Oleh Effendy Wongso
All human being. Semua
manusia memiliki masalah. Seberat apa, hanya hati masing-masing manusialah
yang dapat mengejawantahkannya. Dan karena masalah itu pulalah maka saya
melarikan diri ke tempat teduh ini.
Klenteng Boen Tek Bio di
Tangerang sehari menjelang Imlek dipadati rimba manusia. Saya berdiri
terpaku di sini. Lunglai menyaksikan hilir-mudik umat yang datang silih berganti
seperti tak ada henti-hentinya. Lalu menjebak dan menghimpit saya sendiri.
Yang saat ini hanya dapat mengibas-ibaskan tangan menggebah asap oksidasi
dupa yang memerihkan mata.
Saya tercenung setelah
mengikuti ritual turun-temurun itu. Sesaat saya pandangi paidon raksasa di luar
gerbang klenteng. Menatap lidi-lidi dupa yang bergeletar tertiup semilir
angin serta mengembuskan asapnya hingga bergerak melingkar ke atas.
Bodohnya, saya selalu mengharap dupa yang saya tancapkan tadi dapat menyampaikan
pesan pada dewata di langit. Agar segera menyudahi lara dalam keluarga saya
yang seperti tidak ada habis-habisnya.
Semestinya saya tahu kalau
sehari sebelum Imlek, tempat teduh ini selalu dipadati orang-orang yang
khusuk memohon syukur pada Sang Khalik. Bukannya mengharap datangnya mukjizat
seperti sulap, dan mengubah seorang gadis gembel menjadi Cinderella.
Semestinya saya sadar kalau besok adalah hari Imlek, Tahun Baru yang selalu
menjanjikan hari-hari yang lebih baik dibanding hari-hari lalu. Bukannya
mematung dengan benak baur, dan mengharap ada keajaiban yang dapat segera
mengubah jalan hidup keluarga saya.
Tapi naifnya, saya selalu
pesimis memandang hari-hari baru tersebut. Tak ada keceriaan dan senyum tulus
kala bersilaturahmi pada sanak keluarga. Tak terlihat keindahan lampion-lampion
merah yang tergantung pada langit-langit kanopi dan balkon rumah. Juga tak
terdengar syahdu dendang-dendang bernuansa Imlek yang diputar beberapa
warga Tionghoa di sepanjang gigir Sungai Cisadane, Tangerang. Sungguh. Saya
tak pernah meresapi kebahagiaan itu. Dan anehnya, kehadiran saya serupa
manekin di tempat teduh ini hanyalah merupakan kesia-siaan belaka!
Saya menggigit bibir.
Airmata saya sudah bergulir. Sungguh ironi yang sangat bertolak belakang
dengan kekhidmatan suasana menjelang Imlek besok. Saya ingin membendung
tangis, tapi saya tidak mampu. Lara itu menguak di memori kepala saya dan
membilurkan giris kenangan. Tentang nestapa masa lalu. Tentang kemiskinan
dan kepedihan perjuangan hidup keluarga kami. Tentang kerasnya hari-hari
yang akan terlewati tanpa Papa sebagai tiang penopang keluarga kami lagi.
“Hai, Gadis Cina Benteng!”
Saya terkesiap. Satu
tepukan yang menyertai kalimat tadi menyentuh cukup keras di pundak saya.
Saya saput lekas airmata yang masih menggantung di pelupuk. Saya kenal baik
suara itu. Kurang lebih tiga tahun saya akrabi suara bariton itu.
Bersama-sama dalam suka dan duka di sekolah. Dan saya hapal betul julukan
yang selalu ia tujukan kepada saya. Gadis Cina Benteng!
Gadis Cina Benteng?!
Hah, mendengar kalimat itu
hati saya seperti tertikam lagi. Banyak kenangan yang melatarbelakangi
panggilan artifisial tersebut bagi saya. Cina Benteng merupakan julukan
bagi kebanyakan warga Tionghoa asal Tangerang. Terus terang saya kurang paham
asosiasi dan makna dari kalimat itu. Tapi sudah turun-temurun julukan itu
diberikan kepada warga Tionghoa asal Tangerang yang sudah berasimilasi
dengan penduduk asli setempat. Jujur, saya senang dengan panggilan itu.
