Oleh Effendy Wongso
Ini oleh-oleh terbaik dari
sana!
***
Jennifer van deer Meyde.
Gadis berambut pirang dengan sepasang mata kelerengnya yang biru. Dia
adalah gotik yang sesungguhnya. Sebuah keindahan natural tak berbanding.
“Hei, your hair like Tintin!”
Gadis itu mengacak rambut
saya. Seminggu lalu, gadis bertubuh lampai itu mulai mencecar saya. Dia merupakan
salah seorang panitia pelaksana Festival Kesenian Remaja Internasional di
Brussels. Setelah press conference di Indoor Stadium of Heysel , stadion
sepakbola termegah kebanggaan kesebelasan nasional Belgia, sehari sebelum
pentas festival, dia mulai mengekori saya. Sampai pentas berakhir.
Mengganggu sekali.
“You know that? A Hérge’s comical story.”
Tentu saja ulahnya itu
bikin Erina kesal. Rekan saya, redaktur budaya mading sekolah itu sampai
memasang wajah kecut semasam mangga muda bila bertemu Jennifer. Sedari dulu
dia bilang kepada saya, kalau selama ini tidak suka dengan gadis-gadis Barat.
Mereka terlalu bebas, freedom style. Gayanya suka-suka. Tidak seperti
orang Timur yang masih kaleman.
Tentu saja tidak
sepenuhnya benar. Saya bilang , untuk urusan hati, orang bule lebih fair
ketimbang orang Asia. Mereka tidak pernah mau menutupi unek-unek yang menjadi
ganjalan dalam hati sehingga menjadi penyakit. Makanya orang Barat tampak
awet muda karena tidak menyimpan dendam.
Tapi gadis Batak itu tetap
menolak. Memprotes saya dengan cara berjalan langkah cepat seperti dikejar
genderuwo. Dia masuk ke salah satu toko suvenir di rue du Heuvel Colline,
di salah satu ujung dari bangunan selasar Grand Place Brussels, tanpa
mempedulikan saya lagi.
“What the hell with her?”
Jennifer tersinggung, dan dia mencibir setelah punggung Erina menirus di rimba
manusia dalam toko yang senantiasa sarat pengunjung itu.
“Mungkin lagi haid.” Saya
jawab sekenanya , dalam bahasa Inggris tentu saja. “Biasa, penyakit
perempuan.”
Jennifer mengangguk
mafhum. “Oh, I see.”
“I hope you don’t be
angry.”
“Of course not.”
Dan, astaga!
Gadis itu merangkul lengan
saya di akhir kalimatnya. Saya gelagapan. Tentu bukan karena kebaikan
hatinya yang mau berbesar hati memaafkan Erina. Tapi karena kepalanya yang
sudah menyandar di bahu saya. Dia menggelayut manja. Kibasan rambut
pirangnya yang menyebarkan harum itu menyapu wajah saya.
Ya, Tuhan, tolong saya!
Senja itu, tanpa Erina
yang entah menghilang ke mana, tapi saya yakin dia sudah kembali ke Hotel Ibis
Grand Place, berdua kami menyusuri jalan di Rue des Bouchers, dimana jajaran
restoran makanan laut di daerah Saint Hubert Royal Galleries itu menggugus
menggiurkan. Meneteskan liur kami.
“Kamu pernah cobain mosselen,
Rio?”
“Apa itu?”
“Kerang khas Belgia.”
“Belum pernah.”
“Kita cobain, yuk. Don’t
worry. Aku yang traktir. Kamu kan tamuku.”
Gadis itu menarik tangan
saya setengah menyeret. Dia masuk ke salah satu restoran yang sudah mengaroma
dengan wangi makanan. Perut saya tiba-tiba keroncongan.
“She’s your girlfriend?”
“Just a friend.”
“Don’t be lie.”
Jennifer mendesak saya di
meja makan. Dia ingin tahu soal hubungan saya dengan Erina. Dia mengunyah steak
kerang dengan lahap.
“Aku dan dia satu sekolah.
Kami redaktur mading dan majalah sekolah di Jakarta.”
“Aku sudah tahu. Kamu kan
sudah menceritakannya kemarin.”
“So, what you mind?”
“She’s look very jealous. Pasti
bukan teman biasa kalau dia bersikap antipati begitu kepadaku.”
“Untuk apa aku bohong sih,
Jenny?”
“Yeah, I know. Tapi, dia
kelihatan….”
“Dia memang begitu, Jenny.
Rada reseh. Jangan diambil hati.”
“Tapi, aku tidak enak
hati. Jangan-jangan aku nanti dianggap orang ketiga perusak hubungan
kalian.”
“Oh, my God. You must
believe me, Jenny. How many times….”
