu menyergah, berusaha menggebah kelakuan putrinya yang
sporadis. “Jangan ganggu Kakak!”
“Nggak
kok, Ma!” teriaknya, tidak merasa bersalah. “Hani cuma ingin tahu bagusan mana,
rambut palsu atau asli!”
Wanita
itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum dengan rupa subtil, seolah hendak
mengatakan maaf pada Tatiana. Ia tidak tega mencegah perbuatan riang Hani. Maka
dibiarkannya anaknya itu mengucek-ucek rambut palsu Tatiana seperti sedang
mencari kutu rambut.
Tatiana
tersenyum geli.
“Rambut
palsu nggak sebaik rambut asli ya, Kak?”
“Lho,
kenapa?”
“Soalnya,
rambut palsu nggak bisa ketombean. Kalau ketombean kan bisa dikeramas dan
dishampo setiap hari.”
Tatiana
terbahak. Wanita muda ibu dari anak itu juga tertawa. Beberapa pasien
kemoterapi yang pas duduk di belakang mereka turut tertawa.
“Makanya,
Hani nggak takut disuntik sama Om Dokter. Biar cepat sembuh. Kalau sembuh,
rambut Hani kan bisa tumbuh dan panjang seperti punya Barbie!”
“Tapi,
katanya tadi pingin pakai wig kayak Kakak?”
“Nggak
jadi. Mendingan rambut asli aja. Kalau rambut asli, itu berarti Hani udah sehat.
Pokoknya, Hani mau sehat!”
Tatiana
menggigit bibirnya. Kerongkongannya memerih. Sama sekali tidak menyangka kalau
bocah perempuan jalan enam itu dapat setegar itu menjalani hari-harinya yang
tersisa. Ketika Sang Waktu sudah nyaris menghentikan detak-detaknya yang
melambat.
Airmatanya
menitik.
Dimensi
lain Sang Waktu sudah di ambang pintu. Mungkin besok atau lusa, entah, ia sudah
tidak berada di planet biru yang hangat ini lagi. Menjelang hari-hari baru dari
dimensi lain Sang Waktu.
Sependek
apa pun waktunya kini, mesti dijalaninya dengan sebaik-baiknya.