Sebab saya tahu kalau seorang Roy Chandra pernah mencintai saya. Dan
kalimat itu sering dilontarkannya dengan penuh afeksi, kelembutan dan kasih-sayang. Sayang
saya menampik semua kebaikannya. Lebih memilih merentangkan jarak dengan
cowok berwajah khas oriental itu karena menyadari strata sosial yang jomplang
di antara kami. Dan ketika kesepadanan menjadi tolok-ukur, maka retaknya
hubungan antara kami tidak dapat dihindarkan lagi.
“Hei, kamu kok nangis sih,
Ailing?!”
Ya, Tuhan! Please,
luputkan saya dari dari tatapan matanya yang setajam elang! Sebab kalau
tidak, sorot mata teduhnya itu akan memenjarakan saya dalam kenangan-kenangan
lama yang, sudah lama saya kubur dalam-dalam.
“Eh, ka-kamu Roy? Kok kamu
bisa berada di sini, sih?!”
“Klenteng adalah tempat
ibadah untuk umum. Memangnya Roy Chandra tidak boleh kemari?”
Cowok itu mendelik,
menyembulkan sederetan giginya yang gading. Ia tampak lain dengan kemeja ala
Cinanya. Tidak bergaya hippies lagi seperti biasanya. Yang enjoy mengenakan
kaus oblong dan celana jeans sobek-robek seperti yang saya kenal sebelumnya.
“Sudah lama di klenteng
ini?”
“Baru saja datang. Eh,
kamu belum jawab pertanyaan saya.”
"Tentang apa?"
"Tentang apa?"
“Tentang ini.”
Ya, Tuhan! Saputan gegas
telapak tangan saya tadi tak sempurna menghapus airmata yang
menggantung di pelupuk. Roy memegang pipi saya dengan lembut, dan menghapus
titik airmata yang masih basir menempel di sana.
“Maksud kamu, airmata?”
Roy mengangguk. Kibasan
rambut cat pirangnya yang sebahu tergerai mengiramai bahasa tubuhnya saat mengatakan
‘ya’ tadi. Saya berlagak tengil, menyandarkan tangan saya di bahunya yang
lapang. Mencoba menyamarkan suasana hati yang tengah dirundung galau.
Seolah tidak bermasalah dengan suasana hati.
“Bukan airmata tangis.
Tapi airmata korban asap oksidasi dupa.”
Saya menggigit bibir.
Sebuah tindakan yang sia-sia. Sebab cowok bertubuh jangkung itu kembali
menggeleng dan mengatakan ‘tidak’ dalam bahasa tubuh.
“Kamu jangan bohong!”
“Siapa yang bohong? Roy
Chandra, Roy Chandra. Asap dupa di mana-mana. Nah, mataku tuh teriritasi asap
dupa. Jadi, bukan nangis bombay seperti sangkamu tadi.”
“Ailing, kalau ada
masalah, kamu curhat dong!”
“Siapa juga yang punya
masalah?”
“Kalau tidak ada masalah,
tidak mungkin kamu nangis begitu tadi.”
“Aduh, Roy. Aku tuh tidak
nangis!”
Saya mengusap wajah. Roy
tahu saya sedang berbohong. Tiga tahun bersamanya di SMP dulu telah mengakarkan
ikatan batin yang dalam di antara kami. Ia tahu karakter saya. Sebaliknya pun
begitu. Dan saya menyesali karena momen kebersamaan suatu waktu dulu itu
pulalah, sehingga ia tahu betul kalau saat ini saya tengah bersandiwara.
***
“Ada masalah apa, sih?”
“Ti-tidak….”
Roy belum menanggapi
kalimat saya yang tak rampung barusan. Ia masih berkonsentrasi
mengemudikan BMW-nya untuk markir di area parkir sebuah mal di Lippo Karawaci.
Sesaat ia tadi menarik tangan saya keluar dari klenteng tanpa mempedulikan kalimat
separo protes saya, yang menolak untuk ikut dengannya barang sebentar ke pusat
kota.