“Okay. Don’t be angry,
Rio. Aku kan cuma sekadar bertanya. Kalau memang tidak betul begitu, ya
syukurlah. Berarti aku bisa tenang mengajakmu ‘date’.”
Date?! Hah! Hal itu
merupakan acara perkenalan untuk membina keakraban pertemanan di
lingkungan remaja Barat. Saya sedikit risih dengan kalimat itu. Sebab,
kalau di Indonesia itu merupakan ritual berpacaran, kencan. Tapi saya
akhirnya mengangguk menanggapi.
Nyaris sampai tengah malam
kami menghabiskan waktu di jalan-jalan kota tua Brussels. Menyaksikan bangunan
gotik, gaya arsitektur seni pahat dan lukis pada abad XII sampai dengan XVI
di Eropa, yang menyebar di sepanjang sudut-sudut kota tua ini. Beberapa
saat berhenti di Monumen Mannequin-pis, sebuah patung tembaga berbentuk bocah
lelaki yang sedang ‘pipis’.
“Sejarah patung bocah ini
unik sekali lho, Rio.”
“Oya?”
“Pokoknya unik, deh.”
“Uniknya karena apa?”
Saya memandang patung
bocah lelaki setinggi kurang lebih tiga puluh sentimeter itu, yang sepanjang
hari mengucurkan air mancur dari kemaluannya persis seperti sedang ‘pipis’.
“Begini. Konon, pada waktu
Perang Dunia Pertama, persis di Monumen Mannequin-pis ini pernah dipasangi
bom berkekuatan ledak besar oleh pasukan musuh untuk menghancurkan pusat
Kota Brussels. Saat sumbu bom itu sudah disulut, tiba-tiba ada seorang anak
kecil yang mengencingi sumbu bom tersebut. Akhirnya bom itu tidak jadi
meledak, dan Brussels selamat dari kehancuran. Nah, untuk mengenang jasa
bocah lelaki tidak dikenal itu, penduduk Kota Brussels mendirikan monumen ini.
Namanya, Mannequin-pis atau ‘Bocah yang Sedang Kencing’. Tapi, itu legenda.
Entah benar atau tidaknya, aku tidak mengerti.”
Kami berputar-putar sampai
lelah. Saya pamit setelah jam di pergelangan saya sudah menunjuk angka
sebelas. Dia menolak untuk saya antar ke kediamannya di jantung kota, Avenue
Louise. Saya cegat taksi menuju Hotel Ibis Grand Place setelah melambai pada
gadis berambut pirang itu.
***
Denyut kehidupan di Kota
Brussels masih berdetak. Di balik kaca jendela kamar hotel, dari kejauhan saya
melihat La Boutique Café masih bersinar dengan cahaya penerangannya yang
temaram. Beberapa pasang remaja asyik bercengkerama di mejanya masing-masing,
dengan ditemani lilin-lilin tirus yang menyala seperti kunang-kunang.
“Candle light dinner!”
Saya menoleh kaget. Erina
sudah berdiri di belakang saya. Dia duduk dengan gerak gegas di gigir
ranjang. Saya sentuh saklar lampu di sisi kiri bufet setelah menyeret langkah
dari ambang jendela. Lampu dinding menyala. Wajah Erina masih semuram siang
tadi!
“Sori, saya masuk tanpa
permisi.”
“Ti-tidak apa-apa.”
“Kamu belum tidur? Masih
mikirin….”
Saya duduk di samping
gadis berwajah oval itu. “Siapa?”
Dia menundukkan kepala,
memilin-milin bilah anak rambutnya yang menjuntai di bahu. Belum
menjawabi pertanyaan saya.
“Jenny….”
“Asyik ya punya pacar
bule?”
“Maksudmu….”
“Bisa ber-‘candle light
dinner’ setiap malam. Lalu, dengerin ‘Unchained Melody’ dari piano sang
pianis sambil ngetos sampanye di café. Uh, romantis sekali!”
“Hei, tapi kami hanya….”
“Eit, jangan bilang gadis
berambut emas itu hanya teman.”
“Ta-tapi….”
“Anak-anak juga tahu,
kok!”
Astaga! Ini prasangka yang
belum berdasar sama sekali meski pun kasusnya beralibi. Tentu saja.
Anak-anak cewek adik kelas kami di SMA Regina Pacis yang sepuluh ekor itu
asal ngomong menebar jala gosip.
“Gandengan tangan.
Apalagi?”
“Kamu salah paham….”
“Sepanjang jalan kenangan.
Mengitari Bruparc , Brussels Parc, singgah di Kinepolis nonton film Hollywood,
makan hamburger dan minum es krim di Quick, lalu….”
Saya menyentuh bahu Erina
yang masih menggerimiskan kalimat dari bibirnya.