“Ailing, saya ingin kamu
jujur. Saya tahu kamu sedang ada masalah. Masa sih sama saya kamu juga harus
menutup-nutupi masalah yang tengah kamu hadapi itu?!”
“Saya tidak apa-apa, kok!”
“Siapa bilang?!” bantahnya
dengan mimik tidak senang. “Airing, adik kamu yang bilang sendiri kok, kalau
keluarga kalian tengah dirundung masalah!”
Ya, Tuhan!
Airmata saya merembes
tanpa sadar. Airing memang comel! maki saya, gusar terhadap adik saya
satu-satunya itu. Ngapain juga ia menghubungi cowok yang sudah lama tak
pernah berhubungan lagi dengan saya sejak graduasi SMP kami?! Huh, pasti
ia mencuri tahu nomor telepon cowok itu dari diari saya!
“Dia menelepon saya,
katanya….”
***
Kring….
“Halo….”
“Selamat siang.”
“Siang.”
“Maaf. Bisa bicara dengan
Roy Chandra?”
“Ya, saya sendiri.”
“Kak Roy, ini Airing!”
“Airing?! Airing yang
mana, ya?”
“Adik Ailing, teman Kak
Roy sewaktu di SMP dulu.”
“Itu, lho. Yang biasa Kak
Roy panggil Gadis Cina Benteng. Saya ini adiknya.”
“Ya, ampun! Airing?!
Airing kok suaranya lain, sih?”
“Ya terang lain, Kak Roy.
Airing sekarang kan sudah SMP. Dulu waktu Kak Roy masih sering main ke rumah,
Airing masih culun. Kalau tidak salah masih kelas enam SD.”
“Ya, ampun. Saya lupa
kalau kamu sekarang tuh sudah gede. Eh, kamu telepon dari mana? Maksud saya,
kamu sekarang di mana? Masih di Tangerang?”
“Iya. Kami masih di
Tangerang, Kak Roy. Airing menelepon di wartel dekat rumah.”
“Hm, bagaimana keadaan
kalian? Sehat-sehat saja, kan?”
“Ya, kami sehat-sehat
saja, Kak Roy. Tapi, Papa sudah meninggal enam bulan yang lalu!”
“Ya, Tuhan! Maaf, saya
tidak tahu….”
“Kak Roy, Airing tidak
mengganggu kan?”
“Oh, tidak, tidak. Saya
malah senang bisa ngobrol lagi dengan kamu. Hm, Ailing kakak kamu sekarang di
mana?”
“Di Klenteng Boen Tek Bio,
Kak Roy.”
“Ah ya, besok kan Imlek?”
“Iya, Kak Roy. Kak Roy,
Airing pingin berterus terang. Boleh?”
“Ada apa, Airing?”
***
“… setelah berterus terang
dan menceritakan masalah keluarga kalian, saya langsung cabut dari rumah dan
mencari kamu di klenteng tadi.”
“Airing lancang!”
“Jangan salahkan
adik kamu, Ailing. Ini inisiatif saya untuk membantu sementara keuangan kalian,
kok.”
“Tapi saya bisa mengatasi
masalah keluarga saya, kok!”
“Jangan keras kepala
begitu. Anggap saja ini kredit kalau kamu tidak mau terima secara ikhlas.
Lagipula, memangnya kamu dan keluarga kamu mau tinggal di kolong jembatan
apa?! Ingat, rentenir Papa kamu itu tidak mau kompromi kasih kamu waktu untuk
cari uang buat melunasi hutang-hutang Papa kamu. Lusa setelah Imlek, mereka
pasti datang lagi dan menyita rumah gubuk kalian.”
“Tapi….”
Entah mengapa, tiba-tiba
hari ini saya seperti menjadi gadis yang paling cengeng sedunia. Airmata saya
kembali bergulir menanggapi kebaikan hati Roy. Setelah mendengar masalah
keluarga kami dari Airing, cowok itu langsung berinisiatif membantu keuangan
keluarga kami dengan melunasi hutang-hutang mendiang Papa kepada seorang
tauke di Tanjung Burung. Semasa hidupnya, mendiang Papa memang pernah
meminjam uang kepada rentenir tersebut untuk buka usaha kelontong di kawasan
Pasar Lama, dengan agunan surat berharga kepemilikan rumah kami. Meski tidak
seberapa banyak, tapi kian hari pinjaman tersebut membengkak lantaran
bunganya yang tinggi berkali-kali lipat. Sewaktu Papa sakit-sakitan karena
tuberculosis, usaha kelontong Papa tersebut terus menerus menurun dan
akhirnya bangkrut. Meski begitu, pinjaman tersebut tetap harus dilunasi.