“Hei, hei. Kami tadi tidak
pernah ke sana. Apalagi nonton!”
“Ke mana juga tidak ada
yang melarang, kok!”
“Tapi, suer! Jenny anaknya
memang gaul….”
“Hanya orang gila saja
yang tidak tahu kalau gadis agresif itu tergila-gila karena kasmaran sama
kamu!”
“Erina Karla Tambunan.
Kamu kenapa, sih?!”
“Salah minum obat!”
Gadis prenjak itu
beranjak. Meninggalkan kamar saya dengan disertai satu debuman keras pada daun
pintu. Saya terlongong tidak mengerti. Gadis itu memang seperti salah minum
obat!
***
Saya sama sekali tidak
pernah menyangka kalau gadis Belgia itu dapat mengutarakan isi hatinya
selancar seluncuran es di Zurich. Ternyata dugaan Erina tepat mengena ke
sasaran.
Mendadak saya teringat
kalimat yang disampaikan Erina malam kemarin.
“Hanya orang gila saja
yang tidak tahu kalau gadis agresif itu tergila-gila karena kasmaran sama
kamu!”
Tapi, tentu saja bukan
perkara gampang kalau saya menanggapi perasaan hatinya yang secepat lesatan
anak panah dari tembakan busur itu. Ini masalah dua kultur yang berbeda!
Juga karena dalam hati dan benak saya sudah ada nama lain.
Seseorang yang selama ini
selalu saya mimpikan!
Tadi pagi gadis bermata
biru itu kembali mengusiki saya. Dia membawa burger dan kentang goreng serta
soda susu dari Quick, kedai hamburger lokal khas Belgia, mirip McDonald’s.
Setelah sarapan pagi hasil bawaannya yang tidak habis kemakan, dia ingin
ngajak jalan ke Basilique Koekelberg, gereja termashyur di Belgia.
Mengabadikan gambar berdua dengan berlatar lanskap agung itu sebagai kenangan
sepanjang masa!
Dan, lagi-lagi saya tidak
kuasa menolaknya. Dia menarik tangan saya seperti kebiasaannya. Setengah
menyeret, memaksa saya masuk ke Golf GTI-nya. Melajukan mobil dengan santai
sampai ke pelataran besar yang dijejali turis dan pedagang suvenir. Masuk
ke dalam gereja yang bernuansa klasik. Setelah puas melihat-lihat, di
pekarangan gereja megah itu, dia berterus terang bilang suka sama saya. Sama
sekali tidak canggung. Justru, saya yang rikuh. Kemekmek seperti orang yang
salah minum obat!
Malam ini, saya
menceritakan semua kejadian tak terduga itu kepada Erina, setelah dua guru
pembimbing dan anak-anak SMA Regina Pacis yang mewakili Indonesia ke event
tahunan itu, mereka membawakan tarian Lenong Betawi, sudah pada tidur
karena kecapekan.
“Nah, apa lagi?” Erina
setengah mencibir. “Dia cantik. Mirip Lindsay Lohan. Tembak saja!”
Tawa saya hendak
menyeruak. Bukan karena kalimat yang dia ucapkan. Tapi karena mimik parasnya
yang menyeringai lucu. Apalagi dia berlipat tangan dengan wajah yang dibuang
berpaling.
“Terima saja.
Hitung-hitung, memperbaiki ‘keturunan’!”
“Astaga, Rin. Siapa juga
yang mau ‘menikah’?”
“Ras unggul. Jenis blaster
biasanya….”
“Hei, memangnya herder
apa?”
“Oh, come on. Jangan
bertingkah pura-pura lagi….”
“Pacar bule, ih tidak
kebayang deh….”
“Apa salahnya?”
“Tidak salah, sih. Tapi,
ini bukan ‘ide’ yang baik….”
“Siapa bilang? Jennifer
van deer Meyde tidak malu-maluin untuk dijadikan oleh-oleh ‘calon menantu’
buat orangtua kamu.”
“Hei, memangnya dia
suvenir khas Brussels yang bisa diboyong seenak hati ke Indonesia?”
Saya terbahak. Gadis itu
manyun. Wajahnya muram seperti biasa. Tapi dia jadi kelihatan manis dengan
mimik muka oval begitu. Unik. Sepasang pipinya yang memerah itu jadi seperti
buah tomat.
“Lagian, dunia entertainment
di negeri kita kan lagi ngetrend wajah-wajah indo-blaster…..”
“Sekarang oriental Korea!”
“Tapi….”
“Aduh, Erina. Kenapa kamu
suka bikin skenario sendiri tentang hubungan asmara fiktif antara Mario
Hertasning dengan Jennifer van deer Meyde itu, sih?”
“Tapi, Jenny suka sama
kamu!”