“Terimalah, Ailing.”
Saya tepis amplop berwarna
coklat berisi uang yang disodorkan Roy kepada saya dengan sikap sedikit
kasar. Amplop itu terpental di atas dashboard mobil. Roy memejamkan
matanya menahan amarah yang mengubun. Dibenturkannya telapak tangannya
tanpa sadar di atas kemudi. Klakson meraung memekakkan. Saya terentak kaget.
Tidak menyangka cowok bermata teduh itu dapat segusar begitu.
“Te-terima kasih, Roy.
Tapi maaf, saya tidak bisa menerimanya!”
“Kenapa?! Gengsi?!” Roy
menggunturkan kalimatnya. “Kamu ini selalu jaim, Ailing!”
“Ta-tapi….”
“Dulu, sewaktu kita di SMP
pun kamu selalu begitu. Kamu tidak mau menerima apa-apa yang saya berikan.
Kado ulangtahun. Kado valentine. Semuanya kamu tolak. Heh, harga diri kamu
terlalu tinggi, Ailing!”
Saya tercekat dengan
kerongkongan memerih. Kenangan lama itu kembali melintas di
benak saya. Memang benar. Ailing Lim yang pelajar SMP itu selalu jaga jarak
dengan anak konglo Roy Chandra. Ailing Lim yang ABG itu selalu menolak
ketulusan anak tunggal pengusaha garmen kaya tersebut karena tahu diri.
Sampai-sampai cowok ramah serta baik hati itu merasa tersisih dan
terpinggirkan. Dan menganggap seorang Ailing Lim tak pernah mencintainya.
Padahal….
“Ailing, please…
terimalah! Anggap saja saya membantu Mama kamu, juga Airing adik kamu!”
“Tapi….”
“Tidak ada tapi-tapian.
Harus kamu terima, atau saya akan memusuhi kamu seumur hidup. Dan akan melupakan
kamu selama-lamanya!”
Saya kembali menangis
sampai ujung rambut saya yang sebahu lepek oleh airmata. Entah karena tidak
punya pilihan dan cara lain untuk melunasi hutang mendiang Papa, akhirnya
saya terima juga amplop coklat yang masih disodorkan Roy dengan paksa.
Diam-diam saya melirik. Cowok itu tersenyum dengan mimik menang.
“Te-terima kasih ya, Roy.
Suatu saat pasti akan saya kembalikan!”
“Oh, harus, harus. Di
dunia ini mana ada sih yang gratis.”
Saya mengernyit. “Maksud
kamu….”
“Begini, uang ini tidak
usah kamu kembalikan dalam bentuk cash. Tapi, anggap saja gaji kamu selama
menemani saya JJS sehari-harian ini.”
“Hei….”
“Eit, jangan ngeles! Kamu
sudah menerima uang, berarti sekarang kamu harus patuh bekerja menuruti majikan.”
“Hei….”
“Nah, sekarang ikut saya
borong-borong di mal. Tenaga kamu saya perlukan untuk gotong-gotong
belanjaan.”
“Un-untuk apa?”
“Untuk Imlek besok.
Memangnya kamu, Airing, dan Mama kamu tidak perlu….”
“Ja-jangan….”
“Tidak boleh membantah
majikan. Ayo, cepat!”
Saya terkikik melihat
tingkah Roy yang lucu. Rasanya keajaiban telah diturunkan dewata dari langit
untuk saya. Tiba-tiba saya serasa menjadi Cinderella. Gadis gembel yang
paling beruntung di dunia karena dianugerahi seorang Pangeran yang tampan rupawan.
Thank’s God! Terima kasih
telah memberikan saya angpau yang paling indah di hari Imlek besok.