“Suka bukan berarti cinta.
Tahu tidak, bule memang begitu. Tidak pernah mau menutup-nutupi dan
memendam perasaan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang. Langsung nembak.
Sedari kecil mereka memang sudah terbiasa dengan iklim fair begitu.”
“Seperti cacing kepanasan
begitu kamu bilang Jenny tidak cinta kamu?”
“Mau ular kepanasan juga
kek, gadis bule itu pembawaannya memang begitu. Mau apa lagi? Memangya
harus ditanggapi semua? Hei, aku tidak mau ber-‘poligami’ seratus pacar
bule.”
Saya lihat Erina berusaha
menahan tawanya. Mungkin dia malu karena sejak kehadiran gadis berambut
pirang dengan nama panggilan ‘Jenny’ itu, dia misuh-misuh tiga kali satu
hari, persis seperti anjuran minum obat dari apotik.
“Tapi selama ini….”
“Selama ini saya hanya
menganggap dia teman. Teman baik.”
“Ta-tapi, gandengan
tangan….”
“Bagi bule, jangankan
gandengan tangan, ciuman pun dianggap biasa.”
“Ja-jadi, ka-kalian sudah
saling nge-kiss?!”
“Tentu saja belum. Kamu
pikir bibir saya ini karet penghapus apa, bisa dengan sembarangan
menghapus lipstik orang?”
Gadis dengan sepasang
lentik bagus pada pelupuk matanya itu sudah tidak dapat menahan tawa. Saya
lihat dia sudah terpingkal. Untung malam ini anak-anak ganjen yang berjumlah
sepuluh ekor itu sudah dibuai mimpi. Kalau tidak, pasti mereka akan berulah
lagi dengan sifat latennya. Mengusili hidup orang lain!
“Eh, Rio. Kenapa sih kamu
tidak kepingin punya pacar bule?”
“Tidak mau ya, tidak mau!”
“Memangnya kenapa?”
Saya tidak tahu harus
menjawab apa. Lima detik saya membisu sebelum akhirnya menjawab juga dengan
kalimat sekenanya.
“Karena aku cinta produk
negeri sendiri.”
“Hah, kamu nasionalis
sekali!”
“Iya, dong.”
“Kalau begitu, siapa dong
produk dalam negeri pujaan kamu itu?”
Saya kembali kemekmek. Membatu
atas pertanyaan Erina yang seringan balon udara.
“Nantilah, di Jakarta kamu
akan tahu sendiri.”
“Kenapa tidak sekarang
saja kamu sebut namanya?”
Saya tersipu. Mungkin
bukan waktu yang tepat bila saya ungkapkan perasaan ini padanya. Selain karena
sudah jauh larut malam dan kecapekan, saya juga belum punya keberanian untuk
mengatakan siapa sebenarnya sang idaman hati.
“Oh, come on, Rio. Jangan
rahasia-rahasiaan begitu, dong!”
“Sudahlah, Rin. Nanti di
Jakarta juga kamu akan tahu, kok.”
Gadis itu masih mendesak.
Tapi saya sudah memutuskan untuk tidak mengatakan siapa si Dia itu.
Karena segalanya pasti
tidak akan terduga.
***
Grotte Markt di pusat kota
tua Brussels masih tampak anggun. Sisi-sisi bangunannya yang disinari cahaya
fajar yang memerah saga membayang seperti kesatria dari masa lampau. Saya
terhenyak, tergebah dari lamunan. Pagi sudah menyapa bumi di belahan barat
Eropa ini. Brussels perlahan benderang disapa sang mata dewa dari langit
bagian timur.
Siang ini rombongan akan
kembali ke Tanah Air. Gadis berambut emas itu berjanji akan datang mengantar
kami ke bandara. Via telepon yang berdering di kamar hotel malam kemarin
juga, dia menyampaikan akan memberikan oleh-oleh dengan seribu kenangan yang
tak terlupa kepada saya.
Sebuah ciuman madu, begitu
katanya. Tapi saya menolak dan bilang terima kasih. Cukup cium jauh atau cium
pipi saja. Karena kalau tidak, seseorang akan marah besar kepada saya.
Dan misuh-misuh tiga kali
satu hari, persis seperti anjuran minum obat dari apotek
(blogkatahatiku.blogspot.com)
Keterangan
*Bersama Andorra,
Liechtein, Luxembourg dan San Marino, Belgia yang terdiri dari tiga etnis
besar (Belanda, Perancis, dan Jerman) biasa juga disebut sebagai negara
liliput di Eropa. Liliput, karena luas daerahnya yang sangat kecil tidak
sampai 20 ribu kilometer persegi, dengan jumlah penduduknya yang kurang lebih
10 juta jiwa.
No comments:
Post a Comment